Mohon tunggu...
John Pieter Oliyanto
John Pieter Oliyanto Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer yang ingin terus belajar

Banyak-banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Aroeboesman Hingga Jokowi yang Tak "Soft Landing"

9 Februari 2024   17:33 Diperbarui: 9 Februari 2024   17:35 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terus terang saya sangat senang menjadi tenaga survey lapangan karena saya bisa memperdalam ilmu Bahasa Inggris, menambah relasi, dan memperluas pengetahuan tentang budaya atau perilaku wisatawan asing. Saya ingin selalu menjadi bagian dari tenaga survey tersebut. Sayangnya, beberapa tahun lalu Swiss Contact telah meninggalkan kabupaten Ende dan beralih ke Labuan Bajo. 

Aktivitas survey otomatis berhenti.  Saya berharap bahwa pemerintah daerah bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan survey independen tanpa embel-embel kerja sama dengan lembaga asing. Saya pikir pengalaman survey yang telah dibuat bersama Swiss Contact Wisata bisa dijadikan acuan untuk memperoleh data yang akurat dilapangan bukan hanya dibidang pariwisata tapi juga dibidang-bidang lain. 

Saya sempat bertanya kepada para pemerhati sekaligus juga pelaku wisata di kabupaten Ende; mengapa survey sejenis tidak berjalan lagi? Katanya, pertama; tidak semua orang merasa bahwa survey kepuasan perjalanan wisatawan asing di Flores itu penting. Kedua; tidak ada dana yang dianggarkan untuk mengadakan survey.

Kedua pernyataan diatas bisa menarik Ende keluar dari tatanan pembangunan yang sedang digalakan. Lebih jauh, saya bisa membaca adanya kelemahan mental daerah dalam menentukan pembangunan yang terjadi. Mental yang menunggu perlu dirubah. Mustahil ada pembangunan fisik jika pembangunan mental diabaikan. Dalam istilah kekinian; revolusi mental dan revolusi fisik harus dipertegas di daerah-daerah guna menyongsong Indonesia hebat dan kuat.

Revolusi Mental dan Gunjang-Gunjing Keberpihakan

Dalam kacamata pembangunan, kita sepakat bahwa pembangunan suatu wilayah harus mencakup pembangunan fisik dan mental. Dalam tulisan yang diinisiasikan oleh Direktorat Jendral Informasi dan Komunikasi Publik Kementian Komunikasi dan Informasi RI, revolusi mental pertama kali digaungkan oleh presiden Soekarno pada tahun 1957. 

Pada saat itu beliau membaca situasi bangsa yang loyo pasca pendudukan Belanda dan Jepang.  Soekarno kemudian menyentak perilaku masyarakat Indonesia dengan menggalakkan revolusi mental. Hal ini dirasa Soekarno penting karena sebuah bangsa yang besar membutuhkan masyarakat yang tangguh, patriotik, memiliki etos kerja dan etos pikir yang baik untuk bisa berdiri sejajar dengan bangsa- bangsa barat.

Laju revolusi mental dipercepat oleh presiden Jokowi dengan mengimplementasikan karya-karya pembangunan yang nyata dan bisa dirasakan oleh masyarakat disetiap pelosok Indonesia termasuk di kabupaten saya. Hilirisasi pembangunan baik fisik dan mental mulai terasa sukses. Ditangan presiden Jokowi, harapan bahwa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar dan kuat terbuka lebar. Tapi apakah Jokowi bisa konsisten membawa harapan rakyat Indonesia kearah yang lebih baik?

Sejauh pengamatan kita bersama akhir-akhir ini presiden Jokowi menjadi sorotan tajam dari berbagai pihak, mulai dari lawan politik yang dahulunya adalah teman, rohaniawan dan akademisi tentang keterlibatannya yang disinyalir tidak fair terhadap perlakuan kepada salah satu paslon presiden dan wakil presiden.

Bukan rahasia lagi jika calon wakil presiden, Gibran, merupakan anak presiden. Sudah tidak perlu dijelaskan jika, dalam persepsi kebanyakan orang, Gibran sudah meluluhlantakkan negara ini dengan bantuan presiden. Ada dilema yang melekat pada pribadi presiden yang merangkap ayah dari Gibran. Secara tidak sadar kisruh pemilu kali ini mempertanyakan apa peran ayah dan peran presiden. 

Apa peran kepala keluarga dan peran kepala negara? Ketika peran seorang ayah disandingkan dengan peran seorang presiden, maka peran itu membesar selanjutnya memberi dampak nasional tapi peran tersebut bisa mengecil jika sebaliknya. Dengan hadirnya Gibran dalam kontestasi politik nasional maka Jokowi tampaknya menjadi ketiadaan fokus sebagai presiden. Jika benar presiden kehilangan fokus memimpin, perlahan tapi pasti Gibran dalam pusaran politik nasional membunuh mental presiden Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun