Tulisan ini  adalah lanjutan dari tulisan saya sebelumnya yang berjudul " Dilema Perempuan Bekerja dan Curhat Lainnya."Â
Tulisan tersebut dapat dibaca di sini: Â https://www.kompasiana.com/komentar/joharamasruroh3027/610fe7dd6e7f0135563e2932/dilema-perempuan-bekerja-dan-curhat-lainnya
Sebelum saya menjadi guru, saya pernah bekerja di suatu tempat (tak perlu saya sebutkan) yang para pekerjanya mayoritas adalah laki-laki. Saya kerap ditanya oleh mereka (para laki-laki itu) dengan pertanyaan semacam," Mengapa kamu harus bekerja? Mengapa tidak di rumah saja? Saat ini anak-anakmu bersama siapa?
Saya berterus terang kepada mereka bahwa saya ingin menghasilkan uang sekaligus ingin memanfaatkan keterampilan dan ilmu yang saya miliki. Anak-anak saya aman berada di rumah bersama neneknya, terkadang juga ayahnya, atau bersama baby sitter saat orang rumah sedang repot dengan tugasnya masing-masing. Ya, saya berbagi tugas dengan suami dan dia tak segan membantu saya mengurusi pekerjaan rumah, seperti mencuci, bersih-bersih, dan lain sebagainya.
Mendapatkan jawaban saya, mereka tertawa. "Apa, suamimu kamu biarkan mencuci bajumu? Sungguh, luar biasa."
Kata "luar biasa" di situ tentu saja bermakna sebaliknya. Sepertinya teman-teman saya itu menganggap saya sebagai wanita yang kurang ajar. Bagi mereka, lelaki tak pantas mencucikan pakaian perempuan. Ini menyalahi tradisi yang sudah berjalan.
Ya, masyarakat kita memang dikenal sebagai masyarakat yang sangat menjaga tradisi. Laki-laki bekerja di luar dan perempuan melulu berurusan dengan segala pekerjaan rumah. Saya tidak hendak mengatakan bahwa ini salah, hanya saja terkadang tanpa disadari hal tersebut bisa menimbulkan kerugian baik bagi lelaki maupun perempuan di masa depan.
Ditinggalkan pasangan entah itu karena perceraian atau karena dipanggil Tuhan, bisa menimpa siapa saja. Sering kita jumpai wanita-wanita yang ditinggal suaminya harus berjuang sendirian mempertahankan hidup dan membesarkan anak-anak. Mereka hidup dengan penuh perjuangan tanpa bantuan pihak laki-laki.
Mungkin tidak akan jadi masalah bagi perempuan yang ditinggali banyak harta oleh suaminya. Namun, bagi perempuan tanpa harta peninggalan, kematian suami adalah mimpi buruk yang sangat sulit diterima. Apalagi bagi wanita tanpa modal keterampilan kerja. Tentu tak mudah bagi mereka mempelajari hal baru saat masih berduka cita atas peninggalan suami, sementara anak-anak secepatnya butuh popok dan susu. Â Bukankah kondisi semacam ini sangat menyulitkan bagi perempuan?
Kita sudah sering menyaksikan, tidak sedikit kasus perempuan yang terlunta-lunta membesarkan anak sendirian dengan kerja serabutan. Mereka harus berhutang sana-sini, numpang hidup pada kerabat yang seringkali justru menimbulkan perselisihan. Â Parahnya, yang merasa tak memiliki jalan keluar, dengan terpaksa memilih mengemis, mencuri, atau menjual diri.
Banyak perempuan kesulitan secara ekonomi saat suami mereka pergi. Salah satu penyebabnya adalah semasa suami masih hidup, perempuan dibatasi ruang geraknya dan dibiarkan berada di zona nyaman (baca: rumah). Maka ketika harus berjuang sendirian, perempuan menjadi gagap, tak berdaya. Ada pula yang malah gengsi mencari nafkah karena sebelumnya selalu hidup tercukupi tanpa berusaha sendiri.
Kesulitan juga bisa dialami lelaki saat sang istri pergi. Selain rumah yang terlihat semakin berantakan, banyak anak-anak yang tadinya diasuh penuh oleh ibu tampak tak terurus bersama bapaknya. Banyak single dad yang akhirnya menyerahkan pengasuhan anak-anak pada kerabat wanitanya karena ia sendiri merasa tak mampu dalam urusan tersebut.Â
Hal ini tentu sedikit merepotkan. Kerabat tak sanggup menolak meski bisa saja ia keberatan, dan anak akan kurang mendapat kasih sayang dari bapak kandungnya.
Suatu kejadian ini pernah terjadi di tempat saya tinggal. Saya mengenal seseorang yang istrinya dipanggil Tuhan dalam usia masih cukup muda. Ia memiliki seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun. Karena semasa hidup si anak hanya memiliki kedekatan dengan ibunya, sang bapak merasa kerepotan dan akhirnya memilih menitipkan si anak di pondok pesantren yang dihuni para remaja usia SMP dan SMA. Bisa dibayangkan, bukan? Betapa malangnya anak ini hidup tanpa kasih sayang orang tua.
Kita sudah lama dihadapkan dengan fenomena semacam itu. Namun, tetap saja masih ada sebagian lelaki yang menganggap bahwa perempuan harus tetap di rumah, mengurus perkara dapur, sumur, dan kasur. Parahnya, kalau perempuan menggugat, ia dianggap laknat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H