Banyak perempuan kesulitan secara ekonomi saat suami mereka pergi. Salah satu penyebabnya adalah semasa suami masih hidup, perempuan dibatasi ruang geraknya dan dibiarkan berada di zona nyaman (baca: rumah). Maka ketika harus berjuang sendirian, perempuan menjadi gagap, tak berdaya. Ada pula yang malah gengsi mencari nafkah karena sebelumnya selalu hidup tercukupi tanpa berusaha sendiri.
Kesulitan juga bisa dialami lelaki saat sang istri pergi. Selain rumah yang terlihat semakin berantakan, banyak anak-anak yang tadinya diasuh penuh oleh ibu tampak tak terurus bersama bapaknya. Banyak single dad yang akhirnya menyerahkan pengasuhan anak-anak pada kerabat wanitanya karena ia sendiri merasa tak mampu dalam urusan tersebut.Â
Hal ini tentu sedikit merepotkan. Kerabat tak sanggup menolak meski bisa saja ia keberatan, dan anak akan kurang mendapat kasih sayang dari bapak kandungnya.
Suatu kejadian ini pernah terjadi di tempat saya tinggal. Saya mengenal seseorang yang istrinya dipanggil Tuhan dalam usia masih cukup muda. Ia memiliki seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun. Karena semasa hidup si anak hanya memiliki kedekatan dengan ibunya, sang bapak merasa kerepotan dan akhirnya memilih menitipkan si anak di pondok pesantren yang dihuni para remaja usia SMP dan SMA. Bisa dibayangkan, bukan? Betapa malangnya anak ini hidup tanpa kasih sayang orang tua.
Kita sudah lama dihadapkan dengan fenomena semacam itu. Namun, tetap saja masih ada sebagian lelaki yang menganggap bahwa perempuan harus tetap di rumah, mengurus perkara dapur, sumur, dan kasur. Parahnya, kalau perempuan menggugat, ia dianggap laknat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H