Mohon tunggu...
Johara Masruroh
Johara Masruroh Mohon Tunggu... Guru - Teacher and mother of two kids

Reading and writing are my remedy.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Perempuan Tak Diizinkan Bekerja

14 Agustus 2021   20:41 Diperbarui: 14 Agustus 2021   20:46 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini  adalah lanjutan dari tulisan saya sebelumnya yang berjudul " Dilema Perempuan Bekerja dan Curhat Lainnya." 

Tulisan tersebut dapat dibaca di sini:  https://www.kompasiana.com/komentar/joharamasruroh3027/610fe7dd6e7f0135563e2932/dilema-perempuan-bekerja-dan-curhat-lainnya

Sebelum saya menjadi guru, saya pernah bekerja di suatu tempat (tak perlu saya sebutkan) yang para pekerjanya mayoritas adalah laki-laki. Saya kerap ditanya oleh mereka (para laki-laki itu) dengan pertanyaan semacam," Mengapa kamu harus bekerja? Mengapa tidak di rumah saja? Saat ini anak-anakmu bersama siapa?

Saya berterus terang kepada mereka bahwa saya ingin menghasilkan uang sekaligus ingin memanfaatkan keterampilan dan ilmu yang saya miliki. Anak-anak saya aman berada di rumah bersama neneknya, terkadang juga ayahnya, atau bersama baby sitter saat orang rumah sedang repot dengan tugasnya masing-masing. Ya, saya berbagi tugas dengan suami dan dia tak segan membantu saya mengurusi pekerjaan rumah, seperti mencuci, bersih-bersih, dan lain sebagainya.

Mendapatkan jawaban saya, mereka tertawa. "Apa, suamimu kamu biarkan mencuci bajumu? Sungguh, luar biasa."

Kata "luar biasa" di situ tentu saja bermakna sebaliknya. Sepertinya teman-teman saya itu menganggap saya sebagai wanita yang kurang ajar. Bagi mereka, lelaki tak pantas mencucikan pakaian perempuan. Ini menyalahi tradisi yang sudah berjalan.

Ya, masyarakat kita memang dikenal sebagai masyarakat yang sangat menjaga tradisi. Laki-laki bekerja di luar dan perempuan melulu berurusan dengan segala pekerjaan rumah. Saya tidak hendak mengatakan bahwa ini salah, hanya saja terkadang tanpa disadari hal tersebut bisa menimbulkan kerugian baik bagi lelaki maupun perempuan di masa depan.

Ditinggalkan pasangan entah itu karena perceraian atau karena dipanggil Tuhan, bisa menimpa siapa saja. Sering kita jumpai wanita-wanita yang ditinggal suaminya harus berjuang sendirian mempertahankan hidup dan membesarkan anak-anak. Mereka hidup dengan penuh perjuangan tanpa bantuan pihak laki-laki.

Mungkin tidak akan jadi masalah bagi perempuan yang ditinggali banyak harta oleh suaminya. Namun, bagi perempuan tanpa harta peninggalan, kematian suami adalah mimpi buruk yang sangat sulit diterima. Apalagi bagi wanita tanpa modal keterampilan kerja. Tentu tak mudah bagi mereka mempelajari hal baru saat masih berduka cita atas peninggalan suami, sementara anak-anak secepatnya butuh popok dan susu.  Bukankah kondisi semacam ini sangat menyulitkan bagi perempuan?

Kita sudah sering menyaksikan, tidak sedikit kasus perempuan yang terlunta-lunta membesarkan anak sendirian dengan kerja serabutan. Mereka harus berhutang sana-sini, numpang hidup pada kerabat yang seringkali justru menimbulkan perselisihan.  Parahnya, yang merasa tak memiliki jalan keluar, dengan terpaksa memilih mengemis, mencuri, atau menjual diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun