Mohon tunggu...
Johara Masruroh
Johara Masruroh Mohon Tunggu... Guru - Teacher and mother of two kids

Reading and writing are my remedy.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepergian Andini

12 Agustus 2021   18:25 Diperbarui: 12 Agustus 2021   18:40 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tina menyusuri gang kecil sambil sesekali mengelap air matanya yang berderai. Setiap bertengkar dengan suaminya, Tina selalu pergi menenangkan diri di rumah Mak Inah. 

Mak Inah adalah pembantu di rumah Arya yang tak lain adalah suami Tina sendiri. Meski kini ia menjadi nyonya muda, hubungan Tina dan Mak Inah tak lantas seperti tuan putri dan pembantunya.

Rumah Mak Inah tentu tak sebanding dengan rumah Arya . Namun, Tina selalu betah berlama-lama di sana. Cat tembok yang mengelupas dan berjamur menghiasi tiap ruangan di rumah itu. 

Baginya, rumah itu jauh lebih menenangkan. Tina bahkan tak pernah segan menidurkan tubuhnya di atas karpet lusuh yang sudah sepuluh tahun lebih tak dibasuh.

Kali ini Arya memarahinya lagi. Tina lupa mencampurkan perasan lemon pada teh yang diminta Arya sepulang kerja. Tentu saja bukan ucapan terima kasih yang Tina dapatkan, melainkan teriakan dan kata-kata kasar. Hal semacam itu sudah biasa dialaminya. 

Andai saja hanya ucapan kasar yang diterimanya, mungkin Tina masih bisa bertahan. Masalahnya, Arya juga main gila dengan beberapa perempuan. Setiap kali Tina mencoba mempertanyakan hal itu, Arya tak akan segan melakukan kekerasan.

"Hidupku adalah milikku. Kamu tidak perlu membuat aturan di rumahku!" Itulah yang selalu dikatakan Arya pada Tina jika Tina mengeluhkan kelakuannya.

Dulu di awal pernikahan, Arya memperlakukan Tina dengan baik. Tina merasa menjadi wanita paling beruntung bisa mendapatkan pria kaya setampan Arya. Tina memang berasal dari keluarga menengah ke bawah dan tentu saja mendapatkan Arya bukan hal mudah. Teman-temannya bahkan begitu iri dengan nasibnya yang dianggap mujur.

Sikap Arya berubah drastis sejak Tina harus kehilangan bayinya usai melahirkan. Selain bayi itu tak bisa diselamatkan, dokter juga memvonis bahwa Tina tak bisa lagi melahirkan. 

Arya putus asa dengan keadaan istrinya dan lama kelamaan Arya menganggap Tina sebagai manusia tak berharga. Selain hanya berasal dari keluarga biasa, Tina dianggap cacat karena tak akan lagi bisa memberinya keturunan.

Tina pasrah dengan keadaan yang menimpanya. Sebaik mungkin ia menjalani hidup sebagai seorang istri yang memang sudah selayaknya patuh kepada suami. Dia masih berharap suaminya berubah suatu saat. Bagaimanapun juga, dulu mereka menikah dengan cinta, bukan paksaan atau perjodohan orang tua.

Hari-hari di rumah Arya memang terasa menyesakkan bagi Tina. Untungnya ada Mak Inah. Meski sebagai seorang pembantu, ia begitu mengerti keadaan yang dialami istri tuannya. 

Mak Inah dengan sikap keibuannya selalu mencoba memberi perhatian. Saat Arya meluap-luap kemarahannya, Tina memilih keluar  dan menenangkan dirinya di rumah Mak Inah.

Sebenarnya bukan rumah Mak Inah yang menenangkan, tetapi seorang gadis kecil yang tak biasa. Mak Inah tinggal dengan putrinya bernama Andini. Andini harusnya sudah lincah bermain di luar rumah dan belajar di sekolah bersama dengan teman sebayanya. Namun, di usia tujuh tahun, Andini justru belum mampu bicara.

Tina akan berhenti menangis setiap kali memperhatikan gadis kecil Mak Inah. Matanya yang miring ke atas dan mulutnya yang mungil selalu menguras perhatian Tina. Gadis itu hanya sibuk memainkan boneka dengan ekspresi yang selalu sama. 

Begitulah yang dilakukannya selama berjam-jam saat Tina menemaninya. Tina merasa kesedihannya hanya sepele dibandingkan dengan gadis tujuh tahun yang belum mampu mengungkapkan keinginannya itu.

Tina juga senang sekali membelai rambut Andini meski tak rapi. Mak Inah memang menghabiskan waktunya di rumah Arya dari subuh ke petang. Putrinya itu ia tinggalkan sendiri di rumah dan hanya menjenguknya saat sarapan dan makan siang.

"Andini suka boneka?" tanya Tina pada Andini sembari membawa gadis itu ke pangkuannya. Mata sipitnya menatap Tina sekejap kemudian ia memainkan kembali boneka. 

Tina ingin mengganti boneka kumal Andini dengan yang baru. Hatinya koyak melihat putri Mak Inah yang tak terawat, sedangkan di rumah suaminya, Mak Inah tak akan membiarkan sedikitpun kotoran berserak. 

Betapa sulit Mak Inah membesarkan putri semata wayangnya itu. Ia sendirian sebagai tulang punggung keluarga karena suaminya telah lama tiada.

"Kalau begitu, besok tante bawakan boneka baru ya." Andini menganggukkan kepalanya pelan.

Keesokannya, Tina menepati janji membawa boneka untuk Andini. Boneka itu ia beli  tanpa sepengetahuan Arya. Tina meminta izin suaminya pergi ke sebuah pusat berpelanjaan untuk membeli beberapa kebutuhan.

Arya langsung mengiyakan tanpa bertanya. Ia memang tak terlalu peduli ke mana Tina mau menghabiskan harinya. Hanya saja ia tak begitu suka jika istrinya itu sering datang ke rumah Mak Inah dan bertemu Andini.

Sebenarnya Arya telah beberapa kali memarahi Tina karena terlalu sering membuang waktunya bersama Andini. Arya menganggap gadis kecil itu sungguh tak pantas mendapat perhatian. Bergaul dengan orang semacam Andini dianggapnya bisa merusak reputasi keluarga. Lagi pula siapa gadis itu hingga Tina seringkali menemani saat Mak Inah justru meninggalkannya bekerja.

Untuk urusan Andini, Tina memang sering melanggarnya. Selain Arya tak peduli ke mana ia pergi, Arya juga tampak tak serius memarahinya. Ia hanya marah, tak kasar apalagi memukul. Itu artinya hanya kemarahan biasa yang tak perlu terlalu ia risaukan.

Tina pergi ke rumah Mak Inah dengan membayangkan betapa Andini akan tersenyum lebar melihat boneka yang dibawanya. Pintu rumah Mak Inah rupanya tak terkunci hari ini. 

Tina melongok ke dalam. Tak ada siapa pun di sana.  Andini juga tak terlihat. Tina mengecek ke seluruh ruangan. Ia mulai cemas membayangkan gadis kecil Mak Inah yang belum pandai bicara kabur dari rumah. Tina segera menghubungi Mak Inah melalui ponselnya.

"Mak, di mana? Andini tidak ada di rumah." Suara Tina bergetar karena khawatir.

 "Maafkan saya, Non. Saya sedang di panti asuhan sekarang."

"Panti asuhan? Untuk apa, Mak?"

"Mak sudah tak sanggup merawat Andini, Non."

"Tapi kenapa, Mak?" Tina menjatuhkan tubuhnya di kursi dengan perasaan kacau. Andai Tina punya kuasa di rumah suaminya, ia akan bersedia membawa Andini bersamanya. Tak terasa pipi Tina telah basah. Ia memeluk boneka di genggamannya. Andini, pelipur laranya kini pergi.

"Maaf, Non. Ini sudah jadi keputusan Mak."

Mak Inah menutup ponsel. Air matanya meleleh melihat Andini yang enggan melepas genggaman tangannya. Mak Inah mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan gadis malang itu. 

Tujuh tahun silam, Arya menyerahkan seorang bayi yang telah divonis dokter mengidap down syndrome kepadanya. Ibunya, yang tak lain adalah Tina, hanya tahu bahwa bayinya telah meninggal usai dilahirkan. Ia bahkan juga tak tahu, semalam Arya memaksa Mak Inah mengantar Andini ke panti asuhan agar gadis itu tak lagi merebut perhatian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun