Keesokannya, Tina menepati janji membawa boneka untuk Andini. Boneka itu ia beli  tanpa sepengetahuan Arya. Tina meminta izin suaminya pergi ke sebuah pusat berpelanjaan untuk membeli beberapa kebutuhan.
Arya langsung mengiyakan tanpa bertanya. Ia memang tak terlalu peduli ke mana Tina mau menghabiskan harinya. Hanya saja ia tak begitu suka jika istrinya itu sering datang ke rumah Mak Inah dan bertemu Andini.
Sebenarnya Arya telah beberapa kali memarahi Tina karena terlalu sering membuang waktunya bersama Andini. Arya menganggap gadis kecil itu sungguh tak pantas mendapat perhatian. Bergaul dengan orang semacam Andini dianggapnya bisa merusak reputasi keluarga. Lagi pula siapa gadis itu hingga Tina seringkali menemani saat Mak Inah justru meninggalkannya bekerja.
Untuk urusan Andini, Tina memang sering melanggarnya. Selain Arya tak peduli ke mana ia pergi, Arya juga tampak tak serius memarahinya. Ia hanya marah, tak kasar apalagi memukul. Itu artinya hanya kemarahan biasa yang tak perlu terlalu ia risaukan.
Tina pergi ke rumah Mak Inah dengan membayangkan betapa Andini akan tersenyum lebar melihat boneka yang dibawanya. Pintu rumah Mak Inah rupanya tak terkunci hari ini.Â
Tina melongok ke dalam. Tak ada siapa pun di sana. Â Andini juga tak terlihat. Tina mengecek ke seluruh ruangan. Ia mulai cemas membayangkan gadis kecil Mak Inah yang belum pandai bicara kabur dari rumah. Tina segera menghubungi Mak Inah melalui ponselnya.
"Mak, di mana? Andini tidak ada di rumah." Suara Tina bergetar karena khawatir.
 "Maafkan saya, Non. Saya sedang di panti asuhan sekarang."
"Panti asuhan? Untuk apa, Mak?"
"Mak sudah tak sanggup merawat Andini, Non."
"Tapi kenapa, Mak?" Tina menjatuhkan tubuhnya di kursi dengan perasaan kacau. Andai Tina punya kuasa di rumah suaminya, ia akan bersedia membawa Andini bersamanya. Tak terasa pipi Tina telah basah. Ia memeluk boneka di genggamannya. Andini, pelipur laranya kini pergi.