Mohon tunggu...
Johara Masruroh
Johara Masruroh Mohon Tunggu... Guru - Teacher and mother of two kids

Reading and writing are my remedy.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisahku Meninggalkan Buah Hati

11 Agustus 2021   15:30 Diperbarui: 11 Agustus 2021   16:21 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mengapa Bunda mesti pergi?" tanya anakku saat kukemasi pakaian dari dalam lemari.

"Bunda pergi kerja, Nak. Nanti Bunda belikan lebih banyak mainan." Kujawab singkat karena tanganku sibuk menjejalkan pakaian ke dalam koper. Beberapa hari ini, dengan hati-hati kujelaskan padanya bahwa aku akan bekerja di tempat yang agak jauh dan hanya pulang pada akhir pekan. Untuk membuatnya senang, aku berjanji akan membelikan kebab kesukaannya setiap kali pulang.

Kepada Fathir, anak berusia lima tahun itu, tentu aku tidak bisa menjelaskan dengan detail bahwa kini aku diterima menjadi Aparatur Sipil Negara yang ditempatkan di luar daerah. Toh, dia belum mengerti apa itu Aparatur Sipil Negara. Selama ini yang dia tahu, aku adalah seorang guru di sekolah dekat rumah. Pergi setiap pagi dan kembali ke pelukannya saat jam sekolah usai.

Aku sendiri sulit membayangkan bagaimana Fathir akan menerima kenyataan bahwa aku tidak lagi hadir menemaninya bermain dan belajar. Fathir yang terkadang masih rewel saat kutinggal ke sekolah, tiba-tiba tak lagi melihatku selama lima hari dalam seminggu. Bagaimana jika ia terus menangis atau tak mau makan? Pertanyaan itu hinggap di kepala sejak kuketahui bahwa aku tidak ditempatkan di daerah tempat tinggalku. Namun, orang-orang terdekatku bilang, "segala sesuatu memang butuh perjuangan, nanti akan terbiasa jika sudah biasa."

Satu hal lagi yang paling kurisaukan ialah bagaimana ia akan tidur jika selama ini hanya rambutku yang menjadi pengantar tidurnya. Tepat di saat aku memikirkan hal itu, Fathir, dengan bibirnya yang mungil merengek padaku.

"Bun, aku mau rambut." Kulihat ia menguap. Karena aku tak tega, kuhentikan tanganku yang masih berurusan dengan barang-barang yang akan kubawa ke Lamongan. Aku menuntunnya ke tempat tidur, melepas ikat rambut dan membiarkan rambutku tergerai. Tangan kecilnya langsung menyambar. Ia memainkan rambutku sambil sesekali menciumnya.

"Cuma rambut Bunda yang paling kusayang." Aku terkekeh. Di rumah ini, hanya rambutku yang sering dimainkannya. Pernah kutanya mengapa ia suka pada rambutku. Dia menjawab sekenanya, rambutku terasa nikmat di genggamannya. 

"Bun, apa sekolah di Ngawi dan di Lamongan itu tidak sama?" Aku terdiam sejenak. Kucium keningnya cukup lama. Aku tahu pertanyaan yang terlontar itu masih sama dengan sebelumnya. Kucoba menimang-nimang kalimat apa yang tepat kukatakan padanya. Namun, tak berhasil kurangkai kata untuk membuatnya lebih tenang.

Kulepaskan bibirku dari keningnya yang mulus. Kening yang selalu kubacai salawat saat ia lelap ke dalam mimpinya. Hanya beberapa detik kemudian, air matanya tumpah, merembes  ke dalam pakaian yang kukenakan, kemudian ke ulu hatiku. Aku mendekapnya. Tubuhnya justru semakin berguncang. Kupeluk dia lebih erat dengan perasaan yang tak bisa kujelaskan.

Kukatakan pada diriku sendiri agar aku tak menangis di depannya. Aku tak ingin membuat tangisnya menjadi-jadi. Namun percayalah, sedih di dadaku terasa lebih menyakitkan dari sakit yang kuderita saat aku melahirkannya ke dunia.

"Bunda akan pulang tiap Sabtu, Nak." Hanya itu yang akhirnya keluar dari bibirku. Aku yakin dia sudah lelah mendengar iming-iming seputar mainan, jajan, beli ini dan itu yang belum sempat ia miliki saat ini. Memangnya apalagi yang harus kujelaskan pada anak seusia itu? Apakah aku harus mengatakan padanya bahwa ibunya kini bekerja mengabdi pada negara dan harus siap ditempatkan di mana saja? Lalu bagaimana jika ia balik bertanya, "negara itu siapa dan mengapa Bunda harus mengabdi padanya?"

"Tidur ya, Nak." Dia mengangguk kemudian memejamkan mata. Seperti biasa, tanganku mengelus punggungnya. Pipinya yang masih basah pelan-pelan mengering. Setelah kupastikan ia pulas, aku meninggalkannya untuk lanjut berkemas.

...............

Perjalanan dari Ngawi ke Lamongan memakan waktu kurang lebih empat jam. Selama perjalanan, tak kusangka Fathir menunjukkan wajahnya yang riang. Tadinya aku sempat khawatir ia akan terus menangis. Ia hanya sedikit kecewa ketika stan kebab kesukaannya masih tutup. Untunglah ia mau kubujuk membeli kebab di tempat lain.

Tiba di Lamongan, kami langsung menuju rumah kontrakan yang sudah kupesan melalui seorang teman. Fathir membantuku mengeluarkan barang-barang dari bagasi dan membawanya ke dalam kamar.

"Bunda nanti sendiri di sini? Apa nggak takut?" tanyanya padaku sambil memandangi rumah yang masih sepi.

"Tenang, teman bunda belum datang."

Aku memintanya untuk beristirahat karena selama perjalanan Fathir tidak bisa tidur. Namun, ia terus membuntutiku. Malahan, tangannnya meraih pakaianku dan ditatanya ke dalam lemari yang sudah tersedia. Tangannya yang masih kecil itu tentu tak sempurna menata pakaianku dan membuatnya jadi berantakan. Aku sudah sangat lelah dan tak ingin melihat semuanya lebih berantakan lagi.

"Fathir main di depan ya. Di depan ada kolam ikan. Biar bunda yang bereskan," kataku.

Dia mengangguk dan langsung meninggalkanku bersama barang-barang yang masih bercecer. Aku kaget karena sekilas kulihat matanya berkaca. Dia berjalan ke luar tanpa sepatah kata pun. Dengan cepat kusadari aku melakukan kesalahan. Fathir hanya ingin membantu dan membersamaiku membereskan pakaian.  Bagaimana bisa di saat seperti ini justru kubuat hatinya kecewa? Ah, betapa bodohnya aku.

Aku mengintip Fathir dari balik jendela dengan perasaan kesal pada diri sendiri. Kupikir ia akan bersemangat melihat ikan karena kebetulan di depan kontrakan ada kolam  kecil yang diisi dengan ikan patin. Namun, kali ini ia menatap ikan-ikan itu dengan wajah muram. Tangannya memetik dedaunan bunga bugenvil, menyobekinya menjadi kecil-kecil lalu melemparkannya ke kolam.

"Ikannya dikasih makan apa itu, Nak," tanyaku mencoba mendekatinya. Kupeluk dia dari belakang sambil mencium pipinya. Kulihat wajahnya kembali cerah.

"Ikannya boleh dikasih makan itu ya, Bun?" Jarinya menunjuk pakan ikan di dalam botol bekas minuman yang telah disediakan oleh pemilik rumah.

"Boleh, memang itu makanannya kan. Kalau daun itu makanan kambing," kataku sambil menatap matanya yang tak lagi berkaca. Akhirnya aku bisa lega.

Waktu terus berjalan perlahan, tetapi terasa begitu cepat bagiku. Fathir mencium punggung tanganku kemudian kupeluk dia dengan erat. Tubuh kami menyatu hingga tak ada celah tersisa. Air mata yang ingin meleleh kutahan sekuat tenaga. Begitu juga Fathir, karena aku bisa melihat itu dengan jelas di matanya. Dia putraku, dan aku sangat hafal gelagatnya.

"Dadaaa ... assalamualaikum." Fathir masuk ke mobil kemudian memeluk bantal.

 "Sampai jumpa hari Sabtu, Fathir." Tanganku melambai padanya.

Deru mobil meninggalkanku. Aku masih terdiam di tempatku berdiri. Angin sore  membelai wajahku, menghapus sisa ciuman Fathir di pipi kanan kiriku. Seketika itu juga rasa rindu mulai datang. Bagaimana tidak? Separuh jiwaku tak ada lagi berasamaku.

...............

Lima hari sudah kurasakan hidup sendiri tanpa kehadiran Fathir. Jika ada yang bertanya bagaimana rasanya, aku sulit menjawabnya dengan untaian kata. Aku melihat wajah putraku di mana-mana. Di kamar, di sekolah, di masjid, di perpustakaan, dan di setiap tempat yang kukunjungi. Terkadang seperti terdengar suaranya memanggil. Suara-suara itu selalu berhasil membuatku ingin segera pulang mendekapnya.

Aku pulang dengan bus jurusan Surabaya-Yogya setelah sebelumnya naik bus kecil ke arah Jombang. Perjalanan ini begitu melelahkan tetapi juga membahagiakan. Jauh perjalanan yang kutempuh, perlahan mendekatkanku pada Fathir yang kuyakin sedang menungguku pulang. Pukul Sembilan malam, aku tiba dengan menenteng kebab dan pistol mainan.

Fathir duduk bersandar pada tiang di teras rumah, kedinginan karena angin yang cukup kencang. Fathir seketika berdiri dan berlari saat melihatku datang. Dia menubruk tubuhku, memelukku, mencari kehangatan. Wajahnya yang girang justru mengubrak-abrik jiwa keibuanku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana ia melalui hari-harinya tanpaku.

"Belum tidur? Kenapa tidak pakai jaket?" tanyaku sambil mengelus pipinya. kulihat Fathir tampak berbeda. Dulu tubuhnya berisi dan bugar. Kini, belum seminggu kutinggalkan, ia sudah terlihat turun berat badan.

"Belum, nunggu Bunda. Aku pengin rambut." Kami memasuki rumah. Tanganku digandengnya, sedang kebab dan pistol mainan pemberianku digeletakkannya begitu saja di kursi ruang keluarga.

Saat sampai di ruang TV, aku terperanjat karena tembok yang biasanya kujaga agar tetap bersih dan mulus, kini penuh coretan berwarna-warni. Di beberapa bagian ditempeli kertas yang telah digambari. Aku buru-buru mendekat dan melihat apa yang telah dilakukan putraku saat aku tak ada di rumah.

"Hasil menggambar Fathir sudah semakin bagus." Ayahnya buru-buru memberi komentar. Aku masih mematung di depan tembok itu.

"Jangan marah ya. Biarkan tembok ini kotor untuk mengembangkan kreativitasnya."

Tak satu kata pun bisa keluar dari mulutku. Aku terus mengamati tembok yang tak lagi bersih itu. Tidak, aku tidak marah. Jangankan untuk marah, aku bahkan hampir tak kuasa untuk terus berdiri di depan tembok itu terlalu lama. Hatiku teriris karena kulihat wajahku sendiri di sana. Di tembok itu, ada aku yang sedang memasak di dapur. Di gambar lain kutemukan diriku asik menonton TV. Ada pula gambar kami sekeluarga. Aku, suamiku dan Fathir saling bergandeng tangan. Di bawah semua gambar-gambar itu, Fathir selalu menuliskan kalimat yang sama. Aku kangen Bunda.

"Bun, rambut," katanya sambil menggoyangkan tanganku yang masih digandengnya.

"Eh ... ya. Apa tidak makan kebabnya dulu?" jawabku sambil tergagap.

"Disimpan di kulkas saja, Bun. Aku sudah ngantuk."

Aku ke kamar mandi, membasuh mukaku dan menangis bersama tiap tetes air yang membasahi wajahku. Gambar-gambar yang mengotori tembok ruang TV itu mengoyak batinku, menampar jiwaku. Aku segera menuntun putraku ke kamar agar ia segera bisa memainkan rambutku. Tak tega rasanya membiarkan anak usia lima tahun tidur terlalu malam. Hari ini ia pasti lelah menahan kantuk hanya untuk menyambut kepulanganku.

Tangan kecilnya memainkan rambutku sementara tanganku mengelus punggungnya. Kami tidur berhadapan. Kutatap matanya yang persis seperti mataku. Aku melihat diriku sendiri pada dirinya. Rasanya ingin tetap seperti ini, memeluknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun