"Bunda akan pulang tiap Sabtu, Nak." Hanya itu yang akhirnya keluar dari bibirku. Aku yakin dia sudah lelah mendengar iming-iming seputar mainan, jajan, beli ini dan itu yang belum sempat ia miliki saat ini. Memangnya apalagi yang harus kujelaskan pada anak seusia itu? Apakah aku harus mengatakan padanya bahwa ibunya kini bekerja mengabdi pada negara dan harus siap ditempatkan di mana saja? Lalu bagaimana jika ia balik bertanya, "negara itu siapa dan mengapa Bunda harus mengabdi padanya?"
"Tidur ya, Nak." Dia mengangguk kemudian memejamkan mata. Seperti biasa, tanganku mengelus punggungnya. Pipinya yang masih basah pelan-pelan mengering. Setelah kupastikan ia pulas, aku meninggalkannya untuk lanjut berkemas.
...............
Perjalanan dari Ngawi ke Lamongan memakan waktu kurang lebih empat jam. Selama perjalanan, tak kusangka Fathir menunjukkan wajahnya yang riang. Tadinya aku sempat khawatir ia akan terus menangis. Ia hanya sedikit kecewa ketika stan kebab kesukaannya masih tutup. Untunglah ia mau kubujuk membeli kebab di tempat lain.
Tiba di Lamongan, kami langsung menuju rumah kontrakan yang sudah kupesan melalui seorang teman. Fathir membantuku mengeluarkan barang-barang dari bagasi dan membawanya ke dalam kamar.
"Bunda nanti sendiri di sini? Apa nggak takut?" tanyanya padaku sambil memandangi rumah yang masih sepi.
"Tenang, teman bunda belum datang."
Aku memintanya untuk beristirahat karena selama perjalanan Fathir tidak bisa tidur. Namun, ia terus membuntutiku. Malahan, tangannnya meraih pakaianku dan ditatanya ke dalam lemari yang sudah tersedia. Tangannya yang masih kecil itu tentu tak sempurna menata pakaianku dan membuatnya jadi berantakan. Aku sudah sangat lelah dan tak ingin melihat semuanya lebih berantakan lagi.
"Fathir main di depan ya. Di depan ada kolam ikan. Biar bunda yang bereskan," kataku.
Dia mengangguk dan langsung meninggalkanku bersama barang-barang yang masih bercecer. Aku kaget karena sekilas kulihat matanya berkaca. Dia berjalan ke luar tanpa sepatah kata pun. Dengan cepat kusadari aku melakukan kesalahan. Fathir hanya ingin membantu dan membersamaiku membereskan pakaian. Â Bagaimana bisa di saat seperti ini justru kubuat hatinya kecewa? Ah, betapa bodohnya aku.
Aku mengintip Fathir dari balik jendela dengan perasaan kesal pada diri sendiri. Kupikir ia akan bersemangat melihat ikan karena kebetulan di depan kontrakan ada kolam  kecil yang diisi dengan ikan patin. Namun, kali ini ia menatap ikan-ikan itu dengan wajah muram. Tangannya memetik dedaunan bunga bugenvil, menyobekinya menjadi kecil-kecil lalu melemparkannya ke kolam.