"Belum tidur? Kenapa tidak pakai jaket?" tanyaku sambil mengelus pipinya. kulihat Fathir tampak berbeda. Dulu tubuhnya berisi dan bugar. Kini, belum seminggu kutinggalkan, ia sudah terlihat turun berat badan.
"Belum, nunggu Bunda. Aku pengin rambut." Kami memasuki rumah. Tanganku digandengnya, sedang kebab dan pistol mainan pemberianku digeletakkannya begitu saja di kursi ruang keluarga.
Saat sampai di ruang TV, aku terperanjat karena tembok yang biasanya kujaga agar tetap bersih dan mulus, kini penuh coretan berwarna-warni. Di beberapa bagian ditempeli kertas yang telah digambari. Aku buru-buru mendekat dan melihat apa yang telah dilakukan putraku saat aku tak ada di rumah.
"Hasil menggambar Fathir sudah semakin bagus." Ayahnya buru-buru memberi komentar. Aku masih mematung di depan tembok itu.
"Jangan marah ya. Biarkan tembok ini kotor untuk mengembangkan kreativitasnya."
Tak satu kata pun bisa keluar dari mulutku. Aku terus mengamati tembok yang tak lagi bersih itu. Tidak, aku tidak marah. Jangankan untuk marah, aku bahkan hampir tak kuasa untuk terus berdiri di depan tembok itu terlalu lama. Hatiku teriris karena kulihat wajahku sendiri di sana. Di tembok itu, ada aku yang sedang memasak di dapur. Di gambar lain kutemukan diriku asik menonton TV. Ada pula gambar kami sekeluarga. Aku, suamiku dan Fathir saling bergandeng tangan. Di bawah semua gambar-gambar itu, Fathir selalu menuliskan kalimat yang sama. Aku kangen Bunda.
"Bun, rambut," katanya sambil menggoyangkan tanganku yang masih digandengnya.
"Eh ... ya. Apa tidak makan kebabnya dulu?" jawabku sambil tergagap.
"Disimpan di kulkas saja, Bun. Aku sudah ngantuk."
Aku ke kamar mandi, membasuh mukaku dan menangis bersama tiap tetes air yang membasahi wajahku. Gambar-gambar yang mengotori tembok ruang TV itu mengoyak batinku, menampar jiwaku. Aku segera menuntun putraku ke kamar agar ia segera bisa memainkan rambutku. Tak tega rasanya membiarkan anak usia lima tahun tidur terlalu malam. Hari ini ia pasti lelah menahan kantuk hanya untuk menyambut kepulanganku.
Tangan kecilnya memainkan rambutku sementara tanganku mengelus punggungnya. Kami tidur berhadapan. Kutatap matanya yang persis seperti mataku. Aku melihat diriku sendiri pada dirinya. Rasanya ingin tetap seperti ini, memeluknya.