Kemarin grup WA saya yang hanya beranggotakan delapan orang perempuan benar-benar ramai. Tak biasanya obrolan kami begitu panjang, nyaris tanpa putus selama tiga jam.Â
Keramaian tersebut berawal dari kiriman foto seorang teman yang sedang terbaring di rumah sakit. Sebut saja teman saya itu dengan nama Dilla.Â
"Minta doanya ya kawan-kawan. Aku sudah tiga hari di sini," tulisnya.
Teman-teman yang ada di dalam grup satu per satu memberi respon. Tentu saja semua mendoakan kesembuhan Dilla.Â
Tadinya saya menduga kalau Dilla dirawat karena tertular virus korona. Tak aneh kan, kalau saya menduga begitu?Â
Soalnya ia memang bekerja di luar rumah dan bertemu banyak orang setiap hari. Namun, ternyata dugaan saya keliru.
"Aku kecapekan dan stres. Kata dokter perlu istirahat dulu," tulis Dilla tak lama setelah saya menanyakan sakitnya.
Saya heran dan tentu saja kepo dengan penyebab Dilla menjadi stres hingga harus dirawat di rumah sakit.Â
Namun, sebelum sempat bertanya, Dilla terlihat masih mengetikkan pesan, "Setelah ini mungkin aku akan resign dari kerja. Fokus mengurus rumah dan anak. Doakan aku bisa betah di rumah ya."
Saya langsung kaget membacanya. Setahu saya Dilla bukan tipe perempuan yang suka di rumah.Â
Saya bahkan masih ingat bagaimana menggebunya dia dulu bercerita ingin menggapai cita-cita.Â
Pokoknya aneh kalau teman saya satu ini tiba-tiba berniat resign, sementara pekerjaan yang digeluti saat ini adalah impiannya sejak dulu.
"Bentar to. Kamu itu stres kenapa? Trus kenapa juga harus resign?" Tanya salah seorang dari kami. Dilla pun menjelaskan kalau itu semua adalah keinginan suaminya.Â
Ceritanya, sang suami tak ingin Dilla mengorbankan tugas utamanya. Menurut sang suami, tugas utama perempuan adalah mengerjakan urusan domestik.
Itulah sebabnya setelah mengetahui kalau Dilla sebenarnya kelelahan mengurus pekerjaan ganda, sang suami langsung memutuskan agar Dilla di rumah saja.
Teman-teman di dalam grup berusaha menyemangatinya. Salah satu teman sempat menyarankan untuk join bisnis online saja agar Dilla tak merasa jemu di rumah. Namun ia menolak karena berbisnis memang bukan pekerjaan yang diminatinya.
"Yo wes, selamat bersenang-senang di rumah dengan wajan dan sutil." Saya mencoba meramaikan suasana.
"Bersenang-senang, gundulmu! Sebenarnya aku masih ingin kerja. Nggak kebayang kalau di rumah saja," balas Dilla disertai emotikon bercucuran air mata.
Saya sempat ingin tertawa membaca pesan itu. Namun, sebelum sempat membuka mulut, saya sadar kalau Dilla sedang tak bahagia dengan keputusan suaminya.Â
Saya pun mencoba memberi saran agar ia mengkomunikasikan keinginannya tersebut. Ternyata Dilla pun telah melakukannya tetapi sang suami ngotot menyuruhnya untuk tetap di rumah.
"Kok keputusaannya malah resign sih, bukannya membagi tugas rumah biar kamu nggak kecapekan?" Seloroh salah seorang teman.
Dilla akhirnya membeberkan kalau sang suami tak pernah membantunya mengurus pekerjaan rumah.Â
Dilla bahkan tadinya diizinkan bekerja dengan syarat tugas rumah tetap dia selesaikan.Â
Untuk itu, ia harus bangun pagi sebelum subuh dan tidur lebih malam menyiapkan segala keperluan untuk esok harinya.Â
Ia belum mampu membayar pembantu rumah tangga karena gaji Dilla dan suami belum bisa dibilang cukup besar. Anak balitanya saja dirawat sang nenek saat Dilla bekerja.
***
Saya yakin, hal seperti ini tidak hanya menimpa Dilla. Perempuan memang seringkali dihadapakan pada pilihan sulit antara karir dan pekerjaan rumah.Â
Banyak perempuan yang pada akhirnya mengorbankan cita-cita demi memenuhi perintah suami atau demi terlihat menjadi perempuan sejati di tengah keluarga dan masyarakat dengan cara mengabdikan diri sepenuhnya di ranah domestik.
Sejak zaman nenek moyang pekerjaan rumah memang diidentikan dengan perempuan sementara mencari nafkah identik dengan lelaki.Â
Namun, seiring berkembangnya zaman, banyak wanita yang ikut mengaktualisasikan diri di dunia kerja.Â
Menurut data Badan Statistik Pusat (BPS) keterlibatan perempuan dalam dunia kerja terus mengalami kenaikan.
Hal tersebut tentu saja merupakan sesuatu yang positif. Artinya, perempuan mulai mendapat tempat yang sama dengan laki-laki di dunia kerja.Â
Namun sayangnya, hal itu tidak dibarengi dengan kesadaran dari kaum lelaki bahwa tugas rumah sesungguhnya merupakan tugas bersama. Sehingga meski perempuan telah bekerja dengan porsi yang mungkin sama beratnya dengan lelaki, ia masih harus menyelesaikan setumpuk tugas domestik.
Sampai saat ini kita tentu masih sering melihat perempuan yang sejak pagi sekali sudah beraksi di dapur, sementara suaminya duduk manis menyesap kopi sambil memainkan ponsel.Â
Ada pula perempuan yang terlihat sangat repot dengan anak-anak balitanya sementara sang suami terus asyik menonton TV.
Parahnya, di masyarakat khususnya pedesaan, lelaki yang ikut mengerjakan tugas rumah justru akan dianggap nyleneh, takut istri, kurang macho, dan lain sebagainya.Â
Akhirnya, tak memedulikan perempuan yang kelelahan mengurus rumah tampak sebagai perbuatan yang sah dan baik-baik saja.
Anehnya lagi, perempuan juga seringkali tidak mendapat dukungan dari perempuan lain untuk mendapatkan kesetaraan.Â
Misalnya saja dari ibu mertua yang saat mendapati anak laki-lakinya mengerjakan pekerjaan rumah, menantu perempuan akan disalahkan dan dicap sebagai pemalas. Hinaan juga bisa datang dari perempuan lainnya sesama ibu rumah tangga.Â
Pernah suatu ketika saya melihat seorang perempuan memposting keadaan rumahnya yang cukup berantakan karena ia seorang pekerja dan juga ibu rumah tangga.Â
Muncul beberapa komentar yang justru merendahkan saat menanggapi postingan tersebut, "Ih, jadi perempuan kok jorok amat. Kalau aku, habis menggunakan benda apa pun pasti langsung kubersihkan dan kubereskan." Kata salah seorang netizen.
Intinya, masih banyak yang beranggapan bahwa perempuan seutuhnya adalah dia yang mampu mengerjakan seluruh tugas domestik.Â
Kalau ada perempuan punya karir gemilang, hal itu dianggap biasa saja jika dia tak mampu memasak dan mengurus anak. Tak jarang perempuan seperti ini justru disebut mementingkan diri sendiri.
Demi menghargai tradisi yang sudah lama berjalan itulah, akhirnya beberapa perempuan memaksakan diri berperan ganda tanpa bantuan.Â
Maka, tidak heran jika ada perempuan yang stres dengan pekerjaan ganda kemudian jatuh sakit.Â
Mungkin itu memang salah satu dampak dari perempuan yang kurang kuat secara fisik, seperti yang dialami Dilla.Â
Beberapa perempuan lainnya tampak sehat dan baik-baik saja, tetapi sangat mudah marah dan tak jarang memukul anak-anaknya.Â
Saking banyaknya tugas yang dipikul, perempuan terkadang juga mudah sekali berteriak untuk hal sepele sekalipun.
"Ya sudahlah, akan tetap kunikmati keputusan ini dari pada harus bertengkar dengan suami," tulis Dilla sambil berpamitan pada kami semua karena perawat rumah sakit datang untuk memeriksa kondisinya.Â
Kami pun bersama-sama kembali mendoakan kesembuhannya dan berharap Dilla bisa menemukan kebahagiaan walau itu bertentangan dengan keinginannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H