Menurut data Badan Statistik Pusat (BPS) keterlibatan perempuan dalam dunia kerja terus mengalami kenaikan.
Hal tersebut tentu saja merupakan sesuatu yang positif. Artinya, perempuan mulai mendapat tempat yang sama dengan laki-laki di dunia kerja.Â
Namun sayangnya, hal itu tidak dibarengi dengan kesadaran dari kaum lelaki bahwa tugas rumah sesungguhnya merupakan tugas bersama. Sehingga meski perempuan telah bekerja dengan porsi yang mungkin sama beratnya dengan lelaki, ia masih harus menyelesaikan setumpuk tugas domestik.
Sampai saat ini kita tentu masih sering melihat perempuan yang sejak pagi sekali sudah beraksi di dapur, sementara suaminya duduk manis menyesap kopi sambil memainkan ponsel.Â
Ada pula perempuan yang terlihat sangat repot dengan anak-anak balitanya sementara sang suami terus asyik menonton TV.
Parahnya, di masyarakat khususnya pedesaan, lelaki yang ikut mengerjakan tugas rumah justru akan dianggap nyleneh, takut istri, kurang macho, dan lain sebagainya.Â
Akhirnya, tak memedulikan perempuan yang kelelahan mengurus rumah tampak sebagai perbuatan yang sah dan baik-baik saja.
Anehnya lagi, perempuan juga seringkali tidak mendapat dukungan dari perempuan lain untuk mendapatkan kesetaraan.Â
Misalnya saja dari ibu mertua yang saat mendapati anak laki-lakinya mengerjakan pekerjaan rumah, menantu perempuan akan disalahkan dan dicap sebagai pemalas. Hinaan juga bisa datang dari perempuan lainnya sesama ibu rumah tangga.Â
Pernah suatu ketika saya melihat seorang perempuan memposting keadaan rumahnya yang cukup berantakan karena ia seorang pekerja dan juga ibu rumah tangga.Â
Muncul beberapa komentar yang justru merendahkan saat menanggapi postingan tersebut, "Ih, jadi perempuan kok jorok amat. Kalau aku, habis menggunakan benda apa pun pasti langsung kubersihkan dan kubereskan." Kata salah seorang netizen.