Mohon tunggu...
Johansen Silalahi
Johansen Silalahi Mohon Tunggu... Penulis - PEH

Saya adalah seorang masyarakat biasa yang menyukai problem-problem sosial, politik, lingkungan, kehutanan. Semoga bisa berbuat kebajikan kepada siapapun. Horas

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Kisah Pacaran LDR Tahun 2000an

3 April 2023   11:44 Diperbarui: 4 April 2023   09:53 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini mungkin agak nyeleneh karena jika disandingkan dengan era sekarang mungkin sekarang bisa dikategorikan lebay. Teman-teman segenerasi dengan saya mungkin pernah mengalami hal yang saya rasakan terutama kelahiran tahun 80 tahun keatas. 

Mengambil Judul Kisah Pacaran Jarak Jauh (Long Distance Relationship) di era tahun 2000an. Tulisan ini dilatarbelakangi oleh pengalaman penulis saat menjalin suatu hubungan dengan seorang gadis yang terpisah karena pendidikan. 

Saat itu di tahun 2003, perkembangan teknologi tidak seperti sekarang (terbatas). Komunikasi dilakukan dengan telepon rumah atau wartel (warung telekomunikasi) dan surat menyurat.

Tulisan ini akan membahas komunikasi melalui wartel dan surat menyurat saat menjalin hubungan (pacaran) dengan seorang mahasiswi di Universitas Negeri Medan. 

Pada tahun 2003-an, orang yang memiliki alat komunikasi seperti HP (handphone) masih terbatas dan sangat mahal jika ada. 

Saat itu juga pulsa sangat mahal karena keterbatasan di pasaran sehingga bisa dikategorikan yang memiliki HP adalah orang yang cukup dalam hal finansial. 

Solusi komunikasi yang cukup populer saat itu adalah komunikasi di wartel atau melalui surat menyurat. Saat itu kalau tidak salah Fb, IG dan lainnya belum ada, yang ada hanya email, friendster yang saya ketahui dan itupun sangat terbatas pengetahuan saya.

Pertama kita bahas adalah komunikasi dengan wartel (warung telekomunikasi), tentu ini sangat menarik untuk dituliskan kembali karena sarat kenangan dan pembelajaran saat itu. 

Maklum saat itu, saya hanya mengandalkan wartel untuk berkomunikasi atau menjalin hubungan dengan seorang mahasiswi cantik di Medan. Saat itu saya berjuang melanjutkan studi di salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Yogyakarta sementara pacar saya melanjutkan studi di salah satu PTN di Sumatera Utara. 

Secara jarak tentunya lumayan jauh karena membutuhkan cost (biaya) yang cukup untuk pulang ke Medan. Saat itu, saya selalu memanfaatkan wartel untuk melakukan komunikasi dengan pacar saya untuk sekedar bercerita atau saling tanya kabar (hal lumrah). 

Kebetulan kost saya dekat dengan wartel, seperti biasa di dalam wartel terdapat kamar bicara umum yang berisi telepon untuk dipakai oleh konsumen. 

Saat itu semakin malam kita menggunakan jasa telepon tentunya akan semakin murah biaya yang kita bayar. Maklum tarif mahasiswa adalah murah, enak, bergizi bahkan gratis berlaku ke semua (tidak hanya makanan). Hehehhehee. Saat itu, kita sudah memiliki jadwal kapan harus menelpon dan saling bertanya kabar. 

Sebagai seorang pengembara cinta tentunya, ini lah yang ditunggu-tunggu karena perasaan senang dan jantung berdebar untuk menghubungi si Doi (istilah saat ini) dikarenakan rasa senang jika mendapat kabar senang bahkan sebaliknya. 

Malam itu, saya sudah siapkan beberapa pertanyaan untuk ditanya ke si Doi untuk menghemat biaya tarif wartel, biasanya saya menelpon si Doi pada waktu malam minggu. 

Waktupun tiba untuk menelpon si Doi, tanpa pikir panjang, saya langsung memencet nomor yang akan dihubungi (nomor si Doi). Sudah luar kepala tentunya nomor si Doi, dengan raut wajah senang, komunikasi kami berlangsung mulai dari hal umum seperti menanyakan kabar, kondisi kuliah, permasalahan-permasalahan yang dihadapi. 

Sembari berkomunikasi, tentunya berbekal belanja bulanan yang cukup, mata saya tidak bisa lepas dari nomiminal jasa wartel yang tertera di depan saya. Itulah salah satu alasan saya menulis bahan-bahan pertanyaan yang saya siapkan untuk bahan pembicaraan dengan si Doi.

Pembicaraan pun berlangsung dengan hati yang senang dengan tarif yang sudah saya batasi misalnya saat itu tarif maksimal yang saya anggarkan adalah Rp.20.000,-. Tiba-tiba tarif sudah mendekati yang sudah saya patok, dengan nada kesal pembicaraan kami akhiri dan kami memutuskan komunikasi dengan surat menyurat. 

Pelajaran yang diambil saat itu adalah mendengar suaranya si Doi kita sudah senang dan melepas rasa rindu kepadanya walau singkat karena dibatasi oleh tarif jasa wartel dan kondisi keuangan kita. 

Banyak pengorbanan yang kita korbankan saat itu seperti waktu, biaya dan tentunya bahan-bahan pembicaraan yang kita diskusikan. Jika sudah menelpon si Doi tentunya semangat itu akan bangkit kembali walau rasa rindu terus menghantui kita. Hehehhe

Komunikasi kita selanjutnya dengan si Doi tentu berlanjut dengan surat menyurat. Saat itu surat menyurat sangat familiar dan sangat muda kita jumpai di pusat perbelanjaan dengan banyak variasi seperti warna, weangian, bentuk dan harga. Era tahun 2000an pasti merasakan hal ini apalagi surat untuk sang buah hati atau pacar kita. 

Di surat ini biasanya segala isi hati disampaikan dengan si Doi karena selain murah, pesan yang disampaikan tentunya banyak. Kelemahan dari surat menyurat adalah kita tidak bisa melihat foot atau suara dari si Doi. Sehingga surat dan penggunaan wartel menjadi saling melengkapi, dimana surat menyuarakan banyak suara hati dengan menulis sedangkan jasa wartel adalah menjawab rasa rindu dengan mendengar suara si Doi. 

Sebagai seorang pria yang harus terus meningkatkan isi dari surat kita, saya terpaksa banyak membaca buku terutama yang romantis seperti karya Kahlil Gibran untuk meningkatkan kualitas kita terhadap si Doi. 

Format surat kepada si Doi saat itu saya banyak diskusi dengan teman saya (tentunya yang sama dengan saya atau LDR), saat itu, saya menggunakan format pengantar, isi dan beberapa kata yang sifatnya merayu. 

Awal dari surat biasanya saya menggunakan pantun dan beberapa pengantar yang saya kutip dari ayat Alkitab. hehehhee. Pantun yang cukup populer sebagai pembuka surat adalah " Bandung Dulu Baru Jakarta, Senyum Dulu Baru Baca", mungkin saat itu, pantun ini cukup disenangi karena mengandung makna pembuka dimana pesannya si Doi membaca surat ini dengan senyum. 

Setelah itu biasanya kita tuliskan curahan hati kita mulai dari situasi perkuliahaan, permasalahan yang kita hadapi, kondisi keluarga dan lain-lain. Bisa dibayangkan saya masih ingat, sekitar 4 (empat) halaman saya tuliskan demi si Doi melebihi soal ujian dari Dosen kita. 

Setelah kita selesai menuliskan isi hati kita melalui surat, saatnya kita mengirimkan ke kantor pos. Biasanya waktu yang dibutuhkan untuk diterima si Doi adalah sekitar 1 minggu. Waktu menunggu dan mengirim surat merupakan suatu cerita yang cukup menarik untuk dituliskan karena ada nilai pembelajaran hidup disitu seperti pelajaran sabar, pengorbanan dan lain-lain.

Kisah pacaran LDR (Long Distance Relationship) di tahun 2000an tentunya menimbulkan banyak kisah yang cukup menarik untuk diingat kembali karena banyak nilai-nilai yang kita pelajari saat itu. Keterbatasan tidak menjadi penghalang bagi sepasang mahasiswa/i untuk menjalin hubungan (pacaran) atau LDR. 

Komunikasi yang cukup efektif saat itu adalah menggunakan surat menyurat dan penggunaaan jasa warung telepon. Semoga tulisan ini dapat menginspirasi atau membangkitkan kenangan bahagia yang pernah dirasakan oleh kita semua untuk lebih menyanyangi apa yang kita punya saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun