Wara wiri covid-19 di media sosial agaknya sudah berlebihan dan mengacaukan logika dan psikologi masyarakat. Media-media arus utama maupun media-media “ikut arus” tiada hentinya memberitakan virus bejat ini dengan data yang kian hari kian meresahkan.
Semua orang sangat bergantung pada data tunggal dengan label ilmiah milik pemerintah. Baru pertama kali dalam sejarah bumi, kita menyaksikan secara langsung kematian bak ajang olimpiade yang tiap harinya menampilkan data jumlah medali menang kalah peserta lomba. Dengan begitu timbulah kecemasan berjamaah di masyarakat. Lalu pemerintah dengan sederhana menyediakan protokol kesehatan ala kadarnya.
Worldometer mencatatat umat manusia saat ini berjumlah 7,782,957,000. Sementara itu jumlah kematian akibat virus ini sejak muncul di bumi pada bulan Desember hingga 8 mei 2020 sebesar 3, 916,257.
Worldometer juga mencatat bahwa tiap hari sebanyak ratusan ribun jiwa melayang dari bumi. Kesimpulannya, secara statistik kematian akibat covid-19 hampir tidak ada artinya jika digabung dengan kenormalan angka kematian manusia tiap hari.
Di Indonesia sendiri angka kematian akibat covid-19 juga berjalan naik. Tercatat hingga 8 mei 2020 sebanyak 930 orang sudah meninggal dari total 12,776 orang yang terkonfirmasi terkena virus ini.
Data ialah anak kandung media. Awalnya pemerintah hendak menutup data dampak covid-19 dengan tujuan agar tidak meresahkan masyarakat. Menyusul keputusan itu, banyak media dan kelompok masyarakat mengkritik keputusan tersebut dengan pertimbangan agar masyarakat selalu waspada terhadap virus.
Akhirnya, setiap hari media memberitakan covid-19 dengan menampilkan data jumlah korban coronavirus secara masif. Getar-getir pun terjadi di mana-mana. Kegiatan agama ditiadakan, lembaga pendidikan diliburkan, dan segala kegiatan berkumul dilarang. Isu kesehatan mulai medapat perhatian publik.
Konspirasi Sebagai Konsumsi Alternatif
Konspirasi ialah istilah yang rumit untuk menyebut kebiasaan menduga, memprediksi, menuduh, bahkan memfitnah dengan dasar yang kabur dan abstrak. Konspirasi memang selalu menyisahkan tanda tanya dengan teorinya yang gantung, serta cerita yang tidak tamat. Ia juga hanya mengandalkan logika yang agaknya buntu dan dipaksakan. Namun, konspirasi selalu mendapat perhatian publik tatkala mengulas masalah yang aktual dengan cerita yang menarik
Banyak sekali teori konspirasi covid-19 muncul di permukaan. Bill Gates disebut-sebut sebagai pencipta virus corona, Amerika dituduh mengirim virus ke China, covid-19 dianggap sebagai alat perang ekonomi, hingga Jerinx percaya bahwa covid-19 sengaja diciptakan dan memicu perdebatan kusir. Di tengah-tengah bumi berduka ini, konspirasi hadir sebagai penangkal pemikiran mainstream. Deretan konspirasi itu muncul dan nyatanya menyita perhatian publik.
Saat ini semua orang sangat tergantung pada media. Hampir semua media menampilkan berita yang sama tiap harinya. Ruang-ruang perbincangan selalu diisi dengan isu yang sama. Konsumsi utama kita pada media ialah berita coronavirus dengan segala tetek bengeknya.
Kita menaruh kepercayaan penuh terhadap media dengan harapan ada berita baik darinya agar tatanan kehidupan kembali normal. Maka masyarakat membutuhkan pemikiran alternatif untuk menetralisir kecemasan yang berlebihan. Konspirasi ialah pemikiran alternatif itu.
Dalam situasi darurat, psikologi kita sebetulnya dirancang untuk melawan atau bertahan. Bentuk perlawanan kita terhadap covid-19 sangat tidak jelas.
Metode pertahanan diri kita juga serba tak karuan. Hal itu terjadi karena ada masalah baru akibat covid-19 selain kesehatan, yaitu merasa dikucilkan, disalahkan, diasingkan dari kehidupan sosial. Maka tekanan psikologis kita menimbulkan lemahnya perlawanan dan sistem bertahan terhadap covid-19. Oleh sebab itu, pemikiran alternatif, seperti konspirasi dianut oleh sejumlah orang untuk menetralisir keadaan darurat.
Media sempat-sempatnya menyediakan ruang untuk teori-teori konspirasi . Media menyadari bahwa konspirasi selalu antagonistis terhadap pemerintah dan sejenis pemikiran mainstream lainnya. Ia mengajak masyarakat untuk jeda dan menyimak bagaimana teori konspirasi itu bekerja. Media sosial yang bekerja dengan logika algoritma seperti twitter pun tiap menit memproduksi pemikiran alernatif. Memang media selalu bekerja sesuai logika bisnis.
Sebagai sebuah konsumsi alternatif, konspirasi juga memicu kecemasan baru di tengah masyarakat. Masyarakat diberi keyakinan baru, lalu masyarakat memproduksi ulang keyakinan itu menjadi sebuah sikap dan perilaku yang memicu kecemasaan baru di tengah isu pandemi covid-19.
Dengan hadirnya konpirasi sebagai sandingan informasi mainstream, logika menjadi sasaran utama. Logika sebagai alat utama dalam berpikir kritis berusahan dirobohkan dengan belenggu konspirasi. Walaupun sebagai pemikiran alternatif, konspirasi selalu menyerang logika. Tergantung bagaimana logika menyaringnya.
Konspirasi Vs Redaksi Media Miskin Pengetahuan Kesehatan
Peristiwa global ini menyerang seluruh sektor kehidupan manusia. Tidak ada ruang bagi manusia untuk bergerak dengan bebas. Seiring itu ruang gerak alam semakin bebas dan liar. Liarnya alam mengajak kita kembali untuk mengenali kerja alam, salah satunya adalah isu kesehatan.
Hadirnya covid-19 di Indonesia membuka sebuah tabir besar. Kita baru sadar bahwa tenaga medis di Indonesia sangat kurang dan tidak cukup. Banyak tenaga medis akhirnya menyerah saat melawan covid-19. Gugur melawan kerja alam. Di samping itu media-media di Indonesia sangat tidak sopan dalam memberitakan isu covid-19, yang akhirnya ikut terlibat meresahkan masyarakat.
Banyak media asal bunyi tanpa memperhatikan kaidah jurnalistik yang baku dan baik. Media yang sering melakukan hal ini adalah media-media lokal. Akhir-akhir ini banyak media berita bermuculan di media sosial. Dengan embel nama news media-media ini mengaku sebagai pekerja pers yang profesional.
Link berita-berita covid-19 besebaran di gurp whatsapp. Orang tidak lagi peduli sumber berita atau redaksi bahasa dan logika jurnalistik yang disajikan. Akibatnya banyak berita yang informasinya berbenturan di tengah masyarkat, apalagi masyarakat yang notabene baru mengenal jaringan internet.
Redaksi media lokal sebetulnya belum siap bekerja dengan isu kesehatan, juga belum siap memperhatikan dengan baik kaidah jurnalistik. Redaksi yang tak terdidik ini menimbulkan kekacauan informasi. Istilah-istilah dunia kesehatan dalam pemberitaan begitu simpang siur. Apalagi istilah-istilah baru terkait virus corona. Media-media ini begitu gagap namun tetap berani menulis dengan tidak memperhatikan dampaknya. Belum lagi berita yang berbasis blogspot, wordpress, dan lainnya, sangat rentan membikin judul provokatif dan membingungkan.
Banyaknya berita miskin bahasa kesehatan dari media-media lokal yang berseliweran menjadikan konspirasi muncul dalam bentuk yang lain. Masyarakat bisa jadi tidak memiliki pegangan untuk menuruti pemerintah. Lalu akan terjadi pembenaran terhadap konspirasi yang sudah terlanjur dibahas media besar.
Pengetahuan dunia kesehatan mulai berantakan. Sederhanannya, masyarakat yang tiap hari mengonsumsi berita dari media-media lokal cenderung mengalami tekanan psikologis yang kompleks. Silogisme tanpa riset ilmiah ini terlihat sangat buntu, namun kita tidak bisa menutup mata dengan apa yang benar-benar terjadi pada masyarkat kelas menengah ke bawah.
Mayarakat yang tidak memiliki atau tidak terbiasa akses berita di internet juga akan memakan mentah informasi yang keliru dari orang lain. Pemerintah sangat kesulitan menerapkan protokol kesehatan dalam kondisi masyarakat seperti ini. Kompleksitas persoalan covid-19 di masyarakat sudah melampaui kebeneran. Memang perkawinan kondisi pendidikan, ekonomi, serta birokrasi kita sangat berterima terhadap covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H