Seperti pernah kau tuliskan dalam "Puisi Kesedihan": kesedihan bisa digunakan/ untuk menggarisbawahi kebahagiaan.
Satu hal yang mudah ditangkap darimu : sederhana. Seperti kata-kata yang kau pungut di pelataran kehidupan. Kesederhanaan kata-kata yang kemudian menjadi tikaman perasaan. Entah mengernyitkan dahi atau terpingkal usai membaca puisimu.
Kata-katamu selalu sederhana, Bahasa sehari-hari. Tidak menukik, bersilat kata atau memakai idiom biar kelihatan serius atau keren. Seperti itu juga keseharianmu.
Kesederhanaan itu yang meruntuhkan sekat penyair senior dan anak bawang alias pemula. Sekat yang sangat terasa bagi para pemula seperti aku. Sekat yang kemudian membuatku kemudian membuat panggung bagi semua : Sastra Reboan.
Mereka yang pernah bertemu denganmu merasakan keakraban, sekaligus bisa mencuri aura kepenyairanmu. Seperti saat aku ajak dirimu bertemu dengan teman-teman komunitas Bunga Matahari, atau kau berbicara di malam-malam yang pengap di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta Selatan.
Tanpa sekat itu yang aku rasakan ketika kita diundang penyair Hasan Aspahani untuk mengisi acara di Bintan Art Festival, Januari 2007. Saat kita menanti pesawat di Bandara Soekarno-Hatta, aku ajak ke kafe, kau mengeluarkan makian khas Jogja saat melihat harga secangkir kopi.
Hasan juga mengundang kita ke kantor redaksi Tribun Batam usai kita tiba di Batam. Malamnya, usai acara, dia menemani kita ngobrol di lobi hotel bersama Butet Kartarajasa.
Ibadah
Dalam kekangan waktu dan salah cetak hidup, kau terus melesat dengan menunaikan ibadah puisi. Ibadahku bolong, tapi tetap dijalani. Puisi masih lahir di tengah komedi kehidupan.
Pernah aku sapa, dirimu sedang mengisi ibadah di sebuah kota di Kalimantan. "Aku kirim biskuit untuk dicoba,semoga renyah," katamu saat itu.
Namun, selalu kutangkap kesedihanmu. Seolah tak pernah habis meski berbatang rokok sudah tergeletak tak berdaya di asbak. Kesedihan yang juga milik banyak orang yang tak sempat dijadikannya puisi.