Banyak hal belum sempat kita bincangkan, seperti biasanya saat malam mulai merayap menjemput sepi.
Lalu kesedihan itu tiba, meski aku tahu kita tak pernah bisa melawan waktu. Kau pergi lebih dahulu, terbaring diam di Rumah Sakit Panti Rapih, Jogja pukul 06.03. Pagi di Jogja dengan sisa dingin, dan celana yang belum kering di jemuran. Kabar pun semerbak berdatangan : Joko Pinurbo Berpulang.
Kau pergi lebih dahulu setelah memperbaiki banyak salah cetak dalam hidup. Aku dan teman-teman penyair, juga penggemarmu, akan terus mencoba menutupi salah cetak itu.
Pergimu juga menyisakan satu buku yang belum sempat aku mintai tandatanganmu. "Kepada Cium" yang di dalamnya ada namaku, sebagai tukang jepret untuk fotomu.
Aku pun belum sempat menjawab apa yang kau tulis dalam pengantar di buku puisiku :
"Yo, aku mengerti bahwa puisi bukan sekadar kata-kata. Salah satu salah kaprah kita, para penyair, ialah bahwa kita suka memaksa kata-kata untuk mampu menyatakan semua yang ingin dikatakan hati dan pikiran kita (dan itulah sebabnya, sajak-sajak kita, para penyari, sering terkesan cerewet dan sok tahu). Meminjam kata-kata dalam sebuah sajak Toto Sudarto Bachtiar, "kata-kata tidak cukup buat berkata".Â
Pada akhirnya yang tertinggal dari pusi mungkin bukan lagi kata-kata, melainkan apa yang telah digoreskan atau ditorehkan kata-kata. Ah, di akhir gelisahku malam ini, aku terpikat pada sajak pendekmu "Puisi Bagimu".
sajak-ajakku tergeletak di meja
terisak tanpa kata
Selamat malam, Yo. Selamat datang di dunia penulisan sastra. Kalau pun tidak berniat menjadi seorang petarung atau petualang, kau dapat menjadi seorang pencinta yang keras kepala."
Aku cuma ingin mengatakan, dalam keterlambatan dan isak yang membisu, bahwa aku telah memilih menjadi petarung yang keras kepala.