Mohon tunggu...
Johanna Ririmasse
Johanna Ririmasse Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis

L.N.F

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bahagia Itu Sederhana

1 Juli 2016   20:40 Diperbarui: 1 Juli 2016   20:45 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : cy.wordpress.com

"Ahmad, ose ada di mana?"

"Beta ada di kamar, mama Shinta."

Ibu Shinta membuka pintu kamar Ahmad, dan menjulurkan telepon genggam kepada Ahmad. "Ini ada telepon dari mama, Ahmad."

Ahmad mengambil telepon genggam dari ibu Shinta. "Danke, mama Shinta."

Ibu Shinta tersenyu dan memberikan kesempatan buat Ahmad berbicara dengan Mama Imah. 

"Assalamwalikum, Mama."

"Walikumsalam, Ahmad." Suara mama Imah terdengar dari seberang. "Bagaimana sekolahmu?"

"Baik, Mama." Ahmad tersenyum mendengar perhatian dari mama Imah. "Mama, ada seleksi calon lomba pidato dalam bahasa Inggris di sekolah."

"Ahmad jadi salah satu calon lomba pidato dalam bahasa Inggris?"

"Tidak, Mama. Beta dan Mia akan mewakili sekolah untuk lomba lari."

"Oh yeah?! Semoga Ahmad dan Mia berhasil membawa nama sekolah ya."

"Iya, Mama."

"Terus, siapa yang dicalonkan dari sekolah untuk lomba pidato?!"

"Silvi, anak Oom Icak yang duduk di kelas enam. Dia sudah gugur dalam seleksi, Mama. Sekarang, Delon dan Samuel yang akan melalui tahapan seleksi akhir, Mama."

"Yeah, sudah. Mama mendukung Delon dan Samuel. Semoga mereka dapat melakukan yang terbaik. Oh, iya. Salam buat mama Shinta dan papa Kristo dari mama."

"Iya, Mama..." Ahmad keluar dari kamar, dan mendapatkan pak Kristo dan ibu Shinta sedang duduk di sofa. Samuel yang sedang membaca buku, mengangkat kepalanya dan berkata. "Salam buat mama Imah dan adik Fauziah."

"Salam juga buat mama dan adik Fauziah, dari mama Shinta dan papa Kristo." Kata, ibu Shinta.

Ahmad menyampaikan salam kepada mama Imah, mengucapkan kalimat perpisahan dan menutup telepon. Ahmad memberikan telepon genggam kepada ibu Shinta, dan bertanya tentang latihan lari yang dipersiapkan Ahmad. "Beta sudah latihan lari di lapangan bola tadi sore, mama Shinta."

Mama Shinta memberikan semangat kepada Ahmad. "Wah, itu baik. Tetap semangat, Ahmad."

Pak Kristo menaruh baru membaca pesan masuk di telepon genggam, dan mengikuti percakapan isterinya dengan anak-anak. "Mama, kita kan punya vitamin yang disediakan di rumah. Mama sudah berikan vitamin tersebut buat Ahmad? Biar Ahmad minum vitamin dan tubuhnya tambah kuat."

"Iya, papa. Mama sudah kasih vitamin kepada Ahmad dan Samuel. Mama juga menyiapkan bubur kacang hijau, susu, bubur dan telur ayam kampung untuk sarapan. Sehingga, Ahmad dan Samuel bertambah gizinya untuk persiapan mengikuti lomba nanti."

"Anak-anak mau makan?"

"Beta sudah makan apa yang mama siapkan, papa." Samuel yang masih menekuni buku yang dibacanya, menjawab pertanyaan pak Kristo.

"Beta juga, papa Kristo." Kata, Ahmad.

Pak Kristo, tersenyum. "Papa senang karena mama selalu mendukung pendidikan anak-anak."

"Iya, papa. Anak-anak adalah masa depan bangsa dan negara kita."

***

"Menurut beta, Samuel yang harus menjadi perwakilan sekolah kita untuk lomba pidato." Berty, memberi pendapatnya.

"Beta tidak sependapat dengan ose, Berty." Rima, berkata. "Menurut beta, Delon juga fasih berbahasa Inggris."

"Menurut beta, Berty benar. Samuel itu calon unggulan. Dia cerdas dan pintar berbahasa Inggris." Mia, berkata.

"Beta tidak setuju dengan kalian." Pedro berdiri dan melempar batu ke arah laut. "Jangan karena Samuel termasuk kelompok Pattimura. Jadi, kalian mendukung Samuel. Beta setuju dengan Rima. Delon juga cerdas. Delon yang mendapat nilai tertinggi dalam pelajaran di kelas kita selama ini. Delon juga, ok."

"Memang Samuel dari kelompok Pattimura yang pas." Tika, ikut membantah pendapat Pedro.

"Kalian ini bicara apa?! Kita sudah bersatu selama ini. Kita sudah bekerja sama. Jangan karena Samuel dan Delon yang dicalonkan, dan sedang diseleksi untuk menentukan. Siapa yang akan terpilih mewakili sekolah kita..." John berhenti sebentar, menatap sahabat-sahabatnya satu persatu, yang sedang duduk di jembatan markas pertemuan. "Sehingga, kita menjadi terpecah kembali, antara Pattimura dan Reebok. Untuk memilih Samuel atau Delon?!"

Anak-anak terdiam mendengar kata-kata John. Ahmad dan Sisi menganjurkan agar golput saja, tidak mau memilih. Berty dan Pedro mengangkat tangan, dan mengakui bahwa apa yang dikatakan John benar. Rima, Mia, Tika dan Nona tidak mau memberi pendapat. Sementara itu, Samuel dan Delon tidak ada dipertemuan sore ini.

***

Mama Aya dan Ann sedang duduk berhadapan di lantai. Mama Aya menaruh beberapa kartu di atas meja, dan bertanya kepada Ann. "Tunjuk, angka 3!"

Ann menunjuk angka yang dikatakan mama Aya. Kemudian, mama Aya tertawa senang sambil mengangkat kedua tangannya di udara. "Yeah, Ann bisa. Mama mau tanya lagi..."

Ann hendak berdiri meninggalkan meja, namun tangan Ann dipegang sama Mama Aya. "Duduk ya!"

Ann duduk. "Tunjuk angka 4..."

Ann menepuk tangannya. "Dengar, Mama." Mama Aya meminta perhatian Ann kembali. "Tunjuk, angka 2! Tunjuk, angka 7! Tunjuk, angka 1!" Ann melakukan apa yang diminta mama Aya. Dan, Mama Aya tersenyum senang dan memeluk Ann bahagia.

Papa Mathew baru pulang kerja dan duduk di sofa. Mama Aya juga baru selesai mengajar Ann, sesuai dengan teknik terapi yang diajarkan dokter Kristo. Papa Mathew meneguk teh manis yang disediakan Mama Aya. Papa Mathew turut bahagia mendengar cerita Mama Aya, tentang perubahan perilaku Ann sejak belajar angka, dengan teknik baru yang diajarkan pak Kristo. Papa Mathew bersyukur kepada Tuhan atas perkembangan belajar Ann.

"Papa sudah pulang kerja ya?! Papa belum sayang, Ann. Mana kumis, Papa?!"

Papa Mathew mengangkat Ann ke atas pangkuannya, mencium perut Ann dan menggelitik dengan kumisnya. Ann tertawa senang, tangannya diulurkan ke depan wajah papa Mathew. Tentu saja, papa Mathew yang sudah mengerti keinginan anak perempuannya, mencium dan menggelitik lengannya. Papa Mathew dan Ann tertawa bersama-sama. Papa Mathew menaruh Ann dipundaknya dan menerbangkannya di udara. Kebahagiaan dan tawa yang terdengar, mewarnai sore ini. Kebahagian yang terpancar bersama rasa syukur. Bahagia itu sederhana.

***

(Writer : Johanna Ririmasse)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun