Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mabuk Laut yang Hebat dalam Perjalanan Kapal Laut merupakan Penderitaan Tiada Terperi

5 April 2021   12:11 Diperbarui: 6 April 2021   21:09 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menumpang kapal laut dari Sibolga ke Tanjungpriuk? Aku membayangkan untuk kali pertama bisa memandang daratan dari tengah laut. Pantai yang memanjang, bangunan-bangunan seperti rumah mainan, pepohonan yang langsing dan gunung yang membiru yang tampak dari kejauhan. Ini sepertinya akan sangat mengasyikan. Berbeda dengan memandang lautan dari darat.

Rindu kampung halaman lebih tepat kalau ditunaikan dengan pulang kampung sesungguhnya. Situasi  kampung terkini bukan dicerna dari kabar kamar kecil yang didapat melalui wartel dengan keterbatasan bicara karena ingin menghemat pulsa, atau dari surat yang sesekali datang. Pulang kampung, ini rencana yang sedang disusun setelah lebih dari dua tahun meninggalkannya.

Hal-hal yang harus ada sebelum mewujudkannya adalah persetujuan cuti, oleh-oleh khas Padangsidempuan dan tiket kendaraan. Cuti 12 hari untuk tujuan ke luar pulau setelah 2 tahun tak pernah menggunakan cuti efektif, sepertinya bukan sesuatu yang sulit untuk memperoleh persetujuan pimpinan. Oleh-oleh atau buah tangan? Ah, mudah saja itu. Buah salak yang berwarna merah muda, ikan limbat asap, atau beberapa lembar kain ulos kesemuanya masih terjangkau dengan penghasilanku. Tiket pesawat terbang untuk 4 penumpang pulang pergi? Ini yang menjadi masalah.

Pada tahun 1999 biaya selembar tiket pesawat termurah tujuan Medan-Jakarta sebesar 700 ribu rupiah. Gajiku take home pay saat itu hanya 650 ribu. Bila mengesampingkan seluruh kebutuhan hidup kami selama satu bulan gaji tersebut belum cukup untuk membeli selembar tiket pesawat. Lebih-lebih untuk tiket istri dan dua anak atau 8 tiket untuk pulang dan pergi. Mustahil bisa mudik ke kampung halaman dengan menumpang pesawat terbang.

Ada yang lebih murah dan terjangkau yaitu naik bus ALS. Harga tiketnya untuk rute Padangsidempuan-Bandung tak lebih dari 200 ribu untuk satu orang. Risikonya harus mempersiapkan dana untuk makan selama perjalanan. Lama perjalanan Padangsidempuan-Bandung kurang lebih 3 hari 3 malam -kalau bus tidak mogok di tengah jalan, seperti kejadian tempo hari ketika bus mogok karena jalan amblas di Aek Latong saat pergi ke Medan. Artinya harus sedia uang kas untuk setidaknya 9 kali makan untuk empat orang. Risiko lain adalah kaki bengkak karena terlalu lama duduk kaku selama perjalanan. Alamak!

"Naik kapal laut saja Pak."

Pak Endang Rachman, supir kantor memberi usul.

Mungkin ini yang disebut jalan tengah. Harga tiket kapal Pelni untuk kelas 1 dua kali lipat dari tiket bus, tetapi selama perjalanan disediakan makan. Lama perjalanan 2 hari 2 malam untuk sampai di Tanjung priuk. Tawaran yang menarik untuk dipertimbangkan.

Kalau jadi, ini merupakan perjalanan pertamaku menumpang kapal laut selama hidupku. Selama ini jangankan naik kapal besar naik perahu pun belum pernah. Aku lahir dan dibesarkan di Kuningan daerah pegunungan di kaki Gunung Ciremai, sehari-hari lebih sering melihat hutan, tak pernah berkunjung ke pantai. Kurang lebih 3 kilo meter dari kampungku terdapat Waduk Darma, bendungan yang cukup luas untuk keperluan irigasi. Di sana tersedia perahu kecil untuk kebutuhan orang menangkap ikan, bepergian antar tetangga desa atau sekedar untuk rekreasi. Aku belum pernah naik perahu di waduk itu, takut.

Cerita Ayah ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar tak pernah kulupakan. Suatu kali bersama kawan-kawan sekapungnya Ayah pergi ke undangan kenduri pernikahan di Desa Ciceuri, desa di seberang waduk itu. Lewat magrib berdelapan menumpang perahu kecil menyusuri pinggiran danau. Perahu kecil itu terlalu sempit untuk menampung delapan orang dengan satu mualim. Di tengah perjalanan perahu itu terbalik. Beruntung semua selamat tetapi semua penumpangnya basah kuyup. Setelah beberapa saat menunggu pakaian yang dikenakan tak kunjung kering akhirnya bapak-bapak yang naas itu menghadiri resepsi dengan baju dan celana basah karena tak membawa pakaian ganti. Pulangnya tak bisa lagi naik perahu tetapi harus berjalan kaki cukup jauh karena jalan melingkar dengan pakaian yang masih basah. Pengalaman lucu sekaligus mengerikan dalam pikiran anak-anak saat itu.

"Enggaklah Pak, kapal yang berangkat dari Pelabuhan Sibolga ke Tanjungpriuk merupakan kapal mewah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun