Ada kesempatan untuk turun dari kapal dengan membawa tiket untuk jalan-jalan ke Kota Padang yang tak jauh dari pelabuhan. Tetapi aku memilih tetap tinggal di kapal daripada tersesat di kota yang bisa berakibat ketinggalan kapal. Sementara di kapal sendiri banyak fasilitas yang bisa dimanfaatkan untuk  rekreasi. Aku mengajak serta istri dan anak untuk menelusuri lorong-lorong kapal dan bermain di geladak. Turun ke dek penumpang ekonomi dan mengobrol dengan banyak orang.
Di dek ekonomi penumpang tidak diberi kamar tidur pribadi. Mereka tidur dalam area dek kapal yang luas berhimpit-himpitan seperti ikan pindang dan nyaris tertimbun dengan barang-barang bawaan yang menggunung. Beruntung kalau kawan di sampingnya orang baik-baik, sopan lagi ramah. Kalau dapat kawan yang yang garang, berangasan, mudah tersinggung, tak henti merokok, kalau tidur mengorok, banyak bacot bahkan berhimpitan dengan bromocorah, pencuri dan pencopet pun harus dengan sabar menerimanya. Tempat tidur sudah sesuai dengan tiket masing-masing.
Saat makan mengantri, begitu juga ketika mau mandi dan buang hajat. Uniknya ke mana-mana -tak terkecuali saat berada di toilet umum, harus membawa barang berharga. Dompet, terutama harus dipegang erat-erat, karena lengah sedikit bisa lenyap. Sulit untuk bisa membedakan mana pencopet mana orang baik karena pencopet pun bisa berpenampilan lagaknya orang baik-baik. Aku bersyukur diberi rizki yang cukup sehingga di atas kapal itu selama perjalanan terhindar dari kekhawatiran yang dikhawatirkan penumpang kelas ekonomi.
Ketika terdengar raungan bunyi terompet kapal tanda kapal mau berangkat melanjutkan perjalanan aku dan anak-anak sudah puas bermain. Setelah makan siang, kembali ke kamar untuk beristirahat.
Kapal semakin menjauh dari dermaga Pelabuhan Telukbayur. Semakin ke tengah kapal perlahan makin bergoyang diterpa ombak Lautan Indonesia di pesisir barat Pulau Sumatera. Matahari sudah condong ke barat. Dari jendela bulat matahari bagaikan telur besar berwarna kemerahan yang menggantung, sebentar lagi akan tenggelam ditelan laut. Kapal  bergoyang makin kuat, mungkin makin ke tengah hembusan angin makin kuat.
"Oook!" Putri anak sulungku muntah. Mabuk.
Aku panik. Segera aku mengambil tisu untuk mengelap mulutnya dan tumpahan muntah di atas kasur. Melihat cairan kental muntahan dari mulut putriku tiba-tiba perutku mual. Kutengok istriku sedang memegang kepala dengan kuat, mulutnya menyeringai. Bagus, yang sedang digendong ibunya merengek rewel. Semua sudah mabuk laut. Kapal bergoncang makin kuat, barang-barang di atas meja berjatuhan. Aku tak percaya lagi, kapal besar tak mempan dihantam ombak.
Melalui load spiker pemberitahuan kepada seluruh penumpang bahwa makan malam sudah tersedia. Belum lagi aku berucap untuk mengajak ke restoran istriku sudah menggelengkan kepala. Terpaksa aku merangkak ke restoran untuk mengambil makanan untuk kebutuhan di dalam kamar.
"Sudah minum Antimo!?" tanya petugas restoran.
"Sudah, tadi sehabis makan siang di Telukbayur." jawabku.
Kata petugas restoran kalau mabuk sudah hebat obat itu memang tak mempan lagi. Perut tidak boleh kosong, tidak boleh juga kekenyangan. Obatnya tidur.
Repot sekali membawa makanan ke dalam kamar dengan badan terhuyung-huyung. Sesampainya di kamar tak seorang pun mau menyentuhnya. Perut mual serasa diaduk-aduk. Ada sensasi mau muntah, tetapi tak ada yang bisa dimuntahkan. Kepala berputar-putar, berat seperti diganduli beban yang menekan. Satu tangan secara bergantian memijat kepala atau menekan perut. Tangan yang lain berusaha memegang apa saja yang bisa dipegang agar badan tidak tumbang. Kutengok, begitu juga istriku. Beruntung anak-anak sudah bisa tidur.