Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menemukan Sosok Uwak di Perantauan, Mengobati Kerinduan akan Kampung Halaman

26 Maret 2021   07:35 Diperbarui: 28 Maret 2021   13:34 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Ada kebiasaan yang rutin setiap bulan dilakukan semenjak aku dewasa. Sebegitu pentingnya kebiasaan itu, sehingga hampir tak pernah kulewatkan. Tak ada pengaruhnya kebiasaan itu dengan peningkatan karir, rezeki maupun kesehatan, tetapi seperti ada yang kurang bila sudah lewat sebulan belum melakukan ritual itu. Pangkas rambut.

Ya, aku biasa pangkas rambut setidaknya sekali dalam sebulan. Aku tak biasa memanjangkan rambut dan merasa nyaman dengan potongan rambut pendek rapi. Rambut di kepalaku terbilang subur, sehingga dalam sebulan saja sudah tumbuh panjang. Model rambut ikal yang menurun dari ibuku membuat menjadi awut-awutan ketika sedikit lebih panjang dari biasanya, macam rambut Don King -promotor tinju Muhammad Ali.

Saat bermukim di suatu tempat, aku selalu mencari tukang cukur terbaik di daerah itu. Ini sangat penting, karena sekali salah memilih tukang pangkas maka setidaknya dalam sebulan aku harus menanggung penderitaan. Pernah suatu waktu aku memangkas rambut di tukang cukur bukan langganan saat bertugas ke luar kota. Perintah tugas yang mendadak mengakibatkan aku tak sempat pangkas rambut lebih dulu. Penugasan lebih dari satu minggu, sementara rambut sudah terlalu panjang bila menunggu kepulangan. Akhirnya aku dipangkas oleh tukang cukur asal-asalan. Sesampai di penginapan, seorang kawan menanyakan dimana aku barusan dipangkas saat menatap kepalaku sambil menahan senyum. Aku pun tahu maksudnya, maka sekembalinya penugasan aku pun segera mendatangi pemangkas rambut langgganan untuk bercukur ulang, sekalipun masih pendek daripada menanggung malu karena membuat penampilan tidak percaya diri.

Sejak penugasan, tinggal di Padangsidempuan sudah lebih sebulan, aku belum pernah pangkas rambut. Maka ketika tadi pagi tampak seorang pegawai laki-laki masuk kerja berpenampilan menarik dengan model rambut baru, aku segera mencari tahu. Rupanya tempat tukang cukur yang memangkas rambutnya itu tak jauh dari kantor tempatku bekerja.

"Carilah Pangkas Rambut Necis," kata kawanku itu.

Kios pangkas rambut itu berada di Jalan Sutombol, hanya sepelamparan batu dari Bank BRI. Di sana ada tiga kios pangkas rambut yang berderet, berjejer di sebelah kanan jalan bersebelahan dengan penginapan. Aku masuk ke kios yang ditunjukkan kawan di kantor tadi pagi itu. Di kios itu ada tiga kursi pangkas dengan tiga tukang cukur yang semuanya sedang bekerja. Aku pun duduk di bangku panjang dari kayu yang disediakan sambil membaca koran bekas yang tersedia di meja kecil tak jauh dari tempatku duduk, menunggu giliran.

Aku lupa tidak bertanya siapa dari tiga tukang cukur itu yang bagus model pangkasnya. Lagi pula tidak sempat berpikir kalau di kios pangkas itu ada lebih dari satu tukang pangkas. Ya, sudahlah siapa pun tukang pangkasnya mudah-mudahan sesuai dengan seleraku.

"Ayo Bang, silakan duduk. Mau dipangkas toh?"

Tukang pangkas di kursi tengah, kursi kedua menyapaku. Aku terkejut saat sepintas melihat wajahnya. Wajah yang tidak asing bagiku. Hampir saja aku mau menubruk, ingin merangkulnya.

Tukang pangkas itu mirip sekali dengan Uwak. Bukan hanya wajahnya, tetapi postur tubuh, gaya bicara saat ia menyapa, model potongan rambut dan kerapihan kemeja yang dipakainya, tukang pangkas rambut itu tak dibuang sedikit pun dari gaya saudara laki-laki, -kakak ibuku saat mudanya, dulu.

Tahun 1974, pertama kali aku mengenal uwak di Jakarta. Waktu itu aku menumpang bus dari kampung menempuh perjalanan tak kurang dari 6 jam dari Kuningan. Itu kali pertama aku naik kendaraan besar selama hidupku. Uwak bekerja dan tinggal di Jakarta, tidak tahu di bidang apa ia bekerja. Kehidupannya tampak berkecukupan walaupun tidak kaya. Ada rumah separuh tembok dan separuh papan yang ditinggali bersama keluarganya. Di depan rumah itu kalau sore diparkir sepeda motor Vespa warna biru telor bebek yang mengilat, kendaraan yang biasa digunakan Uwa, pergi dan pulang bekerja.

Aku bangga dan terpesona dengan kehidupan Uwak, saat itu. Satu-satunya saudara ibuku yang terbilang sukses di Jakarta, sementara ibuku hanya seorang guru SD, dan kedua adiknya bekerja serabutan di kampung. Begitu juga saudara dari ayah, tak satu pun yang bekerja dan sukses di Jakarta. Pigur Uwak itulah yang memicuku untuk sekolah setinggi-tingginya agar bisa sukses dan hidup di kota besar.

Merasa disadarkan dari melamun, aku mengangguk. Tidak lama kemudian aku sudah duduk di kursi tinggi yang bisa disetel naik-turun dan tegak-rebah itu. Khas kursi pangkas dengan berselimut kain warna abu-abu agar kemejaku tak tertimpa sisa potongan rambut.

"Mau model yang mana, Bang?" tanya Uwak, eh tukang pangkas rambut itu sambil memperlihatkan selembar poster yang ditempel di depan di atas cermin. Poste lebar itu memuat banyak foto manusia tampak muka dengan model rambut yang berbeda-beda. Aku menunjuk salah satu yang aku suka.

"Pendek, rapi ya Bang?"

Aku mengangguk. Ia pun mulai memotong rambut bagian belakang di kepalaku.

Gunting rambut mirip kepiting dengan tenaga listrik itu bergerak merayap di batok kepalaku melahap bagian rambut yang tumbuh menutupi kerah baju. Selesai memotong bagian belakang tukang pangkas itu menanyakan kepadaku apakah sudah cukup pendek atau ingin lebih pendek lagi seraya mematikan mesin gunting rambut untuk sementara.

"Cukupkah?"

Di kios pangkas rambut itu dipasang dua cermin selebar dinding dengan tinggi satu meter. Satu dipasang di depan, satu lagi dipasang di belakang. Untuk memastikan aku tidak perlu menengok ke belakang, cukup melihat cermin di depan, bagian belakang kepala akan tampak memantul di cermin yang dipasang di depan. Aku hanya mengangguk memberi isyarat kalau potongan rambut sudah cukup. Begitu juga ketika selesai memotong bagian samping kiri dan kanan, bagian atas dan bagian muka, ia selalu bertanya, "Cukupkah?" yang selalu ku jawab dengan anggukan. Di luar itu, ia pun bertanya hal-hal lain yang merupakan khas tukang cukur, selain pandai memangkas rambut ia piawai juga mengobrol. Aku sering hanya mengangguk atau menggeleng ketika tukang cukur bertanya perihalku. Aku tak pandai bercerita, tetapi aku suka semua obrolan tukang cukur karena dengan demikian waktu seakan tak terasa, tiba-tiba selimut kain sudah dilepas dan dikibaskan di samping kursi sebagai isyarat aktivitas pangkas rambut sudah berakhir.

"Bang, kerja di beng (maksudnya bank)?"

Aku mengangguk.

"Beng yang diseberang sana tu?"

Aku mengangguk.

"Sudah berkeluarga?"

Aku mengangguk.

"Bang, orang sini asli kah?"

Aku menggeleng.

"Sudah lama di sini?"

Aku menggeleng.

"Apa margamu?"

"Saya orang jawa, Bang," jawabku

"Oh....!"

Ia pun lalu bercerita kalau dirinya juga bukan orang Tapanuli Selatan Ia perantau dari Sijunjung, Ibu Kota Kabupaten Sawahlunto dan tinggal di Kampung Darek. Dulu Sijunjung sangat terkenal dengan beroperasinya tambang batu bara di Sawahlunto sejak jaman Belanda di abad ke-19. Sijunjung yang desa kecil di Sumatera Barat saat itu berkembang menjadi kota industri yang ramai dan puncaknya pada tahun 70-an, setelah kemerdekaan. Pada tahun 80-an batu bara  di Sawahlunto mulai menipis, Sijunjung pun berubah drastis,  menjadi sepi seperti kota mati. Ia pun akhirnya merantau menyambung hidup di Padangsidempuan. Keahlian memangkas rambut merupakan keterampilan yang diturunkan dari ayahnya yang juga tukang pangkas yang dikenal luas oleh buruh tambang di Sijunjung.

Beruntung aku merasa cocok dengan model pangkasnya. Setiap bulan aku pun berlangganan pangkas dengannya. Setiap bulan pula aku menjadi pendengar setia kisah-kisah hidup yang diceritakan tukang pangkas itu. Sementara aku seolah bernostagia dengan Uwak. Kini Uwak sudah pensiun dan tinggal di kampung. Kesibukan dan kesulitan ekonomi karena resesi pasca krisis moneter membuatku tak bisa pulang kampung, tak sanggup mengunjungi Uwak dan orangtuaku. Tetapi di Padangsidempuan ada sosok Uwak yang menjelma sebagai tukang pangkas rambut, sedikit banyak telah mengobati rasa rindu pada kampung halaman.

#salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun