Malam itu apa pun peran sosial yang dipegang sehari-harinya, pedagang pasar desa, buruh tani, tukang kayu, pengantar surat, muadzin di langgar, tukang kredit, tukang sol sepatu keliling atau apa pun, semuanya jadi sutradara. Mereka semua mengarahkan pemain film.Â
Lebih-lebih "jagoan" filmnya bukan saja diarahkan, bahkan selalu dilindungi. Bila sedang mencari penjahat, maka semua persembunyian penjahat dibongkarnya, bila "jagoan" nyaris terlukai oleh penjahat, semua penonton menasehatinya agar "berhati-hati" supaya tidak lengah.Â
Bila "jagoan" itu berlaku tidak seperti dikehendaki penonton -karena mengikuti arahan sutradara sesuai skenario, penonton marah. Semua penonton menyumpah-nyumpahi, dibilang bandel.
Film yang diputar bercerita tentang sebuah perampokan di kota tua. Aksi kejar-kejaran antara gerombolan perampok dengan sekelompok polisi sangat seru. Dua kelompok itu sama-sama menggunakan sepeda motor. Suara mesin sepeda motor meraung-raung, sahut-sahutan. Tepuk tangan gemuruh pun menggelora di bioskop tak beratap itu.Â
Dalam akhir cerita film itu tokoh utamanya mati terbunuh. Orang-orang yang menonton merasa kecewa dibuatnya, mereka marah kepada petugas operator yang bertugas memutar film. Beberapa bahkan memukul-mukul dinding gedung bioskop dengan sendal jepit, papan bangku bioskop yang semplak atau dengan tinjunya sehingga menimbulkan bunyi "brang-breng-brong" sangat bising.
"Kalau setiap malam satu orang bintang film terbunuh, habislah mereka lama-lama. Memang gampang menjadi bintang felem itu, Carmin!" Ratiyem yang sehari-harinya berjualan uceng -bunga melinjo, di pasar desa memarahi Carmin--operator bioskop.
"Minggu ngarep mah, bioskopnya marian bae jeh!" celoteh ibu-ibu setengah tua.
Dipikirnya tukang operator bioskop itu berkonspirasi dalam membuat skenario.