Bosan hari-hari makan dengan lauk yang bergonta-ganti seperti siang dan malam antara ikan asin sepat dengan telur asin di Kroya akhirnya aku memutuskan untuk pindah kos. Tahun kedua aku kos di Gabuswetan, 12 km dari Kroya.Â
Gabuswetan merupakan ibu kota kecamatan di mana Kroya adalah desa di wilayah kecamatan tersebut. Berbeda dengan Kroya yang berada di antara perbukitan dan pesawahan tadah hujan. Wilayah Gabuswetan -di luar pemukiman, seluruhnya sawah dengan irigasi teknis di mana padi bisa dipanen 3 kali atau atau 2 kali panen bila diantaranya ditanami palawija. Tentu saja lebih subur serta lebih makmur.
Aku tinggal di rumah Ibu Haji Rahmah--janda ditinggal mati, usia 60-an. Di rumahnya ia tinggal berdua bersama anak bungsu -perempuan, yang baru lulus SMTA. Sedangkan anak pertama -laki-laki, kuliah di Jakarta. Untuk pulang dan pergi ke kantor aku menumpang angkutan kota jurusan Karangsinom-Kroya. Kadang-kadang menumpang pegawai -mantri, yang kebetulan tinggal di Gabuswetan.
Bukan soal makan saja sebenarnya, di Gabuswetan aku bisa membaca koran Kompas, surat kabar harian pagi yang bisa diterima sore hari untuk dibaca malam hari, menjelang tidur. Di sana juga sudah tersedia jaringan listrik PLN dan bisa menonton tv. Kenyang menonton tv sejak habis magrib, menjelang tidur aku membolak-balik koran Kompas -melanjutkan kebiasaan lama. Hobi membaca koran semenjak kuliah dulu.
Tetapi yang paling aku suka di sana ada bioskop. Gedung bioskopnya itu tidak seperti studio 21 yang mewah dan sejuk, tetapi dindingnya berupa seng gelombang yang ditopang dengan balok kayu. Â Beratap langit. Masyarakat kampung menyebutnya bioskop misbar--gerimis bubar, karena pada saat hujan gerimis mulai turun tak hanya penonton yang bubar, proyektor pun tidak bisa dioperasikan.Â
Sebenarnya untuk operator bioskop tersedia ruangan khusus yang beratap, bukan untuk berlindung dari hujan tetapi berfungsi sebagai gudang peralatan bioskop. Tak harus menunggu berhari-hari bila tidak demikian,besok pagi seluruh peralatan itu akan raib dicuri orang.
Bioskop itu hanya diputar malam hari, seminggu sekali pada malam Minggu. Hari-hari lain gedung yang mirip benteng pertahanan yang berada di ujung kampung di pinggir sawah itu berdiri kaku, setiap malamnya dipakai bermain-main oleh tikus sawah menimbulkan suara berisik dari seng yang "brang-breng-brong" dilabrak tubuhnya saat saling berkejar-kejaran, sebelum mereka kawin. Tempat duduknya berupa bangku panjang dari papan yang tanpa sandaran. Berderet-deret sebanyak dua baris dari depan ke belakang yang ditengah-tengahnya terdapat gang untuk orang berlalu lalang.
Di depan bioskop, menempel dengan gedung yang tak beratap itu loket penjualan karcis dengan lubang kecil yang hanya muat satu orang dewasa. Orang-orang berkerumun di depannya tidak mau antri.Â
Kadang tukang loket sesekali salah menyodorkan tiket kepadaorang lain yang belum memberinya uang. Itu yang kerap memantik keributan. Penjaga loket itu kasihan sekali dengan kesalahan yang tidak disengaja ia di bisa dimaki-maki, nama-nama binatang yang tidak bersalah pun dipanggil-panggilnya. Tiket anak-anak separuh dari harga tiket orang dewasa. Tempat duduk bebas memilih, siapa cepat dia yang dapat.
Jam 2 siang, apabila malamnya bioskop akan memutar film sebuah mobil bak terbuka sudah berkeliling kampung, menyebarkan brosur. Berawal dari pasar desa kemudian masuk ke jalan-jalan kampung sejauh yang bisa dilalui kendaraan roda empat. Anak-anak kecil mengikuti mobil yang lajunya pelan-pelan itu sambil memunguti selebaran, dari belakang. Berlari-lari sejauh mereka sanggup.Â
Di dalam mobil itu terdapat 2 orang, satu supir dan satunya lagi yang tangan kirinya menabur-naburkan selebaran dari jendela mobil yang sengaja dibuka sedangkan tangan kanan memegang mik, mulutnya--hingga berbusa, tak henti-henti berseru dengan suara parau menawarkan film yang akan diputar. Kalau malam tiba supir itu berubah jadi penjaga disel, sedang bapak yang suaranya parau menunggui proyektor.