desa tebing tombak. Acara ini sangat penting dan dianggap sakral oleh para penduduk desa. Pemuda-pemudi yang sudah mencapai tingkat akhir di sekolah meramu akhirnya akan resmi menjadi peramu tingkat satu. Semua orang nampak sangat antusias saling bahu-membahu mempersiapkan upacara esok hari.Â
 Upacara pengangkatan peramu akan diselenggarakan esok pagi di alun-alunKira-kira sudah empat abad lebih lamanya penduduk desa tebing tombak meyakini bahwa takdir semua orang disana adalah menjadi peramu. Sebagaimana yang dititahkan oleh para dewa kepada mereka. Mulai dari para pengajar di sekolah meramu desa, hingga para tetua yang dihormati juga mengatakan hal demikian. Tak heran jika desa tebing tombak juga dikenal sebagai desa peramu oleh orang-orang di negeri kerajaan utara.
Namun semuanya nampak berbeda bagi Ringga. Ya, mungkin hanya Ringga lah satu-satunya di desa tebing tombak yang berpikiran lain perihal takdir yang selalu diagung-agungkan semua orang di desanya. Tidak ada sedikit pun niat hatinya untuk menjadi seorang peramu, seperti layaknya para remaja lain di desa itu yang dengan sangat bangga dan tak sabar untuk menyandang gelar tersebut ketika beranjak dewasa. Dirinya selalu bertanya-tanya sendiri dalam pikirannya, tidakkah ada kemungkinan lain, profesi lain, atau mungkin takdir lain yang bisa dijalani selain sebagai peramu di dunia ini?
Letak desa yang terpencil kurang memungkinkan bagi penduduk desa tebing tombak untuk mengetahui tentang dunia luar ataupun berinteraksi dengan orang dari luar desa. Hanya para saudagar yang sering keluar masuk desa untuk keperluan dagang dan pertukaran barang, sangat jarang ada pengunjung lain. Melalui salah seorang saudagar yang memasuki desanya itulah Ringga menemukan sesuatu yang kelak akan membuka pikiran dan juga memberinya sebuah harapan baru.Â
Kala itu Ringga sedang mengantri untuk menjual makanan hasil olahan keluarganya ketika dirinya menemukan sebuah benda yang tertumpuk di gerobak belakang kereta kuda milik seorang saudagar yang sedang singgah ke desanya. Benda itu adalah sebuah buku yang berjudul Petualangan ke Penjuru Negeri. Ringga membeli buku tersebut, buku yang akan dianggap kebanyakan orang di desanya sebagai benda tak berguna karena tak ada bahasan tentang meramu sama sekali. Ia membelinya berlandaskan rasa bosan sebab di perpustakaan desa tak ada buku yang membahas persoalan lain selain teknik meramu dan kumpulan resep makanan. Â Tapi siapa saja yang menganggap buku baru Ringga itu membosankan, mereka telah keliru. Karena Ringga mendapati buku yang dibelinya ternyata merupakan sebuah harta karun, setidaknya bagi dirinya sendiri.Â
Ringga sering datang ke sebuah tebing di dekat desa untuk melarikan diri dari pelatihan khusus meramu. Pelatihan ini dikhususkan bagi anak-anak desa tebing tombak yang dirasa tidak memiliki bakat dalam meramu. Kala Ringga sangat muak dengan semua pelatihan itu, ia memilih menghabiskan harinya dengan melamun sembari menikmati pemandangan indah dari atas tebing yang berbentuk seperti mata tombak menunjuk ke selatan, mengandai-andai hal menarik apakah yang terletak jauh di bawah sana. Di atas tebing itulah rasa penasaran juga impian Ringga terus terpupuk hingga dirinya beranjak dewasa. Dan semenjak Ringga memiliki buku yang ia beli dari saudagar, pemandangan dari atas tebing perlahan menjelma menjadi sebuah tekad untuk berpetualang. Terlebih saat dirinya menemukan sebuah peta yang terselip di salah satu halaman buku, peta dunia tempatnya berada.
Pada malam sebelum upacara pengangkatan peramu dirinya dilanda bimbang. Ia terduduk di atas tempat tidur di dalam kamarnya sambil memegang sebuah peta dan memandanginya di bawah sinar lampu minyak. Ringga tak ingin menjadi peramu, tapi jika tetap berada di desa itu, tidak ada pilihan lain untuknya. Dirinya kini sadar bahwa ia harus berani mengambil pilihan sulit jika tak ingin berakhir menjadi seorang peramu. Dirinya ingin sekali membicarakan kebingungan yang ia rasakan pada kedua orangtuanya, tapi Ringga paham betul kalau hal tersebut akan berakhir sama saja seperti sebelum-sebelumnya, atau mungkin bisa saja lebih runyam dengan apa yang akan dikatakannya saat ini. Setelah memikirkan lagi semua kemungkinan dengan matang, Ringga merasa tak ada pilihan lain lagi. Ia tak ingin menghabiskan sisa hidupnya yang masih panjang untuk menjadi peramu.
Jadi beberapa jam sebelum matahari menampakkan dirinya, Ringga memutuskan untuk pergi meninggalkan desa tebing tombak. Ringga menyelinap keluar rumah di saat kedua orang tuanya tertidur pulas, lalu bergegas menuju perbatasan dan meninggalkan desa. Suatu hari nanti bisa saja Ringga akan menyesali keputusannya itu, tetapi yang bisa dirinya lakukan saat ini hanyalah menelan semua keraguan bulat-bulat dan menahannya di dalam perut supaya tak ia muntahkan kembali.
Dengan membawa sedikit perbekalan dan bermodalkan selembar peta miliknya, Ringga memulai petualangan yang sudah dirinya nanti-nantikan selama ini. Ia melangkah jauh meninggalkan desa hingga tempat itu tak terlihat lagi dari kejauhan, keraguannya perlahan mulai tergantikan dengan perasaan takjub di dalam perjalanan. Ia melewati banyak tempat yang belum pernah dirinya datangi selama hidupnya, juga melihat berbagai hal yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Sampai tak terasa matahari mulai turun perlahan ke arah barat, menandakan waktu sudah lewat tengah hari dan perjalanan yang ditempuhnya sudah berlangsung sangat lama. Hingga akhirnya Ringga tiba di perbatasan hutan atap berongga, dan memutuskan singgah di sana untuk melepas lelah.
Suasana sore hari di dalam hutan atap berongga terasa begitu damai dan menenangkan. Barisan pepohonan tampak berjajar rapi bersandingan dengan pilar-pilar cahaya yang terbentuk dari pancaran sinar matahari yang menembus hingga ke dasar hutan melalui celah-celah daun dan ranting di puncak pepohonan, membuat keadaan di dalam hutan terlihat terang, tidak seperti kebanyakan hutan lain yang di dalamnya nampak redup. Meskipun sangat terang, udara di sana tidak terasa panas sama sekali, tiupan angin sesekali berhembus perlahan ke dalam hutan disertai gemerisik dedaunan. Hembusan angin juga ikut membawa embun sejuk yang melekat pada daun-daun, menghasilkan hawa segar ke penjuru hutan.Â
Ringga dapat dengan mudah menemukan bahan makanan di setiap sudut di dalam hutan, juga segala sesuatu yang dapat menyokong kebutuhan hidupnya. Seakan hutan atap berongga telah menjamin kehidupan semua makhluk yang ada di dalam sana. Karena ia merasa tempat itu cukup aman, Ringga memutuskan untuk bermalam di sana.
Keesokan paginya ia kembali melanjutkan perjalanan. Tak lupa Ringga mengisi perbekalannya dengan semua yang bisa ia temukan di hutan atap berongga. Kini dirinya telah kembali menyusuri jalan menuju ke arah selatan sesuai dengan petunjuk peta miliknya. Sebelum berkelana meninggalkan desa tebing tombak, Ringga tak tahu harus memutuskan akan pergi ke mana. Namun ia mengingat kembali isi dari buku miliknya yang ia beli dari seorang saudagar, Ringga sudah lama tertarik dengan cerita padang rumput batu senandung di dalam buku dan kerap bertanya-tanya mungkinkah ada hal semacam itu di dunia ini. Jadi dirinya memutuskan untuk pergi ke sana ketimbang terus berkelana tanpa tujuan dan menentukan rencana selanjutnya nanti.
Ia kembali berjalan sangat jauh hingga melewati rawa dalam. Sebuah tempat dengan pemandangan yang sangat berbanding terbalik dibandingkan dengan hutan atap berongga, dimana langit begitu kelam karena sinar matahari terhalang oleh awan hitam yang melayang tenang di atas langit, seakan sedang menguntit Ringga. Tak terlalu lama dirinya berjalan melewati tempat itu akhirnya ia telah sampai di perbatasan hutan awan kelam. Entah mengapa Ringga merasa tak ingin masuk ke dalam sana, terlepas dari suasana di dalam hutan yang terlihat begitu mencekam dari sela-sela pepohonan, dirinya merasa akan terjadi hal buruk jika ia pergi ke dalam sana.
Namun sialnya ketika Ringga mencoba memperhatikan peta untuk memeriksa kemungkinan adanya jalan lain selain melewati hutan awan kelam, ia tidak mendapati apapun. Di dalam peta miliknya hanya memberi petunjuk kalau ia harus melewati hutan awan kelam. Ringga melihat-lihat ke sekelilingnya tapi tak kunjung terpikirkan cara lain. Setelah menimbang-nimbang cukup lama, Ringga akhirnya dengan terpaksa harus memberanikan diri untuk masuk ke dalam hutan. Ia mengencangkan ikatan tas di punggungnya dan menggenggam erat sebuah tongkat kayu yang ia bawa dari hutan atap berongga, kemudian dengan hati-hati melangkah masuk ke dalam hutan suram di hadapannya.
Begitu masuk ke dalam gelapnya belantara hutan awan kelam, naluri bertahan hidup Ringga secara otomatis menyalakan peringatan waspada. Semakin jauh ia menembus ke dalam hutan, semakin dirinya bisa merasakan suasana kengerian di sana. Ringga yakin ini masih tengah hari, tetapi suasana di sana layaknya malam karena cahaya matahari tak sanggup menembus ke dalam hutan. Selubung tipis kabut yang menyelimuti sekeliling hutan menambah suasana kian gelap dan mencekam. Ringga tak tahu sudah sampai dimana sekarang, tapi dirinya yakin telah berjalan cukup lama menyusuri hutan awan kelam dan hampir tiba di bagian tengah hutan. Ketika Ringga sibuk menyingkirkan dedaunan menjulang yang menghalangi jalannya, ia mendadak mendengar suara menggeram. Dari apa yang ia dengar, dirinya memperkirakan kalau suara itu berasal dari makhkluk berukuran besar. Tapi ia tak tahu dimana keberadaan makhluk itu. Ringga menelan ludah sembari menggenggam tongkat kayu di tangannya lebih erat lagi, kini dengan kedua tangan. Ringga berusaha tenang tapi jantungnya meletup-letup tak karuan. Ia menapak ke depan dengan sangat perlahan dan hati-hati agar posisinya tak diketahui.
Entah apakah ini badai setelah pelangi, tetapi Ringga tak menyangka sama sekali bahwa hari ini akan menjadi hari sialnya, bahkan bisa dibilang terlampau sial. Semuanya terjadi begitu cepat ketika dua monster raksasa melompat tepat di depannya yang entah dari mana mereka berasal. Di hadapannya kini berdiri dua kucing raksasa yang terlihat sangat buas, menggeram sambil memamerkan deretan gigi taring mereka pada Ringga. Ringga berusaha mengusir kedua kucing setinggi dirinya itu dengan tongkat kayu digenggamannya yang ia tusuk-tusukkan ke arah depan. Namun usahanya sia-sia, hanya dengan satu tepukan kaki depannya, salah satu kucing raksasa itu berhasil menghempaskan tongkat dari tangan Ringga dan membuat dirinya terjengkang ke belakang.
Melihat Ringga jatuh tak berdaya, kedua kucing raksasa itu perlahan menghampirinya, deru nafas hangat terasa berhembus kencang di kakinnya. Kini, dirinya hanya bisa pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya, Ringga memalingkan wajah lalu memejamkan matanya, air mata mulai menetes deras membasahi pipi. Tubuhnya bergetar ketakutan, sekelibat ia merasakan penyesalan dan berpikir betapa bodohnya pergi meninggalkan desa karena tak ingin menjadi seorang peramu hanya untuk berakhir tragis seperti ini. Namun, ketika dirinya merasa sudah tak memiliki harapan sama sekali, Ringga mendengar suara lagi, tapi kali ini adalah teriakan dari seorang pria.
 "Fonfon, Nuki! Apa yang kalian lakukan disana, aku mencari kalian ke mana-mana!" seru pria itu menghampiri si kedua kucing raksasa "hei, lihat apa yang kalian temukan," sambungnya ketika melihat seorang gadis yang tergeletak ketakutan di depan rekan kucingnya
Ringga memberanikan diri untuk membuka kedua matanya. Ia melihat seorang pemuda yang kira-kira seumuran dengan dirinya berdiri beberapa langkah di depannya. Kucing raksasa buas yang hendak menerkam Ringga tadi, seketika berubah menjadi dua makhluk raksasa manja di hadapan pemuda itu, tergambar jelas dari dengkuran mereka dan cara keduanya menggosok-gosokkan badan pada pemuda yang terlihat kewalahan karena ukuran mereka berdua.Â
"Kau tidak apa-apa nona? maaf atas kelakuan kedua temanku yang sepertinya membuatmu ketakutan," ucap pemuda itu sembari menjulurkan tangan saat menangkap air muka Ringga yang nampak ketakutan setengah mati
"Temanmu hampir mencabikku, lagi pula bagaimana kau bisa berteman dengan makhluk buas seperti itu?" ketus gadis itu sambil berdiri, mengabaikan uluran tangan di depannya sembari mengusap sisa air mata di pipinya
"Mereka tidak buas nona, mereka hanya belum mengenalimu saja, dan mereka suka bermain-main," Pemuda itu mengambil jeda memperhatikan Ringga "bagaimana kau bisa berada di hutan ini nona? Kurasa ini bukan tempat yang tepat untukmu"
"Aku terpaksa harus menembus hutan ini karena tak menemukan jalan lain, petaku juga mengatakan hal yang sama,"
Pemuda itu menatap Ringga dengan sorot mata menimbang-nimbang "Bolehkah aku melihat petamu itu? Mungkin saja aku bisa membantu,"
Ringga merogoh ke dalam tasnya untuk mengambil peta, kemudian menyerahkannya pada pemuda asing di hadapannya. Pemuda itu mengambil peta milik Ringga lalu memperhatikannya lekat-lekat "Yaampun, nona, petamu ini tidak lengkap," jelas pemuda itu, membuat Ringga ternganga "sebelumnya kalau aku boleh tahu, kau dari mana dan hendak kemana?"
Ringga menjelaskan secara singkat rencana perjalanannya dan dari mana dirinya sebelum berakhir di hutan awan kelam "Jika kau dari hutan atap berongga seharusnya mengambil jalan sedikit ke arah tenggara melewati padang rumput kumbang merah lalu kau bisa meneruskan sedikit ke arah selatan menuju hutan sungai hilir setelah itu tinggal menempuh perjalanan singkat ke arah barat daya dan kau akan tiba di padang rumput batu senandung."
Pemuda yang sekarang Ringga ketahui bernama Kuka itu menawarkan untuk membantunya keluar dari hutan dengan memberinya tumpangan, sekaligus sebagai bentuk permintaan maaf atas kejahilan kedua temannya. Entah apa yang harus ia katakan tentang tawaran Kuka, Ringga merasa enggan karena kedua kucing raksasa itu beberapa saat yang lalu berusaha untuk menerkamnya, dan sekarang ia harus duduk di atas punggung salah satu dari mereka? Namun Kuka tak memberinya waktu barang sebentar saja untuk menghela nafas, pemuda itu sudah menaikkan barang-barang Ringga ke punggung salah satu dari kucing raksasa.
Kuka mengusap-usap leher teman raksasanya lalu menjulurkan tangan ke arah Ringga "Kemarikan tanganmu, usap dia supaya kalian akrab, yang betina ini bernama nuki, yang jantan di sana namanya fonfon," ucap Kuka sembari menunjuk ke arah fonfon yang berdiri agak berjauhan dari mereka
"Kau gila Kuka! Mereka hampir memakanku tadi!" seru Ringga kesal
Kuka tersenyum, yang semakin menambah kekesalan Ringga "Aku jamin mereka tidak akan memakanmu sekarang, kemarilah supaya kita bisa bergegas ke padang rumput batu senandung,"
Karena tak ada pilihan lain yang lebih bagus untuk segera membawanya keluar dari hutan itu, Ringga akhirnya memberanikan diri mendekati nuki dengan sangat hati-hati. Ia menjulurkan tangan lalu mengusap-usap bulu tebal dan sedikit kasar milik kucing raksasa itu dengan waspada. Mendadak Kuka memegang pinggang Ringga dengan kedua tangan lalu mengangkatnya naik ke punggung nuki, membuatnya ketakutan hingga bergeming. Kemudian Kuka segera melompat ke punggung fonfon dan memberi aba-aba pada kedua teman raksasanya untuk segera melaju meninggalkan hutan awan kelam.
Ringga yang masih belum siap tersentak ke belakang saat nuki melompat ke depan kemudian langsung melaju dengan sangat kencang. Untung saja ia spontan mencondongkan tubuhnya ke depan  dan langsung memeluk erat leher nuki yang sekarang sedang melaju melewati belantara hutan tanpa merasa kesulitan. Ringga hanya bisa terdiam sembari memejamkan matanya, ia merasakan tubuhnya berguncang-guncang di sepanjang perjalanan. Selang kira-kira dua jam perjalanan, tiba-tiba wajah Ringga merasakan hangat, matanya yang memejam melihat sesuatu yang terang seakan ada sorot cahaya yang menembus kelopak matanya. Cukup mengejutkan bagi Ringga ketika ia membuka mata dan mendapati kalau mereka berempat sudah keluar dari hutan awan kelam, kini mereka melaju di sebuah padang rumput kosong yang sangat luas. Kuka dan fonfon terlihat berada di depan Ringga dan nuki berjarak beberapa meter, mungkin pengalaman menunggang kucing raksasa ini akan menyenangkan jika saja mereka tak mencoba untuk memakan Ringga sebelumnya.
Kuka dan fonfon memperlambat laju mereka diikuti oleh nuki tanpa harus memberi aba-aba "Bagaimana nona? Menyenangkan bukan?" celetuk Kuka ketika posisi mereka akhirnya bersebelahan
"Sebenarnya harus kuakui, tapi tidak dengan caramu yang tiba-tiba Kuka, kau membuatku panik,"
"Maaf nona, tak terpikirkan cara lain, kulakukan itu semua untuk menghemat waktu perjalanan kita karena kalau tidak, langit akan mulai gelap sebelum kau tiba disini," Kuka mengedikan dagunya ke arah depan, dimana terdapat bukit kecil menjulang dan terlihat garis hutan di sepanjang sisi kiri mereka
Belum sempat Ringga bertanya, Kuka menyela "Mari nona, kita sudah dekat," pungkasnya sambil memacu fonfon yang kini kembali melaju kencang, nuki pun mulai mengikuti laju fonfon
Semakin mereka mendekati bukit, Ringga samar-samar mendengar alunan musik dari balik sana, alunan yang terdengar indah dan menenangkan, makin lama makin jelas terdengar olehnya. Tak perlu menempuh perjalanan terlalu lama, mereka semua kini telah tiba di tempat tujuan berkat kecepatan lari fonfon dan nuki yang melesat bagai kilat. Beberapa puluh meter di depan Ringga kini dapat terlihat jajaran batu raksasa yang terhampar secara acak di tengah sebuah padang rumput yang amat luas. Sangat jelas terdengar alunan musik yang mengalun tenang, membuat suasana terasa sejuk diiringi desir angin yang menyibak rambut cokelat Ringga. Akhirnya, ia bisa menyaksikan sendiri keajaiban yang selama ini hanya ia nikmati dari sebuah tulisan di dalam buku miliknya.
"Sebenarnya tempat ini sangat dekat dengan rumahku nona, hutan sungai hilir di sana adalah tempatku tinggal," ucap Kuka sambil menunjuk ke sisi kiri padang rumput yang nampak deret pepohonan
"Betapa beruntungnya dirimu, bisa bebas menikmati hal indah seperti ini setiap waktu," Mata Ringga berbinar, ia sendiri tak dapat membayangkan betapa bahagianya ia bisa mewujudkan impiannya
Kuka tersenyum tipis "Akan selalu ada yang harus dibayar untuk setiap keindahan dan kebebasan nona, bukankah begitu?"Â
Ringga mengangguk "Aku sangat setuju untuk yang satu itu,"
"Lalu apa rencanamu selanjutnya?"
"Belum tahu pasti, tapi aku ingin mengumpulkan semua keajaiban yang bisa kutemukan, dan suatu saat jika ada kesempatan, aku ingin membawanya pulang sebagai sebuah bukti bahwa batasan yang ada dalam hidup hanyalah sesuatu hal yang kita buat sendiri,"Â
Kuka hanya mengangguk sembari menyimpulkan senyuman lebar, sore hari itu mereka menikmati indahnya matahari terbenam ditemani alunan musik dari batu senandung yang berganti tiap beberapa saat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H