Yang mempu meredam potensi tindak kejahatan adalah sistem yang fondasinya berupa regulasi yang diundangkan. Dan setelah ada regulasi, sesudah develop & deployment perangkat, yang mesti dijaga adalah keberlangsungan penggunaan  tetap berada pada relnya agar mencapai tujuan.
Di lapangan, setelah keluar peraturan bahwa setiap pelanggan kartu seluler baru wajib mendaftarkan diri ke 4444, sistem bekerja tidak optimal, berjalan tidak sesuai, dan tujuan tidak tercapai. Dari segi sistem, tidak ada verifikasi saat pemasukan data. Misalnya, masukkan saja 1900 sebagai tahun lahir maka sistem pun tetap menerima. Setelah sekian tahun berjalan, tidak ada data resmi berapa pelanggan yang meregistrasikan diri dengan data valid. Jangan-jangan karena terlalu sedikit, hingga tidak ada release resmi dan evaluasi terbuka. Semua menjadi tidak berguna.
Banyaknya kejahatan menggunakan media ponsel, mulai dari undian-undian palsu, permintaan pulsa, permintaan transfer uang, hingga tindakan terorisme berupa ancaman bom lewat SMS, bermula dari ketidakmauan operator untuk serius mengidentifikasi jatidiri pengguna. Akhirnya nomer pelanggan, layanan data/voice, menjadi bola liar yang boleh digunakan oleh siapa saja sesuai kecerdikan masing-masing.
Dengan membeli HP bekas di kota kecil, menggunakan nomer baru, menyalakan telepon dari kota berbeda-beda hanya maksimal dua kali untuk mengancam, lalu membuang telepon dan kartu perdana, maka operator tidak akan mendapat data apapun. Rekaman data di HLR, detail IMEI, MSISDN, record pesan di SMSC, tidak akan relevan sejauh pelaku bermain bersih.
Maka, sekali lagi, yang menjadi sebab banyaknya kejahatan adalah tidak terdentifikasinya pelanggan oleh penyedia layanan.
Boleh bila kita bertanya, apakah identifikasi pelanggan adalah kewajiban? Setiap hal yang memiliki potensi untuk disalahgunakan, mulai dari proses kepemilikan senjata api hingga pembukaan rekening bank, registrasi untuk mengecek validitas pelanggan adalah proses wajib dan vital. Demikian pula semestinya yang terjadi penggunaan nomer seluler.
Pelanggan wajib membeli perdana dari gerai resmi, mengajukan data valid, dan mendapat persetujuan penggunaan nomer seluler.
Namun bukankah hal ini akan mempersulit tumbuhnya pelanggan baru, lambatnya ROI, susahnya memperluas ekspansi dari revenue yang didapat, dan seterusnya? Jika demikian yang dipersoalkan, tinggal kita evaluasi, sebenarnya masyarakat telekomunikasi semacam apa yang kita harapkan? Apakah senada dengan pola-pola pertumbuhan masyarakat internet Indonesia sebelum tahun 2005? Mencoreng muka Bangsa ini hingga sukses masuk scam alert transaksi finansial hingga detik ini.
Pun jikalau memang registrasi perdana melalui gerai adalah tidak efektif, maka rekayasa sistem (memperkuat sistem validitas data user, pemblokiran user dengan data non valid, dsb) yang harus ditempuh untuk mengurangi penyalahgunaan. Bukan solusi khas Indonesia, menaikkan harga.
Kepedulian Penyelenggara pada Tanda Tangan Elektronik
Siapa yang belum pernah mendengar sentilan bahwa Undang-Undang dibuat hanya untuk dilanggar? Apakah termasuk UU ITE? Secara prinsip, ada beberapa detail UU ITE yang menarik untuk dicermati, salah satunya adalah tentang Tanda Tangan Elektronik.