Lebih dari 10 tahun yang lalu, harga SIM Card Rp 250.000,- adalah murah. Tapi hari ini perdana murah adalah dua ribu rupiah. Pemerintah mewacanakan kembali kenaikan harga kartu perdana karena dua sebab. Pertama, banyaknya penyalahgunaan, kedua habisnya alokasi nomer yang dibatasi 15 digit (ITU-T specification E.164).
Antara terbatasnya alokasi nomer, penyalahgunaan nomer perdana, dan kenaikkan harga, ada beberapa hal yang bisa dikupas.
Harga Sebagai Alat Kontrol Akses Teknologi
Tahun1985 hanya ada 50 ribu komputer di dunia, sedangkan pada 1995, ada 50 ribu komputer terjual setiap 10 jam di seluruh dunia. Hadirnya antarmuka grafis bagi pengguna lewat Windows 95 menyebabkan kebutuhan akan komputer meningkat. Peningkatan kebutuhan secara bertahap akan memperbanyak produksi, menurunkan harga, memberi pengguna sebuah akses yang lebih besar pada teknologi.
Demikian pula terjadi pada industri telekomunikasi. Peningkatan teknologi berdampak kenaikkan kecepatan. Kecepatan tinggi membuka peluang layanan baru. Layanan baru menarik banyak pasar. Mengguritanya pasar, akan korelatif terhadap harga (termasuk margin keuntungan per pelanggan yang direndahkan untuk mengejar kenaikan volume). Akhirnya dari 131 juta pelanggan seluler di Indonesia pada 2008, naik menjadi 180 juta pada Juni 2010. Hilirnya sama, akses yang lebih besar pada teknologi.
Lalu angka 180 juta pelanggan ini dihadapkan pada masalah alokasi nomer pelanggan.
Yang kemudian menarik, pada umumnya keterbatasan pada dunia teknologi akan disikapi dengan rekayasa teknologi, bukan rekayasa harga. Keterbatasan IP Address disikapi dengan IPv6, bukan dengan menaikkan harga yang umumnya 1,5 USD/IP, menjadi misalnya 15 USD/IP. Keterbatasan beban kanal disikapi dengan rekayasa multiplexing, dan seterusnya.
Jika yang menjadi keterbatasan adalah alokasi nomer pelanggan, dan tidak lagi masuk akal memaksakan ITU menggeser batasan digit, mengapa Indonesia tidak menerapkan number portability? Dimana seseorang dapat berpindah operator tanpa berganti nomer ponsel.
Pembatasan berdasarkan harga hanyalah menutup akses mereka yang tidak sanggup membayar. Bagi pelanggan dengan ekonomi cukup, kenaikan harga tidak mempunyai makna sebagai pembatasan. Solusi kenaikkan harga hanyalah bentuk persetujuan atas pembedaan hak berdasar tingkat ekonomi pelanggan.
Kenaikan Harga Akibat Banyaknya Penyalahgunaan
Harga senjata ilegal tidaklah murah. Dulu di Aceh, AK-47, senapan kejut yang dikenal tahan uji dalam keadaan minim perawatan, bisa dibeli di pasar gelap antara 17-40 juta rupiah. Dibeli untuk disalahgunakan. Harga scanner magnetik card dengan antarmuka USB, seperti yang digunakan pada kasus pembobolan ATM BCA, mencapai 6 digit dalam rupiah. Dibeli untuk disalahgunakan. Terlihat bahwa mahal atau murahnya harga tidak korelatif pada potensi penyalahgunaan.