Tahapan ini adalah puncak terjadinya konflik. Dalam kasus ini, krisis ditandai dengan munculnya kerusuhan, yang terjadi akibat bentrok massa dengan aparat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan, bentrokan antara massa dan aparat ini terjadi akibat adanya upaya pembubaran massa yang dilakukan pihak Polri, dengan mengacu pada undang-undang yang berlaku. Polri membubarkan massa secara paksa pada pukul 23.00 WIB. Di tahap krisis ini, massa melempari polisi dengan batu dan petasan.
Lebih lagi, massa juga merusak asrama Brimob dan membakar puluhan mobil yang terparkir. Kerusuhan ini terjadi hingga pukul 3.00 WIB keesokan harinya. Barulah setelah tahapan ini, terjadi peristiwa pascakonflik, yaitu keadaan yang mengakhiri. Peristiwa pascakonflik ini ditandai dengan berhasil ditangkapnya para provokator yang berjumlah 441 orang, dengan uang operasional Rp5000000.Â
Menurut Teori Konflik (kekerasan), konflik dan kerusuhan ini dapat dianalisis menggunakan teori faktor kelompok. Teori faktor kelompok menyatakan bahwa individu cenderung membentuk kelompok dengan mengedepankan identitas yang didasari oleh faktor persamaan. Persamaan disini dapat merujuk pada persamaan ras, etnis, suku, antargolongan, agama, dan faktor-faktor diferensiasi sosial lainnya. Identitas yang mendasari pembentukan kelompok inilah yang dibawa dalam berinteraksi sosial dan perbedaan serta benturan antar identitas inilah yang cenderung berakibat pada konflik.
Dalam kasus konflik 22 Mei ini, faktor teori kelompok dapat diterapkan pada pihak Paslon 02. Pertama, kelompok pendukung paslon 02 (pengunjuk rasa) dibentuk dengan mengedepankan persamaan golongan serta afiliasi pilihan politik. Mereka semua memilih Paslon nomor urut 2. Identitas inilah yang dikedepankan dalam interaksi sosial, khususnya politik mereka. Pada saat mereka dinyatakan kalah oleh pemilu, terjadilah benturan antaridentitas.
Benturan disini merujuk pada benturan afiliasi pilihan politik, karena pendukung paslon 02 memiliki stigma bahwa (aparatur) negara terafiliasi dengan paslon 01, sehingga putusan tersebutlah yang menimbulkan benturan. Karena stigma afiliasi inilah, pihak massa perusuh menyerang pihak kepolisian, karena bagian dari negara.
Pada saat kerusuhan, yang mereka bawa adalah identitas mereka sebagai pendukung paslon 02, sehingga mereka percaya bahwa identitas mereka sedang terancam dan yang mereka lakukan adalah upaya untuk mempertahankan identitas dan harga diri kelompok.Â
Dari kerusuhan ini, dapat dilihat bahwa yang dikedepankan adalah identitas kelompok, oleh sebab itu dapat dikatakan sebagai konflik out-group. Pun demikian, konflik terjadi akibat adanya isu-isu yang digaungkan, khususnya isu yang ditujukan untuk mendiskreditkan pihak lawan. Dan konflik tidak dapat dilepaskan dari hubungan, perilaku, serta pimpinan pihak-pihak yang terkait.
Konflik yang terjadi pun dapat berbentuk realistis dan non-realistis secara bersamaan, akibat adanya peran keduanya dalam membangun/mengakumulasi konflik.
Selain itu, dalam menganalisis konflik, perlu dilihat dalam skala besarnya, karena pihak-pihak yang terkait dapat diperluas guna menemukan pihak inti.
Pada skala kecil, mungkin hanya ditemukan bentrokan antara polri dan massa, namun dalam skala besar dapat dilihat bahwa konflik terjadi antara paslon 02 dan aparatur negara, sehingga menjadi konflik politik.