Pemegang kekuasaan yang dimaksud dapat berupa Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, dan sebagainya, serta pula anggota suatu majelis umum seperti anggota DPR ataupun DPRD). Dalam konteks ini, ujaran kebencian tersebut dapat berupa penyerangan nama baik atau kehormatan orang lain, menjelek-jelekkan, menghina, dan sebagainya (seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya).Â
Apabila memang terbukti demikian (bahwa orang tersebut telah menghina pemegang kekuasaan) maka orang tersebut akan dikenai pasal 207 KUHP, yang berbunyi: Â "Barang siapa dengan sengaja di muka umum, dengan lisan atau dengan tulisan, menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indnesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."Â
Berbeda dengan aparat atau pegawai negeri, apabila seseorang terbukti melakukan sebuah tindakan penghinaan, mengutarakan kebencian atau menebarkan rasa kebencian terhadap pegawai negeri, maka hukuman orang tersebut akan ditambah sepertiganya dari hukuman awal (hukuman yang diberikan karena tindak pidana ujaran kebencian yang bersifat umum).
Apabila ujaran kebencian tersebut ditujukan terhadap kepala negara sahabat, atau wakil negara asing, maka orang tersebut dapat dihukum penjarann selama-lamanya 5 tahun. Menurut R Soesilo, AKB Purnawirawan Kepolisian, pasal khusus ini (yang mengatur ujaran kebencian yang ditujukan terhadap pemerintah) akan menjamin kehormatan dari pemegang kekuasaan.
Lalu Bagaimana cara menyikapi ujaran kebencian?
Kita pernah mendengar ungkapan hati boleh panas, kepala harus tetap dingin. Sama halnya dengan menyikapi ujaran kebencian. Terkadang, emosi kita sering meluap-luap saat sedang membaca unggahan ujaran kebencian. Terkadang, kita seakan langsung reflek ingin menanggapi ujaran kebencian tersebut. Namun, ini merupakan sebuah kesalahan. Tak semua ujaran kebencian harus ditanggapi atau direspons.
Bahkan, menurut Dwi Sujarwanto, Paurmin Subdit 4 Cyber Crime Polda Metrojaya, lebih baik bagi kita warganet untuk tidak mengomentari postingan-postingan tersebut, baik menentangnya atau menyetujuinya. Dengan mengomentarinya, pelaku akan semakin senang dan termotivasi untuk mengunggah postingan-postingan yang bermuatan ujaran kebencian.
Hal ini tentunya tak terpisahkan dari latar belakang pelaku. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, pelaku ujaran kebencian cenderung memiliki kekurangan kasih sayang dan memerlukan perhatian. Sehingga, apabila ujaran kebencian yang ia unggah, yang juga ia jadikan ajang untuk mencari perhatian, direspons banyak orang, ia akan merasa bahwa tujuannya telah terpenuhi dan termotivasi untuk melakukannya lagi agar dapat memperoleh perhatian yang lebih banyak lagi.
Ujaran kebencian sudah pasti memuat konten-konten yang kontroversial. Sehingga, sudah pasti memiliki massa yang pro dan kontra terhadap konten tersebut. Apabila kita sebagai warganet memutuskan untuk mengomentarinya, tentunya hal ini dapat berlanjut kepada perdebatan dan juga konflik. Namun, lain halnya bila ujaran kebencian tersebut memuat berita atau fakta bohong.
Apabila konten tersebut memuat berita bohong, sudah menjadi kewajiban kita untuk meluruskannya agar tidak memecah belah atau menimbulkan pertikaian hanya karena sebuah kebohongan. Namun, di atas semuanya itu, kita sebagai warganet harus memikirkan semua dampak dari perbuatan yang akan kita lakukan terlebih dahulu sebelum melakukannya, agar tidak merugikan orang lain ataupun lingkungan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI