Menurut psikolog Elizabeth Santosa, pelaku ujaran kebencian cenderung memiliki sifat impulsif dan kurang percaya diri. Dalam konteks ini, sifat impulsif mengarah pada melakukan tindakan tertentu sebelum memikirkan dampaknya. Mereka cenderung reaktif dan mudah sekali untuk terprovokasi.
Mereka juga memiliki manajemen emosi yang buruk, sehingga ingin cepat-cepat bertindak sebelum memahami situasi yang sebenarnya. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa pelaku cenderung memiliki pribadi yang moody, dalam arti pelaku selalu mengikuti mood-nya dalam mengerjakan sesuatu.
 Lalu, apa saja yang telah dilakukan aparat dalam memberantas dan menangani ujaran kebencian di media sosial?
* Â Aparat telah bekerja sama dengan akademisi untuk mencegah penyebaran ujaran kebencian.
* Â Aparat telah melakukan pengujian konten dengan ahli bahasa untuk menentukan apakah konten termasuk ujaran kebencian.
* Â Aparat membentuk tim khusus dalam memerangi berita bohong yang disebarkan lewat media sosial.
* Â Aparat melakukan patroli di media sosial (cyber patrol tim). Tim patroli siber ini bertugas untuk mengawasi apabila ada konten-konten sensitif yang menyangkut (namun tak terbatas pada): SARA, warna kulit, etnis, gender, orientasi seksual, dan lain-lain.
* Â Merespons aduan masyarakat di media sosial. Apabila ada seseorang yang men-tag (mencantumkan) akun kepolisian, polisi akan melakukan patroli dan memastikan bahwa konten tersebut 'aman'. Apabila tergolong membahayakan, polri akan melakukan tindakan-tindakan lanjutan.
* Â Menggunakan sistem patroli yang selalu siaga dan memiliki kemampuan untuk mendeteksi konten-konten yang kemungkinan besar termasuk sebagai ujaran kebencian.
* Â Memiliki sistem yang dapat membuka kembali konten apabila konten tersebut telah dihapus oleh pelaku, untuk dijadikan barang bukti.
* Â Bersedia melakukan penyuluhan untuk mengedukasi masyarakat, untuk lebih lagi mengerti tentang konsep ujaran kebencian.