Masalah ujaran kebencian akhir-akhir ini seringkali menarik perhatian masyarakat. Tak hanya jumlahnya yang meningkat, konten-konten yang diunggah pun semakin mengkhawatirkan. Ujaran-ujaran yang ditujukan semakin tajam dan bahkan semakin memecah belah. Bahkan, dengan ujaran yang didasarkan terhadap fakta palsu atau berita bohong, sebagian orang dapat bertindak semena-mena, merasa bahwa ada tindakan yang perlu dilakukan untuk melakukan tindakan pembelaan maupun menyerang.
Tentunya, hal ini semuanya dikarenakan oleh kebencian yang ditanamkan dalam ujaran atau postingan-postingan tersebut. Seringkali, karena belum memahami sepenuhnya mengenai apa itu ujaran kebencian, kita bahkan tidak tahu bahwa kita sedang membacanya atau mungkin membuatnya. Namun, yang perlu kita pahami, seluruh hal ini ada ranah hukumnya dan pasti ada konsekuensinya.
Berdasarkan dari Surat Edaran Kapolri Jenderal Polisi Drs. Badrodin Haiti, No. SE/6/X/2015, ujaran kebencian dikhawatirkan dapat merongrong prinsip berbangsa dan bernegara Indonesia yang berbineka tunggal ika, memunculkan kebencian terhadap seseorang atau kelompok tertentu, kekerasan, memunculkan konflik, tindakan diskriminatif, penghilangan nyawa, dan bahkan pembantaian terhadap etnis-etnis tertentu atau genosida.Â
Tentunya, hal-hal ini tidaklah baik untuk kemajuan bangsa dan negara kita karena dapat menghambat proses percepatan pembangunan dalam negara.
Memasuki sebuah tahun politik, sudah pasti, ujaran kebencian tak akan luput dari pandangan. 'Jangan pilih ...', '... tidak pro umat', '... keturunan PKI', '... antek aseng', dan sebagainya, adalah contoh sederhana dari ujaran kebencian yang pasti akan selalu ditemui di tahun-tahun politik negeri ini. Tak jarang, calon-calon yang ingin masuk ke dunia pemerintahan hanya menarik dukungan dengan menanamkan rasa kebencian terhadap lawannya dan bukan mencari dukungan berdasarkan visi dan misi kerja mereka.
Tentunya, inilah yang menjadi dasar, dalam meroketnya jumlah ujaran kebencian, khususnya di media sosial. Dibuktikan dari survei yang dilakukan terhadap lebih dari 200 responden, 52% dari mereka belum mengerti sepenuhnya tentang konsep ujaran kebencian. Lebih mengkhawatirkan lagi, 63% dari mereka, tidak sepenuhnya memahami tentang hukum yang mengatur aktivitas tersebut.
Ketidakpahaman kebanyakan orang terhadap hukum yang berlaku harus menjadi pusat perhatian pemerintah, agar pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan preventif berupa penanaman pemahaman seputar masalah ujaran kebencian, khususnya di media sosial.
Oleh sebab itu, penanaman pemahaman seputar masalah ujaran kebencian sangan esensial dalam mengurangi jumlah ujaran kebencian di masa mendatang, dan mempersiapkan masyarakat, khususnya generasi muda, dalam menghadapi banyaknya ujaran kebencian yang akan mereka temui.
 Apa itu ujaran kebencian?
Frasa ujaran kebencian sering muncul belakangan ini. Terkadang, tanpa mengerti betul tentang apa itu ujaran kebencian, orang-orang sering berasumsi dan langsung memberikan titel bahwa sebuah postingan merupakan ujaran kebencian. Secara general, ujaran kebencian dapat didefinisikan sebagai sebuah ujaran yang menjelekkan dan menebarkan kebencian terhadap pribadi seseorang atau sebuah golongan tertentu.
Kata SARA atau singkatan dari Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan seringkali kita dengar seiring dengan perkembangan jumlah ujaran kebencian, khususnya di media sosial. Ujaran kebencian tak hanya dapat didasarkan terhadap SARA, namun juga dapat didasarkan atau ditujukan pada hal-hal lain seperti kebijakan politik, lambang negara, ideologi, dan beberapa hal lainnya.
Meskipun kita mengenal bahwa kebebasan berpendapat kita dilindungi oleh undang-undang (artikel ke-19 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Namun, bukan berarti kita memiliki kebebasan penuh dalam menyampaikan pendapat. Ujaran kebencian menjadi salah satu contoh 'kebablasan' dalam menyampaikan pendapat. Perlu diingat, sebagai warga negara, selain dipayungi dan dilindungi oleh hukum, kita juga dapat dijera oleh hukum.
 Apa saja yang menjadi indikator ujaran kebencian?
Secara umum, setiap ujaran kebencian, baik dari jenis atau pengolongan yang berbeda-beda, cenderung memiliki suatu kesamaan. Kesamaan yang pertama adalah dari segi penyampaian pesan. Seperti yang diketahui, ujaran kebencian cenderung memiliki tendensitas untuk menggunakan kata-kata kasar, kata-kata yang menghasut atau memprovokasi, dan juga kata-kata yang intimidatif.
Tentunya, seperti yang telah dicantumkan dalam definisi sebelumnya, kata-kata ini ditujukan terhadap seseorang atau kelompok tertentu, dengan maksud untuk menjatuhkannya. Segi penyampaian ini, cenderung menjadi karakteristik yang paling sering terlihat atau yang paling jelas di antara indikator-indikator lainnya. Selain dari cara penyampaian, hampir semua ujaran kebencian memuat konten yang sensitif.
Konten sensitif yang dimaksud menyangkut suku, ras, agama (dan aliran kepercayaan), warna kulit, gender, orientasi seksual, difabilitas (cacat), atau etnis. Muatan-muatan ini akan mengingkatkan kewaspadaan Polri, karena dapat terindikasi dan tergolong sebagai sebuah ujaran kebencian.
 Ujaran Kebencian dari Perspektif Psikologis
Ujaran kebencian dari kacamata psikologis cenderung berbeda. Menurut Bona Hutahaean, seorang psikolog, ujaran kebencian merupakan hasil dari kurangnya kasih sayang. Ia mengatakan, menurut penelitian, masih banyak orang Indonesia yang merasa canggung dalam mengekspresikan kasih sayang. Padahal, kasih sayang merupakan aspek penting karena akan berdampak pada aktivitas atau tingkah laku sehari-hari.
Ia mengatakan hal ini akan berdampak pada tindakan-tindakan 'cari perhatian', yang diantaranya meliputi mengutarakan kedengkian, kebencian, maupun menjelekkan orang lain. Tentunya ini sangat berdampak dan berkorelasi dalam bertambah maraknya ujaran kebencian di media sosial. Ajang pesta demokrasi atau pemilu seringkali digunakan sebagai ajang untuk mencari perhatian.
Dengan kurangnya kasih sayang, pelaku cenderung akan merasa bahwa ini adalah ajang yang baik untuk mencari perhatian, sehingga, seperti yang telah dibuktikan oleh survei, tindakan ujaran kebencian pasti meningkat di tahun-tahun politik. Demi memenuhi tujuan mereka, mereka akan berbuat segala hal, termasuk mengutarakan ujaran kebencian dan mengunggah postingan-postingan kontroversial, dengan harapan ujaran atau unggahan tersebut akan mendapatkan banyak respons dan bahkan dapat menimbulkan kegaduhan.
Seputar Pelaku Ujaran Kebencian
Pelaku ujaran kebencian yang ditangkap kebanyakan berasal dari rentang umur 18 tahun ke atas. Di antara mereka, hanya sedikit pelaku yang masih di bawah umur karena mereka belum dapat diproses secara hukum. Kebanyakan pelaku di bawah umur hanya diminta untuk mengaku bersalah dan menyampaikan permohonan maaf, setelah itu mereka dapat langsung dipulangkan atau setidaknya menjalani program 'rehabilitasi'.
Menurut psikolog Elizabeth Santosa, pelaku ujaran kebencian cenderung memiliki sifat impulsif dan kurang percaya diri. Dalam konteks ini, sifat impulsif mengarah pada melakukan tindakan tertentu sebelum memikirkan dampaknya. Mereka cenderung reaktif dan mudah sekali untuk terprovokasi.
Mereka juga memiliki manajemen emosi yang buruk, sehingga ingin cepat-cepat bertindak sebelum memahami situasi yang sebenarnya. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa pelaku cenderung memiliki pribadi yang moody, dalam arti pelaku selalu mengikuti mood-nya dalam mengerjakan sesuatu.
 Lalu, apa saja yang telah dilakukan aparat dalam memberantas dan menangani ujaran kebencian di media sosial?
* Â Aparat telah bekerja sama dengan akademisi untuk mencegah penyebaran ujaran kebencian.
* Â Aparat telah melakukan pengujian konten dengan ahli bahasa untuk menentukan apakah konten termasuk ujaran kebencian.
* Â Aparat membentuk tim khusus dalam memerangi berita bohong yang disebarkan lewat media sosial.
* Â Aparat melakukan patroli di media sosial (cyber patrol tim). Tim patroli siber ini bertugas untuk mengawasi apabila ada konten-konten sensitif yang menyangkut (namun tak terbatas pada): SARA, warna kulit, etnis, gender, orientasi seksual, dan lain-lain.
* Â Merespons aduan masyarakat di media sosial. Apabila ada seseorang yang men-tag (mencantumkan) akun kepolisian, polisi akan melakukan patroli dan memastikan bahwa konten tersebut 'aman'. Apabila tergolong membahayakan, polri akan melakukan tindakan-tindakan lanjutan.
* Â Menggunakan sistem patroli yang selalu siaga dan memiliki kemampuan untuk mendeteksi konten-konten yang kemungkinan besar termasuk sebagai ujaran kebencian.
* Â Memiliki sistem yang dapat membuka kembali konten apabila konten tersebut telah dihapus oleh pelaku, untuk dijadikan barang bukti.
* Â Bersedia melakukan penyuluhan untuk mengedukasi masyarakat, untuk lebih lagi mengerti tentang konsep ujaran kebencian.
 Apa saja yang tergolong ujaran kebencian?
Menurut surat edaran mantan kapolri, Jenderal Polisi Drs. Badrodin Haiti, nomor SE/6/X/2015, Â tindakan ujaran kebencian dapat berbentuk penghinaan, pencemaran nama baik (defamasi), penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut atau penyebaraan berita bohong.
Di dalam surat tersebut, juga tercantum media-media yang biasa digunakan untuk menebarkan kebencian (ujaran kebencian) seperti orasi kegiatan kampanye, spanduk, media sosial, ceramah atau khotbah, media massa cetak ataupun elektronik, dan juga pamlfet. Selain dari jenisnya yang telah disebutkan, ujaran kebencian juga dibedakan dari segi 'untuk siapa ujaran tersebut ditujukan.'
Apabila ujaran kebencian tersebut ditujukan terhadap kepala negara, pemegang kekuasaan, aparat ataupun petinggi lainnya, seperti raja atau kepala dari negara lain, duta atau wakil negara lain, dan sebagainya, konsekuensinya akan berbeda. Ujaran kebencian yang ditujukan terhadap individu atau kelompok ini memiliki ranah hukum yang berbeda, walaupun tetap berkaitan dengan ujaran kebencian 'umum'.
Pencemaran Nama Baik dan Penghinaan
Dalam konteks ini, penghinaan diartikan sebagai tindakan yang menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Tindakan pencemaran nama baik dilakukan dengan menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu yang memalukan, dengan maksud agar hal tersebut dapat tersiar. Perbuatan yang dituduhkan dapat hanya berupa perbuatan biasa yang tidak melanggar hukum, namun tetap mempermalukan orang tersebut (contoh: menyebarkan bahwa orang tersebut tidak naik kelas, dsb.)
Perlu diketahui: Berdasarkan pasal 310 KUHP, hukum mengenai penghinaan di Indonesia tidak mempertimbangkan sama sekali apabila ujaran tersebut berisikan fakta atau sekadar opini. Apabila ujaran memuat konten yang dianggap menyerang, menghina, mencemarkan nama baik, atau menumbuhkan rasa kebencian terhadap orang yang dibahas maka ujaran tersebut sudah tergolong ujaran kebencian dan akan dikenai hukuman maksimal 9 bulan apabila dilakukan secara lisan dan hukuman maksimal 1 tahun 4 bulan apabila dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan.
Selain dari menuduhkan orang lain dengan perbuatan yang mempermalukan, memfitnah seseorang telah melakukan sebuah perbuatan yang ia tidak lakukan, atau menyebarkan kebohongan mengenai orang tersebut juga termasuk pencemaran nama baik. Tuduhan palsu ini kemudian disiarkan dengan maksud agar kebohongan tersebut terisar.
Hal ini diatur dalam pasal 311 dan pelaku dapat dikenakan hukuman maksimal 4 tahun. Salah satu contoh lainnya adalah penyerahan surat laporan/tuduhan palsu terhadap seseorang ke pihak kepolisian atau pembesar negeri lainnya. Apabila orang tersebut tersinggung, maka pelaku dapat dikenakan hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun.
Jenis penghinaan yang paling sering kita temui adalah penghinaan ringan. Pelaku penghinaan ringan menggunakan kata kasar yang ditunjukkan untuk memaki orang tersebut dan memiliki sifat menghina. Hal ini termasuk penghinaan ringan, namun pelaku tetap dapat dipidanakan dengan kurungan penjara maksimum 4 bulan 2 minggu.
Penistaan
Menghina, mengutarakan kebencian, melakukan tindakan provokatif atau menghasut orang lain untuk membenci seseorang atau kelompok tertentu atas dasar suku, agama (atau kepercayaan), ras, antargolongan, warna kulit, gender, orientasi seksual, cacat, kewernegaraan, dan sebagainya. Indikatornya apabila ujaran mengandung unsur kebencian atau menjelekkan kelompok (golongan) atau hal-hal tertentu berdasarkan hal-hal yang dicantumkan di atas. Khususnya pada media sosial, hal ini diatur dalam UU ITE pasal 28.
Selain itu, ujaran kebencian penistaan atau penodaan menyangkut hal-hal seperti menjelek-jelekan, menuduh, dan melakukan tindakan lainnya yang ditujukan untuk merusak citra individu atau kelompok tersebut. Pasal 157 mengatakan, apabila ujaran tersebut menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia. Pelaku yang terjerat pasal ini akan dijatuhkan hukuman penjara maksimal 4 tahun.
Namun, seperti yang tercantum pada KUHP 156 dan 156a, tidak dijelaskan apa indikator untuk sebuah ujaran dapat digolongkan menghina atau menistakan individu ataupun SARA. Maka, aparat cenderung akan bekerja sama dengan tim akademisi dan menentukan apa hal tersebut bernadakan kebencian, yang tentunya harus didahului oleh laporan ataupun pengaduan. Oleh sebab itu, selalu gunakan kata-kata yang sopan dalam berkomunikasi di sehari-hari, khususnya di media sosial.
Memprovokasi atau Menghasut
Memprovokasi atau menghasut dapat didefinisikan sebagai tindakan mengajak atau menumbuhkan semangat dalam orang lain untuk membenci seseorang atau sebuah kelompok tertentu yang akan berujung pada polarisasi dan terpecah belahnya masyarakat. Selain itu, konten dengan jenis ini cenderung memprovokasi/menghasut/mengajak orang lain untuk melakukan tindakan tertentu yang seringnya melanggar hukum.
Apabila benar bahwa hasutan tersebut menghasut orang untuk melakukan kegiatan tertentu yang melanggar hukum, maka pelaku akan dikenai pasal 160 KUHP dengan hukuman penjara maksimal 6 tahun, dan apabila ada orang yang menyebarluaskan (menyiarkan, mempertontonkan, atau menempelkan tulisan) hasutan untuk melakukan perbuatan yang dilarang atau menentang kekuasaan dengan kekerasan, maka pelaku dapat dikenai pasal 161 KUHP dengan hukuman maksimal 4 tahun.
Berita Bohong
Menyebarkan berita bohong juga merupakan salah satu wujud ujaran kebencian. Dengan intensi yang sama: untuk menimbulkan rasa benci, tak jarang orang-orang menggunakan berita bohong atau yang lebih dikenal sebagai hoax sebagai sarana. Seperti yang telah dibahas, salah satu indikator berita bohong adalah tidak dilengkapinya referensi atau sumber dan  fakta-fakta pendukung yang kredibel dan sudah dapat dipastikan kebenarannya.
Apabila seseorang terbukti menyebarkan berita bohong, bahkan jika orang tersebut menceritakan kejadian secara tidak betul maka ia dapat dikenakan pasal 28 dalam UU ITE yang berbunyi 'Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik'
Bagaimana bila ditujukan terhadap aparat negara, pemegang kekuasaan atau petinggi lainnya?
Ujaran kebencian yang ditujukan terhadap seseorang atau golongan tertentu tentunya memiliki ranah hukum yang berbeda dengan ujaran kebencian yang ditujukan terhadap anggota pemerintahan, pejabat, atau pemegang kekuasaan. Ujaran kebencian yang ditujukan terhadap pemegang pemerintahan dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan.
Pemegang kekuasaan yang dimaksud dapat berupa Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, dan sebagainya, serta pula anggota suatu majelis umum seperti anggota DPR ataupun DPRD). Dalam konteks ini, ujaran kebencian tersebut dapat berupa penyerangan nama baik atau kehormatan orang lain, menjelek-jelekkan, menghina, dan sebagainya (seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya).Â
Apabila memang terbukti demikian (bahwa orang tersebut telah menghina pemegang kekuasaan) maka orang tersebut akan dikenai pasal 207 KUHP, yang berbunyi: Â "Barang siapa dengan sengaja di muka umum, dengan lisan atau dengan tulisan, menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indnesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."Â
Berbeda dengan aparat atau pegawai negeri, apabila seseorang terbukti melakukan sebuah tindakan penghinaan, mengutarakan kebencian atau menebarkan rasa kebencian terhadap pegawai negeri, maka hukuman orang tersebut akan ditambah sepertiganya dari hukuman awal (hukuman yang diberikan karena tindak pidana ujaran kebencian yang bersifat umum).
Apabila ujaran kebencian tersebut ditujukan terhadap kepala negara sahabat, atau wakil negara asing, maka orang tersebut dapat dihukum penjarann selama-lamanya 5 tahun. Menurut R Soesilo, AKB Purnawirawan Kepolisian, pasal khusus ini (yang mengatur ujaran kebencian yang ditujukan terhadap pemerintah) akan menjamin kehormatan dari pemegang kekuasaan.
Lalu Bagaimana cara menyikapi ujaran kebencian?
Kita pernah mendengar ungkapan hati boleh panas, kepala harus tetap dingin. Sama halnya dengan menyikapi ujaran kebencian. Terkadang, emosi kita sering meluap-luap saat sedang membaca unggahan ujaran kebencian. Terkadang, kita seakan langsung reflek ingin menanggapi ujaran kebencian tersebut. Namun, ini merupakan sebuah kesalahan. Tak semua ujaran kebencian harus ditanggapi atau direspons.
Bahkan, menurut Dwi Sujarwanto, Paurmin Subdit 4 Cyber Crime Polda Metrojaya, lebih baik bagi kita warganet untuk tidak mengomentari postingan-postingan tersebut, baik menentangnya atau menyetujuinya. Dengan mengomentarinya, pelaku akan semakin senang dan termotivasi untuk mengunggah postingan-postingan yang bermuatan ujaran kebencian.
Hal ini tentunya tak terpisahkan dari latar belakang pelaku. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, pelaku ujaran kebencian cenderung memiliki kekurangan kasih sayang dan memerlukan perhatian. Sehingga, apabila ujaran kebencian yang ia unggah, yang juga ia jadikan ajang untuk mencari perhatian, direspons banyak orang, ia akan merasa bahwa tujuannya telah terpenuhi dan termotivasi untuk melakukannya lagi agar dapat memperoleh perhatian yang lebih banyak lagi.
Ujaran kebencian sudah pasti memuat konten-konten yang kontroversial. Sehingga, sudah pasti memiliki massa yang pro dan kontra terhadap konten tersebut. Apabila kita sebagai warganet memutuskan untuk mengomentarinya, tentunya hal ini dapat berlanjut kepada perdebatan dan juga konflik. Namun, lain halnya bila ujaran kebencian tersebut memuat berita atau fakta bohong.
Apabila konten tersebut memuat berita bohong, sudah menjadi kewajiban kita untuk meluruskannya agar tidak memecah belah atau menimbulkan pertikaian hanya karena sebuah kebohongan. Namun, di atas semuanya itu, kita sebagai warganet harus memikirkan semua dampak dari perbuatan yang akan kita lakukan terlebih dahulu sebelum melakukannya, agar tidak merugikan orang lain ataupun lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H