Mohon tunggu...
Johanes Marno Nigha
Johanes Marno Nigha Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Sedang Senang Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lopo Om Erik: Dari Imajinasi Menuju yang Politis

6 November 2023   12:56 Diperbarui: 6 November 2023   13:12 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu seperti biasa kami diundang berkumpul ke markas. Saya menyebutnya markas karena rumah om Erik dan mama Amora adalah tempat rileksasi (healing) untuk warga perumahan seputaran Blok Kami. Ruang belakang rumah yang cukup luas telah di sulap tuan rumah dengan Lopo sebagai sentral.

Lopo dalam tradisi masyarakat Timor adalah ruang tempat pertemuan selain sebagai lumbung. Bangunan Lopo yang saya maksudkan ini sudah dibentuk dalam imajinasi om Erik secara lain. "Sebelum membangun rumah, saya sudah memikirkan tempat Lopo ini" ujar om Erik pada kami siang itu.

Ia selanjutnya menyewa warga sekitar untuk mencari alang-alang, lalu jadilah, kerangka atap Lopo yang ia bangun dari bekas pemancar televisi (parabola) kemudian diikat dengan alang-alang sehingga membentuk Lopo yang kelihatan sebagaimana bangunan itu dikenal.

Jika Lopo tradisional terbentuk dari empat tiang utama penyangga, Om Erik menyederhanakan bentuknya menjadi satu tiang. Fungsinya yang tetap dipertahankan sebagai tempat sentral bertemu.

Begitulah Lopo dari empat tiang disederhanakan menjadi 1 tiang telah umum dalam imajinasi kepala warga urban di kota Kupang ataupun warga kota lain di daratan Timor. Di sepanjang tempat pariwisata Timor, pengunjung kerap mengenal Lopo sebagai bangunan satu tiang, menyerupai payung dengan atap alang-alangnya.

Inspirasi inilah yang kemudian terbentuk juga dalam imajinasi om Erik saat membangun Loponya di halaman belakang rumah.

Pada umumnya struktur dasar rumah telah terpetakan dalam imajinasi masyarakat di Indonesia juga di tempat kami, Kupang.

Ruang tamu sering telah dikenal sebagai penanda ruang formal. Imajinasi masyarakat sudah tentu paham dengan struktur pengetahuan dasar ini. Saat bertamu,penting untuk masuk lewat ruang tamu.

Lain halnya dengan anggota komunitas atau keluarga yang telah dikenal. Ruang tamu sebagai penanda pertemuan ruang formal akan diabaikan dan tuan rumah akan langsung mengajak ke ruang tengah atau ruang belakang. Ruang ini menjadi penanda kelenturan, komunikasi intens sekaligus ruang nyaman.

Penanda ruang ini juga kemudian dikerangkakan dalam imajinasi om Erik dan mama Amora. Sebagai warga komunitas blok perumahan kami sudah saling mengenal. format warga blok perumahan sebagai bagian keluarga inilah yang juga dikerangkakan dalam pemikiran om Erik dan mama Amora sang tuan rumah. Rata-rata semua yang diundang ke halaman belakang adalah tetangga yang telah dikenal atau keluarga dekat mereka. Ruang belakang menjadi tempat berbagi cerita keseharian, saling meneguhkan dan tentu saja tempat healing.

Kerangka inilah yang secara lentur dipraktekkan oleh om Erik di Lopo belakang rumahnya. Semua tamu diarahkan menuju ruang belakang dan duduk di Lopo. Tuan rumah kemudian menyiapkan seperangkat salon, laptop, Mic untuk bernyanyi, kudapan dan tentu saja seluruh catatan play list lagu di kepala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun