Hari itu seperti biasa kami diundang berkumpul ke markas. Saya menyebutnya markas karena rumah om Erik dan mama Amora adalah tempat rileksasi (healing) untuk warga perumahan seputaran Blok Kami. Ruang belakang rumah yang cukup luas telah di sulap tuan rumah dengan Lopo sebagai sentral.
Lopo dalam tradisi masyarakat Timor adalah ruang tempat pertemuan selain sebagai lumbung. Bangunan Lopo yang saya maksudkan ini sudah dibentuk dalam imajinasi om Erik secara lain. "Sebelum membangun rumah, saya sudah memikirkan tempat Lopo ini" ujar om Erik pada kami siang itu.
Ia selanjutnya menyewa warga sekitar untuk mencari alang-alang, lalu jadilah, kerangka atap Lopo yang ia bangun dari bekas pemancar televisi (parabola) kemudian diikat dengan alang-alang sehingga membentuk Lopo yang kelihatan sebagaimana bangunan itu dikenal.
Jika Lopo tradisional terbentuk dari empat tiang utama penyangga, Om Erik menyederhanakan bentuknya menjadi satu tiang. Fungsinya yang tetap dipertahankan sebagai tempat sentral bertemu.
Begitulah Lopo dari empat tiang disederhanakan menjadi 1 tiang telah umum dalam imajinasi kepala warga urban di kota Kupang ataupun warga kota lain di daratan Timor. Di sepanjang tempat pariwisata Timor, pengunjung kerap mengenal Lopo sebagai bangunan satu tiang, menyerupai payung dengan atap alang-alangnya.
Inspirasi inilah yang kemudian terbentuk juga dalam imajinasi om Erik saat membangun Loponya di halaman belakang rumah.
Pada umumnya struktur dasar rumah telah terpetakan dalam imajinasi masyarakat di Indonesia juga di tempat kami, Kupang.
Ruang tamu sering telah dikenal sebagai penanda ruang formal. Imajinasi masyarakat sudah tentu paham dengan struktur pengetahuan dasar ini. Saat bertamu,penting untuk masuk lewat ruang tamu.
Lain halnya dengan anggota komunitas atau keluarga yang telah dikenal. Ruang tamu sebagai penanda pertemuan ruang formal akan diabaikan dan tuan rumah akan langsung mengajak ke ruang tengah atau ruang belakang. Ruang ini menjadi penanda kelenturan, komunikasi intens sekaligus ruang nyaman.
Penanda ruang ini juga kemudian dikerangkakan dalam imajinasi om Erik dan mama Amora. Sebagai warga komunitas blok perumahan kami sudah saling mengenal. format warga blok perumahan sebagai bagian keluarga inilah yang juga dikerangkakan dalam pemikiran om Erik dan mama Amora sang tuan rumah. Rata-rata semua yang diundang ke halaman belakang adalah tetangga yang telah dikenal atau keluarga dekat mereka. Ruang belakang menjadi tempat berbagi cerita keseharian, saling meneguhkan dan tentu saja tempat healing.
Kerangka inilah yang secara lentur dipraktekkan oleh om Erik di Lopo belakang rumahnya. Semua tamu diarahkan menuju ruang belakang dan duduk di Lopo. Tuan rumah kemudian menyiapkan seperangkat salon, laptop, Mic untuk bernyanyi, kudapan dan tentu saja seluruh catatan play list lagu di kepala.
Salah satu yang menarik adalah tentang diskografi musik di kepala kami masing-masing. Lopo menjadi semacam cara kami berinteraksi membangun rasa pengalaman dan berbagi catatan pengetahuan tentang musik.
Om Hendro akan dikenal dengan musik-musik Rock lawas seperti Queen saat ia mulai bernyanyi. Pak Alex dan Istri akan dikenal dengan lagu-lagu lawas semacam Broery Marantika, Dewi Yul, Bee Gees, Percy Sledge serta tembang-tembang kenangan yang hits pada masa mereka. Om Erik dan mama Amora akan lekat dengan lagu-lagu Portu semisal Michael Telo, juga lagu nostalgia awal sembilan puluhan. Om Willy dengan lagu-lagu khas manggarai semisal lagu-lagu Ivan Nestorman yang mendayu-dayu namun berkharakter. Saya sendiri mencoba lagu-lagu masa kini di Timur seperti Wizz Baker, Justin Aldrin dan Toton Caribo.
Kami saling memetakan dan kemudian saling belajar memasuki ruang pengalaman lewat bantuan pengetahuan lagu di kepala kami. Pertemuan-pertemuan selanjutnya adalah bernyanyi bersama diselingi dengan cerita tentang lagu tertentu yang menandakan situasi tertentu.
Biasanya kami akan mulai rutinitas di Lopo dari siang hingga malam hari pada hari Sabtu atau Minggu. Bergantung dari undangan dan sikon kegiatan. Tidak setiap Minggu, kadang sebulan bahkan dua atau tiga bulan sekali.
Siang itu seusai masak, saya dikabari bahwa mama Amora sang empunya tuan rumah berulang tahun. Imajinasi di kepala tentang Lopo langsung membayangi dan memasuki pikiran saya. Bercerita tentang Lopo adalah memberi catatan tentang situs yang tumbuh organik di masyarakat.
Om Erik membangun dan masyarakat Blok perumahan memberi penanda tentang kapasita pengetahuan. Sesuatu yang politis sekaligus imajiner. Jika yang politis adalah sebesar-besarnya kepentingan bersama, maka Lopo Om Erik adalah tentang membangun basis imajinasi demi kepentingan bersama.
 Lopo om Erik adalah sebuah basis bangunan visi politis yang organik tentang ruang healing bersama, ruang nyaman sekaligus ruang saling mendukung di antara warga. Sesuatu yang agak sulit ditemukan dalam konteks masyarakat individu sekaligus kapitalistik masa ini. Selamat ulang tahun mama Amora, panjang umur serta mulia, semakin disayang om Erik dan anak-anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H