Sejumlah ilmuwan sepakat bahwa filsafat adalah induk dari ilmu pengetahuan. Kadang juga diistilahkan sebagai ibu ilmu pengetahuan (Mother of Sience).
Mengapa hal ini bisa terjadi? Sebagian besar ilmu yang ada saat ini berawal  dari pertanyaan-pertanyaan filsafat.
Sebelum filsafat, masyarakat sudah mengenal dunia mitologi. Seperti yang masih dapat kita jumpai dalam berbagai cerita tradisi lisan di desa dan kampung hari-hari ini.
Berbagai cerita ini hadir untuk menjawab cukup banyak hal yang belum dapat dijelaskan secara masuk akal.
Misalnya ada kisah tentang asal usul sebuah suku tertentu yang berasal dari sejenis pohon, atau suku tertentu berasal dari titisan hewan atau dewa tertentu.
Para Filsuf Yunani awal merupakan orang-orang yang mengecam cerita mitologi ini. Di Yunani mitologi yang berkembang, menggambarkan para dewa yang memiliki karakter mirip manusia dengan segala kebaikan dan keegoisannya.
 Untuk pertama kalinya mereka menunjukan bahwa mitologi tidak lain dari hasil pemikiran manusia.
Sesudah itu mereka secara perlahan-lahan berusaha menyusun kerangka pemikiran yang lebih masuk akal tentang apa yang mesti dipegang sebagai kerangka acuan dalam hidup. Hal terbesar yang menjadi corak utama para filsuf adalah menyusun pertanyaan-pertanyaan.
Ada semacam kegairahan yang muncul akibat pertanyaan-pertanyaan filsafat. Para filsuf awal memperhatikan perubahan-perubahan yang ada di alam.
Mereka ini berpikir tentang alam semesta dan berupaya menjawab kegelisahan yang muncul dalam rupa pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Bagi mereka dunia yang ada atau alam semesta yang tampak di hadapan mereka bukan hal yang biasa. Alam semesta penuh dengan berbagai keajaiban, teka-teki, keheranan dan karena itu perlu terus-menerus didekati.
Para filsuf ini berupaya menjaga kepekaan akan perasaan heran dan rasa takjub saat memandang alam.
Mereka berusaha menjaga kepekaan yang lazim dapat dilihat dalam diri anak-anak. Pada masa kanak-kanak, dunia di mata anak tampak muncul sebagai sesuatu yang baru, sekaligus membangkitkan keheranan.
Apa yang kebanyakan diterima sebagai hal yang biasa oleh orang-orang dewasa, justru dilihat sebagai sesuatu yang menakjubkan bagi anak-anak.
Saat kecil saya sangat takjub melihat bapak mencukur kumis dengan alat cukur yang lucu. Kadang heran melihat burung terbang dan hinggap di jendela rumah, atau melihat bulan purnama terbit saaat senja.
Saya tiba-tiba  bisa berpikir tentang banyak sekali hal saat memandang semuanya itu. Imajinasi bermunculan tanpa henti di kepala kanak-kanak saya.
 Seringkali saat menanyakan hal-hal tersebut pada orang dewasa, saya selalu merasa tidak puas dengan jawaban yang diberikan.
 Orang tua atau orang-orang dewasa sering menjawab serampangan saja saat saya menanyakan sesuatu yang menurut mereka sudah menjadi hal yang biasa.
Kebiasaan saat melihat matahari terbit atau bulan muncul saat senja, atau pun burung terbang, terasa sebagai suatu rutinitas otomatis.
Sering orang dewasa tidak mempertanyakan hal-hal biasa ini karena bagi mereka alam semesta sudah diterima sebagai yang "seharusnya demikian".
Para filsuf lewat pertanyaan filsafat membongkar cukup banyak hal. Berbekal kepekaan rasa dan pertanyaan, seperti yang dimiliki anak-anak, mereka menemukan keasikan melihat hukum-hukum alam berproses.
Bahkan dalam perjalanan sejarah, para filsuf memainkan peran sebagai sekaligus ilmuwan dan filsuf atau filsuf yang ilmuwan. Salah satu contoh itu antara lain Pythagoras dari masa sebelum Sokrates.
Ia terkenal karena usahanya membuktikan secara matematis  persamaan yang ia sebut teorema Pythagoras. Masyarakat Mesir Kuno atau Babilonia misalnya membangun infrastruktur mereka karena pengetahuan atas teorema ini.
Teori ini menyebutkan adanya hubungan antara sisi-sisi segitiga siku-siku. Kita kenal misalnya bangunan Pyramida di Mesir hingga kisah Taman Gantung Babilonia yang corak pembangunannya menggunakan dasar teorema ini.
Pythagoras yang sangat kagum dengan matematika kemudian meyakini bahwa ilmu ini menyimpan semua rahasia alam semesta. Ia kemudian  berhasil membawa, menyimpan dan menyebarkan pengetahuan ini dalam kebudayaa Yunani.
Contoh lain tentang ilmuan yang sekaligus filsuf  pada abad ini adalah Albert Einstein. Ia seorang ilmuwan penemu teori Relativitas. Sebuah teori yang berbasiskan pengunaan ketajaman analisis dan daya logika matematis.
Salah satu hasilnya adalah penggunaan rumusnya untuk menciptakan bom Atom. Nantinya setelah ia mengetahui penemuannya dipakai untuk kepentingan perang, Einstein banyak merenung tentang posisi netral ilmu pengetahuan yang menghubungkannya dengan kehidupan religiusnya pada akhir hidupnya.
Hal lain yang dibuat Einstain misalnya lewat teori relativitasnya ia mampu mengukur bentuk lengkungan ruang angkasa dengan menuangkannya lewat rumusan matematik yang jernih dan jelas.
Ia sendiri tidak pernah melihat gerak lengkung cahaya di luar angkasa.  Einstein sebaliknya lewat ketajaman pemikirannya berhasil menerapkan penjelasannya melalui bahasa matematis lewat  pendekatan rasional.
Ada banyak abstaraksi (pemikiran atas ide) Â seperti yang dibuat para filsuf Yunani atau para filsuf di Abad Pertengahan.
Hal ini berbanding terbalik dengan para ilmuwan saat itu. Mereka merumuskan teorinya atas dasar percobaan atau mengedepankan pengamatan indrawi.
Setelah itu mengumpulkan data-data atau bukti-bukti, lalu membuat analisa. Pada akhirnya menghasilkan sejumlah teori.
Einstein sebaliknya menggunakan hasil ketajaman pemikiran serta kekuatan bahasa matematiknya.
Salah satu contoh kekaguman atas cara kerja Einstain misalnya ketika terjadi gerhana Matahari total.Â
Para ilmuwan di bidang fisika dan astronomi saat gerhana matahari total, selalu berusaha menggunakan kesempatan itu untuk membuktikan kebenaran teorinya. Secara konsisten teori Einstein selalu dapat dibuktikan ketepatannya.
Dua contoh di atas membuka sebagian besar posisi filsafat dalam ilmu pengetahuan saat ini. Satu kata kunci untuk mendekati filsafat tentu saja dengan mengemukakan pertanyaan yang didorong oleh rasa ingin tahu.
Merumuskan sejumlah pertanyaan menjadi kebutuhan penting dan utama dari kerja para filsuf. Dan lebih penting lagi merumuskan pertanyaan dengan bertanya sampai pada akar permasalahan.
Tujuan sesungguhnya adalah sebagai sarana untuk mengungkapkan keajaiban hidup. Melihat hidup sebagai sesuatu yang menakjubkan dan  mengasikan.
Lewat semuanya itu diharapkan muncul kesempatan menempatkan diri pada apa yang dikenal sebagai kebijaksanaan. Bijaksana dalam membangun relasi diri dan alam serta berbagai kesinambungan hidup lainnya. Â Â
Para filsuf kemudian merumuskan adanya 5 jenis golongan pertanyaan filsafat. Golongan pertanyaan pertama yaitu pertanyaan epistemologi.
Pertanyaan ini berkenaan dengan status pengetahuan seperti bagaimana caranya sebuah ilmu lahir. Atau situasi apa yang memungkinkan sebuah ilmu itu lahir dan berkembang di masyarakat?
Kebudayaan Agraris (pertanian) tentu saja berbeda dengan kebudayaan bahari (laut). Dari sana muncul berbagai landasan nilai yang membentuk identitas dan spiritual serta terbentuknya rasa merasa dalam kehidupan masyarakatnya.
Golongan pertanyaan kedua yang dikenal dalam filsafat  adalah pertanyaan tentang Metafisika.  Pertanyaan ini menyasar konsep-konsep tentang ruang dan waktu, keilahian, sebab dan alasan keberadaan sesuatu.
Golongan pertanyaan ketiga berhubungan dengan apa yang dikenal sebagai etika. Apa yang baik dan apa yang buruk.
Golongan pertanyaan ke empat yaitu tentang estetika. Pertanyaan di dalamnya tentang apa itu keindahan? Golongan pertanyaan tertakhir yaitu tentang filsafat politik, bagaimana seharusnya menata masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H