Industri kelapa sawit merupakan salah satu sektor ekonomi strategis di Indonesia, memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah, serta menjadi salah satu komoditas ekspor utama. Kabupaten dan kota di berbagai wilayah Indonesia, terutama di daerah pedesaan, sangat bergantung pada perkebunan kelapa sawit untuk penyerapan tenaga kerja dan pendapatan daerah. Meskipun memiliki dampak ekonomi yang signifikan, perkembangan perkebunan kelapa sawit sering kali menimbulkan tantangan serius terhadap lingkungan dan sosial, seperti deforestasi, degradasi lahan gambut, konflik agraria, serta ketidakadilan sosial terhadap masyarakat lokal.
    Meningkatnya perhatian dunia terhadap isu keberlanjutan, pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia menjadi sorotan utama. Untuk menghadapi tantangan global dan nasional ini, pemerintah pusat telah menetapkan sejumlah kebijakan, seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), dan moratorium pembukaan lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Pelaksanaan kebijakan tersebut sangat bergantung pada efektivitas peran pemerintah daerah dalam mengawasi, mendampingi, dan mengimplementasikan kebijakan berkelanjutan di tingkat lokal.
    Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab strategis dalam memastikan bahwa perkebunan kelapa sawit di wilayah mereka dikelola secara berkelanjutan, baik dari aspek lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Peran pemerintah daerah mencakup regulasi tata ruang, pengawasan terhadap pelaksanaan praktik perkebunan yang berwawasan lingkungan, serta penyelesaian konflik agraria. Banyak pemerintah daerah yang menghadapi keterbatasan dalam hal sumber daya manusia, pendanaan, serta pemahaman terhadap prinsip-prinsip keberlanjutan, sehingga sering kali menyebabkan ketidakefektifan dalam mengelola perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan.
    Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai sejauh mana pemerintah daerah mampu menjalankan perannya dalam mengelola perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan, serta tantangan apa yang dihadapi dalam implementasinya. Penelitian ini akan menganalisis peran pemerintah daerah dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, serta mengevaluasi kebijakan yang telah diterapkan untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut.
    Latar belakang ini menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dalam menjaga keberlanjutan perkebunan kelapa sawit serta menguraikan berbagai masalah yang relevan terkait dengan pengelolaan dan implementasi kebijakan.
2. Identifikasi Masalah
1. Keterbatasan Pengawasan Pemerintah Daerah : Banyak pemerintah daerah mengalami keterbatasan pengawasan yang efektif terhadap praktik perkebunan kelapa sawit, terutama pemenuhan standar keberlanjutan seperti yang diatur dalam sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Kurangnya kapasitas sumber daya manusia dan teknologi menjadi faktor penghambat utama.
2. Konflik Agraria dan Sengketa Lahan : Perkebunan kelapa sawit sering kali menimbulkan konflik antara perusahaan dan masyarakat lokal, khususnya terkait dengan penguasaan lahan dan hak ulayat. Pemerintah daerah belum memiliki mekanisme yang memadai untuk menyelesaikan konflik agraria ini secara adil dan cepat.
3. Ketidakselarasan Kebijakan Pusat dan Daerah : Terdapat kesenjangan antara kebijakan nasional terkait keberlanjutan perkebunan kelapa sawit dan implementasi di tingkat daerah. Beberapa pemerintah daerah kesulitan mengintegrasikan kebijakan pusat, seperti moratorium lahan sawit, dengan perencanaan tata ruang wilayah setempat.
4. Tantangan Ekonomi Lokal vs. Keberlanjutan : Pemerintah daerah sering dihadapkan pada dilema antara meningkatkan pendapatan daerah dari sektor perkebunan sawit dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Hal ini menyebabkan pemerintah terkadang memberikan izin perluasan lahan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan jangka panjang.
5. Kurangnya Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan : Banyak masyarakat lokal dan adat yang terdampak langsung oleh perkebunan kelapa sawit tidak dilibatkan secara optimal dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini menyebabkan kebijakan pemerintah daerah cenderung tidak sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat.