Pertama, Apabila ini dimainkan oleh Amerika, maka tentunya Amerika bisa survive untuk menekan angka penularan virus. Minimal mereka telah punya vaksin yang mumpuni untuk menghancurkan virus ini. Tetapi data hari ini berkata lain. Justru Amerika telah melambung 2 negara penyumbang penularan terbesar di dunia yakni China dan Italia. Per hari ini data menunjukkan bahwa 213 negara terkena dampak penularan Coronavirus, lebih dari 2.203.927 orang yang terpapar virus yang mengakibatkan kematian sebanyak 148.749 jiwa. Tentunya ini bukan angka yang kecil. Lebih dari 5 triliun USD kerugian akibat Coronavirus.
Jadi hal ihwal teori konspirasi pada dasarnya adalah penggabungan berbagai hal yang kemudian dianalisis secara sepihak untuk mendukung keinginan dan pemikiran si penulis. Base on data memang ada tetapi hanya sebagai penunjang pendapatnya semata-mata.
Kedua, Saya lebih tertarik untuk menjawab pertanyaan di atas dengan mengungkapkan beberapa hasil penelitian dan data ilmiah yang disadur dari berbagai website yang kredibel dan independen. Saya lebih percaya pada kekuatan penelitian ketimbang kekuatan imajinasi. Oleh sebab itu, bagi saya Coronavirus sangat erat hubungannya dengan Global warming dan Climate Change. Beberapa catatan dari World Health Organization (WHO) secara resmi dalam websitenya telah membahas secara panjang lebar antara penyakit-penyakit yang muncul akibat Climate Change seperti Climate change and human health - risks and responses. Summary (Global climate change and health: an old story writ large, How much disease would climate change cause? Climate change and infectious diseases) https://www.who.int/globalchange/summary/en/index5.html. Penjelasan ini diperkuat dengan https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-04-07/what-links-coronavirus-and-climate-change-lack-of-preparation, yang mencoba melihat korelasi dan hubungan antara climate change dan coronaviru. Tulisan dari Vijay Kolinjivadi "The coronavirus outbreak is part of the climate change crisis"  https://www.aljazeera.com/indepth/opinion/coronavirus-outbreak-part-climate-change-emergency-200325135058077.html, diperkuat oleh  https://www.weforum.org/agenda/2020/04/climate-change-coronavirus-linked/,  tentang How our responses to climate change and the coronavirus are linked. https://www.washingtonpost.com/climate-solutions/2020/04/15/climate-change-affects-everything-even-coronavirus/?arc404=true, "Climate change affects everything --- even the coronavirus" yang kesemuannya bermuara pada satu pendapat yang dipublikasikan oleh Jasmin Fox-Skelly dalam http://www.bbc.com/earth/story/20170504-there-are-diseases-hidden-in-ice-and-they-are-waking-up, dengan judul "There are diseases hidden in ice, and they are waking up".
Bagi saya pemikiran Jasmin lebih bersifat scientific evidence dan itupula yang menjadi dasar pemikiran saya bahwa Coronavirus outbreak saat ini sangat erat kaitannya dengan Climate Change (tulisan ini dipublikasikan pada tanggal 4 Mei 2017). Jasmin telah memberikan catatan-catatan pentingnya tentang bahaya Climate Change dan wabah yang akan muncul. Menurut Jasmin, "Sepanjang sejarah, manusia telah hidup bersama dengan bakteri dan virus. Dari wabah pes ke cacar, kami telah berevolusi untuk melawan mereka, dan sebagai tanggapan mereka telah mengembangkan cara-cara baru menginfeksi kami. Dengan memiliki antibiotik hamper seabad lamanya, sejak Alexander Fleming menemukan penisilin. Sebagai tanggapan, bakteri merespons dengan mengembangkan perlawanan terhadap antibiotik. Pertarungan ini tidak ada hentinya, Â karena kita menghabiskan begitu banyak waktu dengan patogen, kita kadang-kadang mengembangkan semacam kebuntuan alami.
Mereka berusaha untuk mencari tahu tentang perubahan iklim mencairkan tanah permafrost (lapisan tanah yang telah membeku selama ribuan tahun), dan ketika tanah mencair serta melepaskan virus dan bakteri purba yang terjebak di dalamnya dan tidak aktif, kini mulai hidup kembali. Pada Agustus 2016, di sudut terpencil Siberia yang disebut Semenanjung Yamal di Lingkaran Arktik, seorang bocah lelaki berusia 12 tahun meninggal dan setidaknya dua puluh orang dirawat di rumah sakit setelah terinfeksi antraks. Teorinya adalah bahwa, lebih dari 75 tahun yang lalu, seekor rusa kutub yang terinfeksi anthrax meninggal dan bangkainya yang beku menjadi terperangkap di bawah lapisan tanah beku, yang dikenal sebagai permafrost. Di sana ia tinggal sampai gelombang panas di musim panas 2016, ketika lapisan es mencair. Bangkai rusa itu melepaskan antraks menular ke air dan tanah di dekatnya, kemudian menjalar ke pasokan makanan. Lebih dari 2.000 rusa yang makan rumput di dekatnya terinfeksi, dan manusia pun turut terinfeksi.
Jasmin menambahkan bahwa saat bumi menghangat (global warming), lebih banyak lapisan es akan mencair. Dalam keadaan normal, lapisan permafrost dangkal sekitar 50cm meleleh setiap musim panas. Tapi sekarang pemanasan global secara bertahap memperlihatkan lapisan permafrost yang lebih tua. Lapisan permafrost yang beku adalah tempat yang sempurna bagi bakteri untuk tetap hidup untuk jangka waktu yang sangat lama, mungkin selama jutaan tahun. Itu artinya, pencairan es berpotensi membuka penyakit dalam kotak Pandora. "Permafrost adalah tempat pemelihara mikroba dan virus yang sangat baik, karena dingin, tidak ada oksigen, dan gelap," kata ahli biologi evolusi Jean-Michel Claverie di Aix-Marseille University di Prancis. "Virus-virus patogen yang dapat menginfeksi manusia atau hewan mungkin disimpan di lapisan permafrost lama, termasuk beberapa yang telah menyebabkan epidemi global di masa lalu."
Pada awal abad ke-20 saja, lebih dari satu juta rusa mati karena antraks. Tidak mudah menggali kuburan yang dalam, jadi sebagian besar bangkai ini terkubur di dekat permukaan, tersebar di antara 7.000 kuburan di Rusia utara. Namun, ketakutan besar adalah apa yang bersembunyi di bawah tanah beku. Orang dan hewan telah dikubur di lapisan es selama berabad-abad, jadi bisa dibayangkan bagain infeksi lain dapat dilepaskan. Sebagai contoh, para ilmuwan telah menemukan fragmen RNA dari virus flu Spanyol 1918 pada mayat yang terkubur di kuburan massal di tundra Alaska. Cacar dan penyakit pes juga kemungkinan terkubur di Siberia.
Dalam sebuah penelitian 2011, Boris Revich dan Marina Podolnaya menulis: "Sebagai konsekuensi pencairan permafrost, vektor-vektor infeksi mematikan abad ke-18 dan ke-19 dapat kembali, terutama di dekat kuburan tempat para korban infeksi ini dikubur." Misalnya, pada tahun 1890-an ada epidemi cacar di Siberia. Satu kota kehilangan hingga 40% populasinya. Tubuh mereka dikuburkan di bawah lapisan permafrost di tepi Sungai Kolyma. 120 tahun kemudian, air bah Kolyma mulai mengikis tepian, dan pencairan lapisan es telah mempercepat proses erosi ini (tentu dapat kita bayangkan bahaya apa yang akan muncul).
Dalam sebuah proyek yang dimulai pada 1990-an, para ilmuwan dari Pusat Penelitian Negara Virologi dan Bioteknologi di Novosibirsk telah menguji sisa-sisa manusia Zaman Batu yang telah ditemukan di Siberia selatan, di wilayah Gorny Altai. Mereka juga telah menguji sampel dari mayat pria yang telah meninggal selama epidemi virus di abad ke-19 dan dimakamkan di permafrost Rusia. Para peneliti mengatakan mereka telah menemukan tubuh dengan karakteristik luka bekas cacar. Meskipun mereka tidak menemukan virus cacar itu sendiri, mereka telah mendeteksi fragmen DNA-nya. Tentu saja ini bukan pertama kalinya bakteri yang dibekukan dalam es hidup kembali. Dalam sebuah studi tahun 2005, para ilmuwan NASA berhasil menghidupkan kembali bakteri yang telah dikurung di kolam beku di Alaska selama 32.000 tahun. Mikroba, yang disebut Carnobacterium pleistocenium, telah membeku sejak zaman Pleistosen, ketika mamut berbulu masih menjelajahi Bumi.
Dua tahun kemudian, para ilmuwan berhasil menghidupkan kembali bakteri berumur 8 juta tahun yang telah tertidur di dalam es, di bawah permukaan gletser di lembah Beacon dan Mullins di Antartika. Dalam studi yang sama, bakteri juga dihidupkan kembali dari es yang berusia lebih dari 100.000 tahun.
Dalam sebuah studi tahun 2014, sebuah tim yang dipimpin oleh Claverie menghidupkan kembali dua virus yang telah terperangkap dalam lapisan es Siberia selama 30.000 tahun. Dikenal sebagai Pithovirus sibericum dan Mollivirus sibericum, keduanya adalah "virus raksasa", karena tidak seperti kebanyakan virus mereka sangat besar mereka dapat dilihat di bawah mikroskop biasa. Mereka ditemukan 100 kaki di bawah tanah di tundra pantai. Begitu mereka dihidupkan kembali, virus dengan cepat menjadi menular. Untungnya bagi kita, virus khusus ini hanya menginfeksi amuba bersel tunggal. Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa virus lain, yang benar-benar dapat menginfeksi manusia, dapat dihidupkan kembali dengan cara yang sama.Â