Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengatasi Oniomania (Pembelian Kompulsif) Daring

6 September 2021   23:30 Diperbarui: 7 September 2021   00:55 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Anda tidak bisa berhenti daring dan membeli barang yang tidak Anda butuhkan? Dorongan untuk berbelanja secara berlebihan adalah godaan terus-menerus bagi banyak orang, dan stres akibat Covid-19 bisa memicu kecanduan belanja daring (online shopping).

Sejak terjadinya pandemi, jutaan orang beralih ke internet untuk memesan bahan makanan, perlengkapan rumah tangga, dan barang-barang lain yang biasanya mereka beli secara langsung atau luring.

Ponsel dan laptop menjadi surga perdagangan, tetapi bagi sebagian orang, belanja daring bisa dengan mudah berubah dari sebuah strategi konsumen yang nyaman menjadi sebuah perilaku yang berlebihan dan berbahaya.

Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders/DSM), buku pegangan untuk diagnosis gangguan kesehatan mental yang digunakan oleh para profesional perawatan kesehatan di AS, tidak secara resmi mengklasifikasikan kecanduan belanja (atau, lebih teknis, "pembelian kompulsif" atau "oniomania") sebagai sebuah kelainan.
 
Akan tetapi, para profesional telah mengenali oniomania sebagai sebuah masalah selama lebih dari 1 abad. Psikiater Jerman berpengaruh, Emil Kraepelin pertama kali menggambarkan oniomania pada awal 1900-an.

Pembelian kompulsif semakin mudah dilakukan dengan munculnya komputer. Sekarang ini, survei menunjukkan bahwa 6 persen orang Amerika berjuang untuk mengendalikan pengeluaran mereka, dan banyak yang lebih suka membeli melalui internet. "Belanja online itu mudah," kata Melissa Norberg, profesor psikologi di Universitas Macquarie di Australia, "Semua bisa dilakukan di rumah, dan karenanya Anda terjebak di sana. Lihat saja apa yang ditawarkan oleh Amazon."

Pembelian yang Problematik
Tentu saja, kita semua memanfaatkan Amazon dan sejenisnya sekarang dan nanti. Seperti perilaku apa pun, perilaku ini ada pada sebuah spektrum. Jadi, bagaimana Anda tahu kapan Anda telah mencapai titik ekstrem?

Kecanduan belanja daring lebih dari menghabiskan terlalu banyak waktu untuk menjelajahi Web. Itu adalah keasyikan yang konstan, dorongan yang luar biasa untuk berbelanja, dan tepatnya berbelanja. Kepuasan yang diperolah berasal dari proses, bukan dari kepemilikan barang yang dibeli itu sendiri.

Kepuasan seperti itu terpisahkan dari tujuan praktis pembelian. Dalam ulasan 2015 dari penelitian tentang pembelian kompulsif, para penulisnya menulis bahwa pasien melaporkan bahwa mereka "jarang atau tidak pernah menggunakan barang yang dibeli."

Bisa diduga, kenikmatan mendapatkan sepatu dan peralatan dapur yang berlebihan akan cepat berlalu.

"Tak lama setelah mereka melakukan pembelian, mereka sering merasa sangat tidak enak," kata Norberg.

Rasa malu dan kecewa ini adalah ciri lain dari sebuah kebiasaan yang tidak sehat, yang juga menyuburkan kebiasaan itu, sebuah siklus penguatan.

"Anda merasa enak, lalu Anda merasa tidak enak, jadi Anda ingin kembali merasa enak." Demikianlah, pembelian kompulsif sering dimulai dan diakhiri dengan emosi negatif: kesepian, depresi, dan ansietas.

Seseorang mungkin beralih ke berbelanja karena mereka tidak mampu mengatasi beberapa stres dalam hidup mereka, atau untuk meningkatkan rasa nyaman diri mereka sendiri. Tetapi itu juga bisa dimulai dengan lebih banyak keadaan pikiran yang netral, misalnya kebosanan.

Prinsip-prinsip yang mendasari pembelian kompulsif adalah bahwa manusia berusaha untuk meningkatkan suasana hati mereka, dan dalam tahun isolasi dan ketidakpastian, banyak yang lebih membutuhkan mekanisme untuk mengatasi suasana hati yang tidak enak dibanding  sebelumnya.

Dengan agak sembrono, kita sering merujuk pada pengeluaran emosional ini sebagai "terapi ritel." Istilah ini memperdaya, karena menyiratkan bahwa berbelanja akan meningkatkan kesehatan mental. Yang lebih mungkin adalah kebalikannya.

Pembelian kompulsif juga bisa mendisrupsi lebih dari kesehatan mental Anda. Konsekuensi finansial sudah jelas dengan sendirinya, dan banyak orang yang telah berbelanja sampai hutangnya semakin banyak. Perilaku tersebut menghabiskan lebih banyak waktu dan perhatian, bisa dengan mudah memicu konflik dengan keluarga dan teman, atau mengganggu pekerjaan, sekolah, dan kewajiban sosial lainnya.

Faktanya, seorang pecandu belanja daring tidak perlu menghabiskan uang sepeser pun untuk memiliki kebiasaan yang problematik, scrolling tanpa akhir saja sudah cukup sering mengakibatkan kebiasaan itu.

Mengatasi Kecanduan
Ada sedikit penelitian tentang penyebab pembelian kompulsif, meskipun para peneliti menduga bahwa penyebab itu membajak sistem penghargaan tubuh kita dengan cara yang sama seperti perilaku kecanduan lainnya, misalnya berjudi.

Aktivitas berbelanja dan membeli menimbulkan aliran dopamin, dan singkatnya, euforia yang terkait dengannya, lalu menurunkan suasana hati kita.

Para vendor internet menggunakan segudang taktik penjualan yang cerdik untuk melawan otak, sehingga semakin sulit untuk menahan keinginan untuk membeli.

"Para pemasar tahu, mungkin lebih baik daripada psikolog klinis, apa yang mendorong perilaku pembeli," kata Norberg. Bahkan tanpa diminta, Algoritma memberi Anda iklan-iklan berdasarkan riwayat pencarian Anda.

Amazon secara otomatis menyarankan item-item untuk dipasangkan bersama. E-tailer menawarkan penjualan kilat dan skema "beli sekarang, bayar nanti."

Belum ada obat yang terbukti efektif dalam mengobati kecanduan belanja, meskipun, mengingat hubungannya yang dekat dengan gangguan suasana hati lainnya, misalnya ansietas dan depresi, dimungkinkan untuk mengobati kedua masalah dengan satu pil. Beberapa kajian telah menemukan bahwa terapi perilaku kognitif kelompok bisa membantu, dan membantu diri sendiri kadang-kadang bisa mencapai intervensi yang diperlukan. Bagi sebagian orang, strategi lakukan sendiri (do-it-yourself/DIY) yang lebih sederhana mungkin sudah cukup.

Norberg menyukai pendekatan dengan perhatian penuh. Pertama, dia merekomendasikan untuk merenungkan perilaku Anda dan apakah Anda membeli barang-barang yang tidak Anda butuhkan. Satu indikasi yang jelas dan sangat umum adalah bahwa barang yang sudah Anda beli bahkan tidak pernah meninggalkan kotak kemasannya.

Selanjutnya Anda perlu mengidentifikasi apa yang memicu Anda untuk berbelanja. Beberapa pemicu, misalnya aplikasi belanja yang memungkinkan perilaku tidak sehat, bisa dengan cepat dihapus dari kehidupan Anda.

Pemicu-pemicu lain tidak bisa. "Anda tidak akan bisa membuang laptop Anda," kata Norberg, "Anda harus belajar, bagaimana cara menggunakan laptop tetapi tidak melakukan pembelian yang berlebihan?" Untuk itu, Norberg menyarankan menghadapi masalah dengan berani.

"Ini adalah tentang membuka laptop kita, pergi ke Amazon, melihat barang-barang yang kita inginkan, membiarkan diri kita merasakan ketidaknyamanan berbelanja kompulsif yang pernah dilakukan sebelumnya, dan duduk saja dengan laptop itu dan penuh perhatian."

Kemudian, temukan cara yang lebih sehat untuk mengisi kekosongan psikologis: Hubungi teman, pergi untuk lari, membaca buku, atau mempraktikkan hobi. Semua ini bisa meringankan masalah emosional yang memicu kecanduan belanja.

Ini adalah menemukan cara yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan Anda.

Kepustakaan
1. Cottier, Cody, Why Is Online Shopping So Addictive?, Discover, July/August 2021, hlm. 14-15.
2. Diary Johan Japardi.
3. Berbagai sumber daring.

Jonggol, 6 September 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun