Naluri seorang pengamat membuat saya tidak berhenti hanya sampai penayangan artikel tentang Lik Telek: Go International: Lik Telek dari Indonesia yang dengan jelas menunjukkan teknik mempermalukan (shaming technique) dengan memberi label orang dengan obesitas: "malas", orang dengan penyakit mental: "gila," dan karena kurangnya sanitasi (Lik Telek): "menjijikkan."
Ini zaman apa?
Kenapa orang-orang tertentu belum menyadari bahwa semua manusia itu memiliki hak azasi yang sama?
Kenapa mereka masih belum meninggalkan praktik-praktik kolonialisme di tengah belum terkikis sepenuhnya mentalitas taklukan (subservient mentality) segelintir orang yang bahkan tidak langsung mengalami praktik-praktik itu?
Mentalitas seperti ini bahkan meninggalkan bekas dalam transkripsi dialek Hokkien, yang belum diperbaharui sampai sekarang dan masih menggunakan sistem yang disesuaikan dengan telinga orang Inggris dan menimbulkan segudang kerancuan sekarang ini, lihat artikel saya: Kunci Transkripsi Dialek Hokkien Dipegang oleh... Bahasa Indonesia.
Penggalian informasi saya tentang Lik Telek (dari nama ini saja saya sudah merasa tidak nyaman) membawa saya ke proyek sanitasi di Jawa Timur di tengah semangat desentralisasi dan partisipasi dalam konteks pascareformasi, dan menemukan penggunaan teknik mempermalukan untuk mempromosikan sanitasi yang lebih baik dan untuk mengakhiri buang air besar sembarangan.
Program untuk mempromosikan sanitasi telah ada sejak zaman kolonial. Teknik menimbulkan rasa malu di kalangan masyarakat tentang buang air besar sembarangan pada 1999 berkembang dari pendekatan mobilisasi sosial ke pengembangan masyarakat yang diberi nama Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (Community-Led Total Sanitation/CLTS) yang dilakukan di Bangladesh oleh Kamal Kar, bekerja dengan LSM lokal dan internasional.
CLTS sekarang menjadi pendekatan yang luas dan umum digunakan dalam sanitasi pedesaan dan pinggiran kota dan dipromosikan sebagai cara untuk membantu pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goal/MDG) dalam bidang sanitasi, yang kemajuannya lambat.
Teknik ini awalnya dipromosikan oleh LSM dan beberapa pemerintah negara berkembang telah mengadopsinya, dan kemudian penyebarannya menjadi lebih cepat terutama karena dukungan dari donor utama, khususnya Bank Dunia.
CLTS adalah teknik kunci dalam komponen sanitasi dari Program Air dan Sanitasi (Water and Sanitation Programme/WSP) yang didanai oleh banyak donor dan dipimpin oleh Bank Dunia, yang beroperasi di 25 negara. Â
Di Indonesia, WSP telah memproduksi materi pemasaran sosialnya sendiri yang dibintangi oleh seorang tokoh bernama Lik Telek, yang secara kasar diterjemahkan sebagai "Paman Tahi."
Lik Telek seorang yang miskin, cacat fisik, kotor dan "menjijikkan" dan sangat mirip dengan karakter bernama Kromo dalam salah sebuah film yang diproduksi oleh program Rockefeller di Indonesia, meskipun keadaan Kromo tidak separah Lik Telek.
Nama Kromo adalah kata kolonial Melayu yang diadopsi dari bahasa Jawa dan bemakna "orang biasa" dan dia cacat tetapi tidak sekotor atau sehina dan secabul Lik Telek, yang dalam satu gambaran ditampilkan sebagai seorang tukang intip.
Film tentang Kromo dirancang lebih untuk mendapatkan "empati dan identifikasi dari penonton" ketimbang mendorong moral, meskipun film-film lain yang diproduksi oleh unit tersebut memang mengadopsi nada yang lebih bermoral, menyoroti kepercayaan yang mendasari tubuh orang Jawa yang sakit.
Salah seorang informan dari Susan Engel and Anggun Susilo pada wawancara tahun 2012 di Rejowinangun menceritakan bahwa dia telah diidentifikasi sebagai Lik Telek. Dia mengatakan "sangat memalukan" menjadi Lik Telek dan bahwa kepala desa dan staf pemerintah lainnya telah "mendorong" dia untuk membangun jamban dengan menggoda dia dan keluarganya karena mereka menggunakan selokan.
Dia mengatakan kepala desa dan stafnya mengolok-olok dia seperti ini: "Kamu punya istri yang cantik, kalau kamu tidak membuat jamban yang layak, kami mungkin akan mengintip istri Anda."
Olok-olokan itu tampaknya tidak mempertimbangkan keadaan rumah tangganya yang miskin pada saat itu, meskipun kepala desa memberinya sebuah toilet jongkok untuk jambannya.
Peter Harvey, Kepala Pendidikan Air, Sanitasi dan Kebersihan (Water, Sanitation and Hygiene Education/WASHE) untuk UNICEF, mengklaim bahwa meskipun faktor kejutan adalah bagian dari CLTS, proses pemicuan yang dilakukan oleh fasilitator eksternal tidak boleh mempermalukan atau menghina masyarakat dengan cara apa pun.
CLTS jelas merupakan proses yang sangat mengganggu yang melibatkan fasilitator dari luar desa yang memeriksa setiap rumah tangga dan mempermalukan individu dan rumah tangga yang sebagian besar miskin karena keadaan dan kebiasaan hidup lokal mereka.
Proses tersebut, sejak dimulai di Bangladesh, melibatkan komponen pemolisian dan hukuman.
Dalam proyek WSP dan Rockefeller, intervensi semacam itu terjadi di dalam wilayah desa yang tampaknya bebas dari perbedaan, tidak ada kelas, etnis, gender atau perbedaan usia.
Dengan demikian, kemungkinan bahwa proyek tersebut akan berdampak buruk pada kelompok tertentu tidak dipertimbangkan.
Memang, asumsi implisit WSP adalah bahwa proses CLTS partisipatif akan mempertemukan kepentingan-kepentingan yang terkadang bermusuhan.
Penelitian Susan Engel and Anggun Susilo menunjukkan bahwa terutama kaum miskinlah yang menjadi "target" intervensi ini dan bahwa mereka, pada dasarnya, dihukum karena kemiskinan dan praktik-praktik lokal mereka.
Penggunaan jamban yang berkelanjutan dimaksudkan untuk menjadi kekuatan WSP, seperti halnya program Rockefeller. Namun, bukti untuk ini tipis. Untuk WSP, terlepas dari klaim kemanjurannya, masih sangat terbatas data yang tersedia tentang hasil penggunaan jamban di seluruh dunia.
WSP melibatkan proses pemerintahan yang mengingatkan pada program pemerintah kolonial: praktik sanitasi yang tidak sesuai dengan standar Barat (yang baru ditemukan) dikutuk sebagai jorok dan terbelakang.
Akibatnya, program sanitasi itu tidak melibatkan praktik lokal dalam dimensi budaya, sosial, politik dan ekonominya. Apresiasi yang lebih baik terhadap sanitasi lokal yang sudah ada sebelumnya, serta faktor spasial, ekonomi, budaya dan psikologis yang terkait, lebih mungkin untuk menghasilkan sistem sanitasi lokal yang inklusif dan holistik yang tidak bergantung pada keberhasilannya dengan cara mempermalukan orang.
Di Indonesia, belum ada analisis mendalam tentang norma budaya dan sosial seputar sanitasi dan sangat sedikit tentang dimensi politik, spasial, dan ekonomi. Ini adalah aspek penting jika skema pembangunan partisipatif dalam sanitasi ingin bekerja dan bergerak melampaui pendekatan yang merendahkan dan mempermalukan.
Program CLTS/WSP menggabungkan ide-ide dari pemberdayaan akar rumput dan doktrin swadaya neoliberal. Namun, penggunaan teknik mempermalukan dan mengejek telah mendiskualifikasi program tersebut sebagai pendekatan pemberdayaan dan kemungkinan akan merusak keefektifannya dalam mempromosikan perubahan perilaku jangka panjang.
Bahkan jika mempermalukan terbukti efektif, moralitas menghukum orang miskin karena keadaan mereka membutuhkan pertimbangan yang lebih dalam, sebagaimana yang juga sudah ditulis oleh Alexandra Brewis dan Amber Wutich, dalam buku mereka yang berjudul LAZY, CRAZY, AND DISGUSTING: Stigma and the Undoing of Global Health (MALAS, GILA, DAN MENJIJIKKAN: Stigma dan Kehancuran Kesehatan Global) dan diterbitkan oleh Johns Hopkins University Press pada 2019, lihat artikel saya:
Go International: Lik Telek dari Indonesia.
Kepustakaan
1. Engel, Susan, and Susilon Anggun, Shaming and Sanitation in Indonesia: A Return to Colonial Public Health Practices?, Development and Change 45(1): 157--178.
2. Hamlin, Christopher, How Best to Foster Healthy Behaviors, American Scientist, Volume 109, March - April 2021, hlm. 120-122.
3. Diary Johan Japardi.
4. Berbagai sumber daring.
Jonggol, 6 September 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H