Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

WSP: Membantu Sekaligus Mempermalukan

6 September 2021   20:20 Diperbarui: 6 September 2021   23:37 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama Kromo adalah kata kolonial Melayu yang diadopsi dari bahasa Jawa dan bemakna "orang biasa" dan dia cacat tetapi tidak sekotor atau sehina dan secabul Lik Telek, yang dalam satu gambaran ditampilkan sebagai seorang tukang intip.

Film tentang Kromo dirancang lebih untuk mendapatkan "empati dan identifikasi dari penonton" ketimbang mendorong moral, meskipun film-film lain yang diproduksi oleh unit tersebut memang mengadopsi nada yang lebih bermoral, menyoroti kepercayaan yang mendasari tubuh orang Jawa yang sakit.

Salah seorang informan dari Susan Engel and Anggun Susilo pada wawancara tahun 2012 di Rejowinangun menceritakan bahwa dia telah diidentifikasi sebagai Lik Telek. Dia mengatakan "sangat memalukan" menjadi Lik Telek dan bahwa kepala desa dan staf pemerintah lainnya telah "mendorong" dia untuk membangun jamban dengan menggoda dia dan keluarganya karena mereka menggunakan selokan.

Dia mengatakan kepala desa dan stafnya mengolok-olok dia seperti ini: "Kamu punya istri yang cantik, kalau kamu tidak membuat jamban yang layak, kami mungkin akan mengintip istri Anda."

Olok-olokan itu tampaknya tidak mempertimbangkan keadaan rumah tangganya yang miskin pada saat itu, meskipun kepala desa memberinya sebuah toilet jongkok untuk jambannya.

Peter Harvey, Kepala Pendidikan Air, Sanitasi dan Kebersihan (Water, Sanitation and Hygiene Education/WASHE) untuk UNICEF, mengklaim bahwa meskipun faktor kejutan adalah bagian dari CLTS, proses pemicuan yang dilakukan oleh fasilitator eksternal tidak boleh mempermalukan atau menghina masyarakat dengan cara apa pun.

CLTS jelas merupakan proses yang sangat mengganggu yang melibatkan fasilitator dari luar desa yang memeriksa setiap rumah tangga dan mempermalukan individu dan rumah tangga yang sebagian besar miskin karena keadaan dan kebiasaan hidup lokal mereka.

Proses tersebut, sejak dimulai di Bangladesh, melibatkan komponen pemolisian dan hukuman.

Dalam proyek WSP dan Rockefeller, intervensi semacam itu terjadi di dalam wilayah desa yang tampaknya bebas dari perbedaan, tidak ada kelas, etnis, gender atau perbedaan usia.

Dengan demikian, kemungkinan bahwa proyek tersebut akan berdampak buruk pada kelompok tertentu tidak dipertimbangkan.

Memang, asumsi implisit WSP adalah bahwa proses CLTS partisipatif akan mempertemukan kepentingan-kepentingan yang terkadang bermusuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun