Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

WSP: Membantu Sekaligus Mempermalukan

6 September 2021   20:20 Diperbarui: 6 September 2021   23:37 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penelitian Susan Engel and Anggun Susilo menunjukkan bahwa terutama kaum miskinlah yang menjadi "target" intervensi ini dan bahwa mereka, pada dasarnya, dihukum karena kemiskinan dan praktik-praktik lokal mereka.

Penggunaan jamban yang berkelanjutan dimaksudkan untuk menjadi kekuatan WSP, seperti halnya program Rockefeller. Namun, bukti untuk ini tipis. Untuk WSP, terlepas dari klaim kemanjurannya, masih sangat terbatas data yang tersedia tentang hasil penggunaan jamban di seluruh dunia.

WSP melibatkan proses pemerintahan yang mengingatkan pada program pemerintah kolonial: praktik sanitasi yang tidak sesuai dengan standar Barat (yang baru ditemukan) dikutuk sebagai jorok dan terbelakang.

Akibatnya, program sanitasi itu tidak melibatkan praktik lokal dalam dimensi budaya, sosial, politik dan ekonominya. Apresiasi yang lebih baik terhadap sanitasi lokal yang sudah ada sebelumnya, serta faktor spasial, ekonomi, budaya dan psikologis yang terkait, lebih mungkin untuk menghasilkan sistem sanitasi lokal yang inklusif dan holistik yang tidak bergantung pada keberhasilannya dengan cara mempermalukan orang.

Di Indonesia, belum ada analisis mendalam tentang norma budaya dan sosial seputar sanitasi dan sangat sedikit tentang dimensi politik, spasial, dan ekonomi. Ini adalah aspek penting jika skema pembangunan partisipatif dalam sanitasi ingin bekerja dan bergerak melampaui pendekatan yang merendahkan dan mempermalukan.

Program CLTS/WSP menggabungkan ide-ide dari pemberdayaan akar rumput dan doktrin swadaya neoliberal. Namun, penggunaan teknik mempermalukan dan mengejek telah mendiskualifikasi program tersebut sebagai pendekatan pemberdayaan dan kemungkinan akan merusak keefektifannya dalam mempromosikan perubahan perilaku jangka panjang.

Bahkan jika mempermalukan terbukti efektif, moralitas menghukum orang miskin karena keadaan mereka membutuhkan pertimbangan yang lebih dalam, sebagaimana yang juga sudah ditulis oleh Alexandra Brewis dan Amber Wutich, dalam buku mereka yang berjudul LAZY, CRAZY, AND DISGUSTING: Stigma and the Undoing of Global Health (MALAS, GILA, DAN MENJIJIKKAN: Stigma dan Kehancuran Kesehatan Global) dan diterbitkan oleh Johns Hopkins University Press pada 2019, lihat artikel saya:
Go International: Lik Telek dari Indonesia.

Kepustakaan
1. Engel, Susan, and Susilon Anggun, Shaming and Sanitation in Indonesia: A Return to Colonial Public Health Practices?, Development and Change 45(1): 157--178.
2. Hamlin, Christopher, How Best to Foster Healthy Behaviors, American Scientist, Volume 109, March - April 2021, hlm. 120-122.
3. Diary Johan Japardi.
4. Berbagai sumber daring.

Jonggol, 6 September 2021

Johan Japardi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun