Beberapa tahun yang lalu, sebuah tim peneliti pertama kali mengisolasi antibodi CSP yang kuat dari seseorang yang menerima vaksin malaria eksperimental. Kajian sebelumnya yang telah menganalisis susunan genetik ribuan isolat P. falciparum menunjukkan bahwa 99,9% identik di wilayah CSP yang menjadi target antibodi ini.
Sifat wilayah CSP "yang sangat terjaga" berarti parasit membutuhkan CSP untuk bertahan hidup dan dengan demikian, para peneliti beralasan, CSP tidak bisa dengan mudah bermutasi dengan cara menghindari antibodi.
Tim yang dipimpin oleh ahli imunologi Robert Seder dari Pusat Penelitian Vaksin di Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular itu kemudian merekayasa sel ovarium hamster China untuk menghasilkan sebuah versi antibodi dalam jumlah besar yang dimodifikasi agar bertahan lebih lama di dalam tubuh.
Harapannya adalah antibodi akan memblokir sebuah langkah penentu dalam siklus hidup parasit yang kompleks, di mana sporozoit menginfeksi sel hati manusia. Di sana, parasit menjadi matang sebelum muncul untuk menghancurkan sel darah merah dan menyebabkan penyakit.
Dalam sebuah uji coba "tantangan," tim itu memberikan infus-infus antibodi kepada relawan dan kemudian membiarkan nyamuk pembawa P. falciparum untuk menghisap darah di lengan mereka.
Menurut laporan tim peneliti itu dalam Jurnal Kedokteran New England, tidak terdeteksi adanya parasit yang berkembang dalam darah, sedangkan 5 dari 6 orang dalam kelompok kontrol yang tidak diobati menunjukkan adanya parasit dalam darah mereka (Kelimanya segera menerima perawatan, dan tidak ada yang sakit.)
Kelompok tersebut tidak menantang 2 peserta yang dirawat selama 36 minggu karena pandemi menunda penelitian itu. Mereka juga terlindungi dan para peneliti itu mengisyaratkan bahwa infus antibodi monoklonal tunggal bisa melindungi masyarakat selama lebih dari 6 bulan.
Seder membayangkan bahwa para pelancong, orang-orang di militer, atau petugas kesehatan yang mengunjungi daerah malaria untuk waktu yang lama mungkin suatu hari akan menerima pengobatan tunggal dengan antibodi monoklonal sebelum meninggalkan rumah.Â
Ini akan jauh lebih sederhana daripada minum pil antimalaria setiap hari, yang seringkali memiliki efek samping yang signifikan dan juga bisa gagal melawan strain P. falciparum yang resistan.
Namun, pertama-tama, Seder mengatakan bahwa monoklonal perlu diuji di dunia nyata. "Orang-orang berkata kepada saya ketika saya mendapatkan hasil ini, "Apakah Anda sudah berhasil?" Saya berkata, "Tidak, namun saya sedang menuju ke keberhasilan. Saya baru bisa dikatakan berhasil ketika saya memiliki data penurunan angka kejadian malaria dari Afrika."
Sementara itu, pengembang vaksin bisa mendapatkan keuntungan. Sebuah vaksin malaria eksperimental yang disebut RTS,S, yang menggunakan bagian-bagian yang berbeda dari CSP untuk merangsang respons imun, memiliki keberhasilan sederhana dalam uji klinis awal. Empat dosis mengurangi tingkat infeksi pada anak-anak sebesar 50% setelah 1 tahun, tetapi turun menjadi 28% pada tahun ke-4.