Antibodi bisa mencegah tahap mirip spora dari parasit malaria ini dari menginfeksi sel-sel hati.
Antibodi monoklonal melindungi masyarakat dari infeksi malaria dalam uji coba "tantangan" kecil.
Suatu hari nanti, sebuah senjata baru yang kuat bisa digunakan dalam perang global melawan malaria. Obat-obatan dan kelambu sudah bisa membantu melindungi terhadap penyakit malaria, yang angka kejadiannya masih tinggi, setidaknya 200 juta orang per tahun dan angka kematiannya sekitar 400.000 orang per tahun.
Vaksin juga menawarkan beberapa janji, tetapi sebuah kajian tak lazim yang dilaporkan minggu lalu mendramatisasi potensi antibodi monoklonal, yang dibuat oleh sel-sel yang direkayasa secara genetik.
Sembilan relawan yang menerima antibodi itu sengaja dipaparkan terhadap nyamuk pembawa parasit penyebab malaria. Tak seorang pun yang terinfeksi, dan perlindungan oleh antibodi tampaknya bertahan selama lebih dari 6 bulan.
Uji coba ini terlalu kecil untuk mencapai kesimpulan tegas tentang efikasi perlindungan monoklonal, tetapi para peneliti lain mengatakan bahwa itu adalah bukti prinsip yang mencolok.
"Luar biasa," kata Dennis Burton, seorang ahli imunologi di Riset Scripps yang telah mengembangkan antibodi monoklonal untuk mencegah infeksi HIV, COVID-19, dan Zika, "Ini adalah sebuah kajian yang penting."
Biaya pembuatan antibodi monoklonal mahal, sehingga bisa jauh dari jangkauan banyak negara yang sedang berkembang, tetapi kajian tersebut juga menginformasikan upaya untuk meningkatkan vaksin-vaksin malaria.
Kajian itu menunjukkan pentingnya menargetkan respon-respons imun ke tahap mirip spora dari Plasmodium falciparum, protozoa yang bertanggung jawab atas sebagian besar kematian akibat penyakit malaria di seluruh dunia. Antibodi preventif berikatan dengan sebagian kecil dari protein Sirkumsporozoit (Circumsporozoite/CSP) yang melapisi permukaan sporozoit ini.
"Ini kajian pertama yang benar-benar menilai potensi sebuah antibodi terhadap target CSP pada manusia," kata Hedda Wardemann, seorang ahli imunologi di Pusat Penelitian Kanker Jerman.
Beberapa tahun yang lalu, sebuah tim peneliti pertama kali mengisolasi antibodi CSP yang kuat dari seseorang yang menerima vaksin malaria eksperimental. Kajian sebelumnya yang telah menganalisis susunan genetik ribuan isolat P. falciparum menunjukkan bahwa 99,9% identik di wilayah CSP yang menjadi target antibodi ini.
Sifat wilayah CSP "yang sangat terjaga" berarti parasit membutuhkan CSP untuk bertahan hidup dan dengan demikian, para peneliti beralasan, CSP tidak bisa dengan mudah bermutasi dengan cara menghindari antibodi.
Tim yang dipimpin oleh ahli imunologi Robert Seder dari Pusat Penelitian Vaksin di Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular itu kemudian merekayasa sel ovarium hamster China untuk menghasilkan sebuah versi antibodi dalam jumlah besar yang dimodifikasi agar bertahan lebih lama di dalam tubuh.
Harapannya adalah antibodi akan memblokir sebuah langkah penentu dalam siklus hidup parasit yang kompleks, di mana sporozoit menginfeksi sel hati manusia. Di sana, parasit menjadi matang sebelum muncul untuk menghancurkan sel darah merah dan menyebabkan penyakit.
Dalam sebuah uji coba "tantangan," tim itu memberikan infus-infus antibodi kepada relawan dan kemudian membiarkan nyamuk pembawa P. falciparum untuk menghisap darah di lengan mereka.
Menurut laporan tim peneliti itu dalam Jurnal Kedokteran New England, tidak terdeteksi adanya parasit yang berkembang dalam darah, sedangkan 5 dari 6 orang dalam kelompok kontrol yang tidak diobati menunjukkan adanya parasit dalam darah mereka (Kelimanya segera menerima perawatan, dan tidak ada yang sakit.)
Kelompok tersebut tidak menantang 2 peserta yang dirawat selama 36 minggu karena pandemi menunda penelitian itu. Mereka juga terlindungi dan para peneliti itu mengisyaratkan bahwa infus antibodi monoklonal tunggal bisa melindungi masyarakat selama lebih dari 6 bulan.
Seder membayangkan bahwa para pelancong, orang-orang di militer, atau petugas kesehatan yang mengunjungi daerah malaria untuk waktu yang lama mungkin suatu hari akan menerima pengobatan tunggal dengan antibodi monoklonal sebelum meninggalkan rumah.Â
Ini akan jauh lebih sederhana daripada minum pil antimalaria setiap hari, yang seringkali memiliki efek samping yang signifikan dan juga bisa gagal melawan strain P. falciparum yang resistan.
Namun, pertama-tama, Seder mengatakan bahwa monoklonal perlu diuji di dunia nyata. "Orang-orang berkata kepada saya ketika saya mendapatkan hasil ini, "Apakah Anda sudah berhasil?" Saya berkata, "Tidak, namun saya sedang menuju ke keberhasilan. Saya baru bisa dikatakan berhasil ketika saya memiliki data penurunan angka kejadian malaria dari Afrika."
Sementara itu, pengembang vaksin bisa mendapatkan keuntungan. Sebuah vaksin malaria eksperimental yang disebut RTS,S, yang menggunakan bagian-bagian yang berbeda dari CSP untuk merangsang respons imun, memiliki keberhasilan sederhana dalam uji klinis awal. Empat dosis mengurangi tingkat infeksi pada anak-anak sebesar 50% setelah 1 tahun, tetapi turun menjadi 28% pada tahun ke-4.
Walaupun RTS,S belum menerima persetujuan regulasi, 3 negara Afrika menjadi bagian dari program percontohan yang telah memberikan kesempatan untuk lebih dari 600.000 anak.Â
Wardemann mengatakan bahwa kajian di masa depan dengan monoklonal seperti yang digunakan oleh Seder bisa membantu para peneliti vaksin untuk mengidentifikasi bagian CSP yang merangsang bahkan secara lebih efektif, atau dengan respon imun yang lebih tahan lama.
Seder berharap monoklonal suatu hari nanti bisa melengkapi vaksin di daerah yang memiliki beban penyakit yang tinggi. Antibodi mungkin terbukti sangat membantu untuk anak-anak, karena mereka tidak punya waktu untuk mengembangkan banyak imunitas alami, dan untuk wanita hamil, yang berada pada peningkatan risiko penyakit parah dari infeksi P. falciparum.
Akan tetapi, W. Ripley Ballou, yang bekerja di Inisiatif Vaksin AIDS Internasional (International AIDS Vaccine Initiative) dan merintis pengembangan RTS,S, mencatat bahwa pembuatan monoklonal pada dosis yang digunakan dalam penelitian Seder akan menelan biaya lebih dari $100 untuk 1 orang dengan berat badan 50 kg, terlalu mahal untuk sebagian besar negara yang menderita malaria.
"Ini adalah bukti konsep yang bagus, tetapi belum siap sebagai sebuah intervensi," katanya. Seder setuju. Timnya sedang mengembangkan antibodi monoklonal yang lebih kuat, yang direncanakan akan diuji tahun depan dalam uji klinis di Mali, dan dia mengantisipasi peningkatan lebih lanjut.
"Misalkan antibodi saya lebih 90 persen efektif selama 6 bulan dengan satu suntikan subkutan," kata Seder. "Apakah itu sebuah sarana yang bisa digunakan oleh sebuah negara untuk mengeliminasi malaria?"
"Mungkin," kata Wardemann, "jika ditambah kelambu, obat-obatan, dan vaksin. Tidak ada tindakan tunggal yang berhasil sejauh ini, dan antibodi bisa paling membantu."
Kepustakaan
1. Cohen, Jon, Antibody Acts Like Short-term Malaria Vaccine, Science, Vol. 373, Issue 6558, 27 August 2021, hlm. 843.
2. Diary Johan Japardi.
3. Berbagai sumber daring.
Jonggol, 3 September 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H