Tapi apa yang para pembaca rasakan jika melihat:
Innovation practice (praktik inovasi) diterjemahkan menjadi: pembekalan pola pikir inovasi?
Bukankah "praktik" jelas berbeda dengan "pembekalan pola pikir"?
Ini jelas-jelas adalah sebuah kebohongan publik yang immoral. Bagaimana jadinya dunia literasi kita jika terjemahan bobrok seperti ini dijadikan acuan oleh orang lain untuk menulis juga? Kebohongan pun akan menyebar dengan cepat melalui jaringan digital, sebuah penyebaran yang jauh lebih mengerikan ketimbang dari mulut ke mulut.
Literasi dan Etika Digital
Sekali lagi, saya menghimbau para rekanda sekalian untuk berliterasi digital dengan menjunjung tinggi etika digital: Literasi dan Etika Digital: Yuk Mencantumkan Kepustakaan Secara Jujur dan Akurat, dan meneladani gagasan Ruang Berbagi: Menulis dan Saling Mendidik: Jalan Kebaikan Mengisi Kemerdekaan (bukan membohongi pembaca), karena sesungguhnya moralitas itu tidak bisa ditawar-tawar: Moralitas? Bisa Ditawar-tawar atau Tidak?
Mari lebih waspada dalam membaca sebuah tulisan yang bisa jadi dinilai berkualitas namun sarat dengan immoralitas.
Terkait pencantuman kepustakaan, untuk menghargai penulis asli yang gagasannya kita kutip, buatlah tautan yang lengkap dan jelas. Saya yakin kita juga tidak mau tulisan kita disalahgunakan oleh para pembohong dengan segala kecurangan mereka.
Kadang-kadang kita memang tidak bisa menghindari adanya tautan yang tidak bisa dibuka karena berbagai alasan (server yang sedang bermasalah, tulisan sudah dihapus dari server, dll), tapi teruslahtautan membuat tautan yang jelas. Ini mudah asal kita mau.
Kebiasaan saya selama menulis di Kompiasana adalah memblok teks yang akan dibuat tautannya, lalu klik Ctrl+U (garis bawah), Ctrl+K (menyisipkan tautan yang diketikkan atau ditempelkan setelah dipotong/paste after cut), dan Ctrl+V (buka di Tab baru).
Jonggol, 27 Agustus 2021
Johan Japardi