Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nilai Rasa dalam Kata Ganti untuk Benda, dan Etika Digital

27 Agustus 2021   11:38 Diperbarui: 27 Agustus 2021   11:57 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Etika digital. Sumber: https://www.avanade.com/en/blogs/inside-avanade/events-activities/digital-ethics-into-action

Penjamakan
Dalam bahasa Inggris, benda (mati) diperlakukan seperti makhluk hidup dalam hal kata ganti untuk bentuk jamaknya: they (mereka), sedangkan untuk kata benda tunggal digunakan it (ia atau dia).

Tampak bahwa  "they" tidak membedakan jender maupun makhluk hidup dengan benda, sedangkan kata ganti untuk kata benda tunggal bervariasi dalam he (dia laki-laki), she (dia perempuan), dan it (dia benda).

Bagi saya penggunaan "dia" untuk benda masih terasa agak janggal, sehingga saya membedakannya secara tertib dengan menggunakan "ia" atau kadang-kadang, walaupun kurang tepat, "itu."

Kejanggalan yang saya rasakan tidak terlepas dari pengaruh nilai rasa, saya merasa janggal menggunakan kata ganti "dia" untuk benda.

Pilihan lain adalah sama sekali tidak menggunakan kata ganti karena memang lebih logis, misalnya:
It doesn't feel morally right to lie in writing articles.
Rasanya (terasa) tidak benar secara moral berbohong dalam menulis artikel-artikel.

Yang harfiahnya sangat janggal:
Dia tidak terasa (merasa) benar secara moral berbohong dalam menulis artikel-artikel.

Sekarang, dalam bahasa Inggris, pembentukan kata benda jamak sangat mudah, karena tinggal menambahkan "s" atau lain-lain menurut kata dasarnya.

Contoh: "organs" dan "attackers"
New research indicates that body organs under stress may attract attackers from the immune system.

Dalam bahasa Indonesia, penjamakan dilakukan dengan menggunakan kata ulang: "organ-organ" dan "penyerang-penyerang":
Penelitian baru mengindikasikan bahwa organ-organ tubuh yang berada di bawah tekanan bisa menarik penyerang-penyerang dari sistem imun.

Lagi-lagi, walau sangat jarang dan sangat janggal, sebagian orang, dengan enteng menggunakan "para" untuk benda, agar tidak mengulang kata dasarnya:
Penelitian baru mengindikasikan bahwa para organ tubuh yang berada di bawah tekanan bisa menarik para penyerang dari sistem imun.

Atau malah mengubah bentuk jamak menjadi tunggal:
Penelitian baru mengindikasikan bahwa organ tubuh yang berada di bawah tekanan bisa menarik penyerang dari sistem imun.

Ini lebih lazim dilakukan, utamanya dalam kalimat judul, walaupun jadinya kita tidak melihat lagi kejamakan yang jelas-jelas digunakan dalam bahasa Inggris.

Bagaimana Saya Menghindari Penggunaan "Mereka" untuk Benda (Jamak)
Untuk bentuk jamak dari benda, they (mereka), sebagian orang mengikuti begitu saja kaidah bahasa Inggris, walaupun saya yakin bahwa dalam pikiran mereka, orang-orang tersebut merasakan kejanggalan, sesedikit apa pun itu.

Kalimat di bawah ini mengandung kata "they" untuk benda:
This means that once the immune cells are sensitized, they have an easy job to get to the targets.
Ini berarti bahwa begitu sel-sel imun disensitisasi, mereka memiliki sebuah pekerjaan yang mudah untuk (dalam) mencapai target-target.

Saya ganti menjadi:
Ini berarti bahwa begitu disensitisasi, sel-sel imun memiliki sebuah pekerjaan yang mudah untuk (dalam) mencapai target-target.

Sesekali, karena merasa janggal menggunakan "mereka" untuk benda, saya menggantinya dengan "nya" (tunggal, padanan "its"), walaupun ini hanya sedikit mengurangi kejanggalan:
Many critical immune cells, including T cells and macrophages, feature receptors for progesterone on their surface.
Banyak sel imun kritis, termasuk sel-sel T dan makrofag-makrofag, menonjolkan reseptor-reseptor untuk progesteron pada permukaannya.

Saya selalu mengatakan bahwa setiap bahasa memiliki keunikan tersendiri, dan penerjemahan yang kita lakukan tidak selalu bisa merupakan penerjemahan makna 100 persen, namun ini tidak bisa dijadikan alasan bahwa sebuah bahasa lebih unggul dari bahasa lainnya, lihat keunikan bahasa Indonesia dalam artikel saya: Lost in Translation: Keunikan Bahasa Indonesia.

Yang paling penting adalah, penerjemahan dilakukan secara jujur, dengan deviasi sekecil mungkin yang bisa kita lakukan, bukan malah dengan sesuka hati memperbesar deviasi (berbohong).

Dengan kecerdasan orang Indonesia, tidak masalah juga jika kita mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing, misalnya: reskilling, ketimbang kita menggunakan "pelatihan ulang," "pelatihan kembali," atau, lebih tepat lagi "penerampilan ulang" atau "penerampilan kembali," lihat artikel saya: Koreksi dan Keterangan Tambahan atas "Mengais-ngais China di Sunda",
sebuah bab dari buku karya pak Alif Danya Munsyi, 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing.

Yang saya sangat tentang adalah penerjemahan asal-asalan yang bahkan menjadi sebuah kebohongan atau malah penipuan, mungkin agar berbeda dari penerjemahan orang lain, tidak benar-benar menguasai bahasa Inggris, atau untuk keren-kerenan. Saya tidak tahu karena saya bukan tipe orang seperti itu.

Pembohongan
Saya berikan contoh pembohongan seperti itu:
Leadership support (dukungan kepemimpinan atau pemimpin) dibalik menjadi kepemimpinan yang mendukung (masih bisa ditoleransi).

Tapi apa yang para pembaca rasakan jika melihat:
Innovation practice (praktik inovasi) diterjemahkan menjadi: pembekalan pola pikir inovasi?

Bukankah "praktik" jelas berbeda dengan "pembekalan pola pikir"?

Ini jelas-jelas adalah sebuah kebohongan publik yang immoral. Bagaimana jadinya dunia literasi kita jika terjemahan bobrok seperti ini dijadikan acuan oleh orang lain untuk menulis juga? Kebohongan pun akan menyebar dengan cepat melalui jaringan digital, sebuah penyebaran yang jauh lebih mengerikan ketimbang dari mulut ke mulut.

Literasi dan Etika Digital

Sekali lagi, saya menghimbau para rekanda sekalian untuk berliterasi digital dengan menjunjung tinggi etika digital: Literasi dan Etika Digital: Yuk Mencantumkan Kepustakaan Secara Jujur dan Akurat, dan meneladani gagasan Ruang Berbagi: Menulis dan Saling Mendidik: Jalan Kebaikan Mengisi Kemerdekaan (bukan membohongi pembaca), karena sesungguhnya moralitas itu tidak bisa ditawar-tawar: Moralitas? Bisa Ditawar-tawar atau Tidak?

Mari lebih waspada dalam membaca sebuah tulisan yang bisa jadi dinilai berkualitas namun sarat dengan immoralitas.

Terkait pencantuman kepustakaan, untuk menghargai penulis asli yang gagasannya kita kutip, buatlah tautan yang lengkap dan jelas. Saya yakin kita juga tidak mau tulisan kita disalahgunakan oleh para pembohong dengan segala kecurangan mereka.

Kadang-kadang kita memang tidak bisa menghindari adanya tautan yang tidak bisa dibuka karena berbagai alasan (server yang sedang bermasalah, tulisan sudah dihapus dari server, dll), tapi teruslahtautan membuat tautan yang jelas. Ini mudah asal kita mau.

Kebiasaan saya selama menulis di Kompiasana adalah memblok teks yang akan dibuat tautannya, lalu klik Ctrl+U (garis bawah), Ctrl+K (menyisipkan tautan yang diketikkan atau ditempelkan setelah dipotong/paste after cut), dan Ctrl+V (buka di Tab baru).

Jonggol, 27 Agustus 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun