Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenyataankah yang Kita Lihat di Depan Mata?

23 Agustus 2021   07:46 Diperbarui: 23 Agustus 2021   07:50 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gagasan bahwa persepsi kita sesuai dengan kenyataan adalah intuitif, tetapi mungkin membutakan kita akan kebenaran yang lebih dalam, kata psikolog kognitif Donald Hoffman.

Selama berabad-abad, kita telah membuat kemajuan yang menakjubkan dengan menganggap bahwa segala sesuatu adalah kenyataan, tetapi benarkah demikian?

Mata manusia adalah sebuah organ yang mendeteksi cahaya dan mengirimkan sinyal di sepanjang saraf optik ke otak. Sebagai salah satu organ tubuh yang paling kompleks, mata terdiri dari beberapa bagian, dan masing-masing bagian berkontribusi pada kemampuan untuk melihat.

Terkait Fisika Optik, saya telah menguraikan dalam beberapa artikel tentang begitu banyaknya faktor yang mempengaruhi penglihatan kita, antara lain refleksi, refraksi, difraksi, indeks bias, sifat cahaya sebagai partikel sekaligus gelombang, dan pada akhirnya semua yang kita lihat adalah merupakan persepsi akan spektra elektromagnetik dari berbagai panjang gelombang.

Mata kita sendiri memiliki kelemahan tertentu sehingga persepsinya akan kenyataan bisa berbeda menurut titik acuan. Contoh paling jelas yang pernah beberapa kali saya sampaikan dalam artikel-artikel sebelumnya adalah seseorang yang melemparkan sebuah batu dari atas sebuah kereta api yang sedang bergerak akan melihat batu itu bergerak lurus, sedangkan pengamat di tanah yang diam relatif terhadap gerak kereta api itu melihatnya sebagai sebuah gerak melingkar.

Dalam persepsi visual, ilusi optik atau ilusi visual adalah ilusi yang disebabkan oleh sistem visual dan ditandai dengan persepsi visual yang bisa berbeda dari kenyataan.

Ada berbagai jenis ilusi, kategorisasinya sulit karena penyebab yang mendasarinya sering tidak jelas, namun klasifikasi yang diusulkan oleh Richard Gregory bisa digunakan sebagai orientasi.

Menurut Gregory, ada tiga kategori utama ilusi, yaitu ilusi fisik, ilusi fisiologis, dan ilusi kognitif, dan dalam setiap kategori ini terdapat 4 subkategori, yaitu ambiguitas, distorsi, paradoks, dan fiksi.

Contoh klasik untuk distorsi fisik adalah pembengkokan sebatang tongkat yang dicelupkan ke dalam air, untuk paradoks fisiologis sebuah efek lanjutan gerak (di mana, walaupun ada gerak, posisi tetap tidak berubah), untuk fiksi fisiologis adalah afterimage, dan 3 distorsi kognitif yang khas adalah ilusi Ponzo, Poggendorff, dan Mueller-Lyer.

Ilusi fisik disebabkan oleh lingkungan fisik, misalnya oleh sifat optik air. Ilusi fisiologis muncul di mata atau jalur visual, misalnya dari efek stimulasi berlebihan dari jenis reseptor tertentu. Ilusi visual kognitif adalah hasil dari kesimpulan bawah sadar dan mungkin yang paling dikenal luas.

Pengalaman seseorang yang mengalami migrain tentu saja nyata bagi dia, dan itulah persepsi dia akan sesuatu yang jauh lebih kompleks.

Pengalaman visual seseorang tentang sebuah jambu air merah muda akan memudar menjadi pengalaman abu-abu ketika dia menutup kedua belah matanya.

Apa hubungan antara dunia di luar sana dengan pengalaman internal kita? antara kenyataan objektif dan subjektif?

Jika kita sedang dalam keadaan sadar dan tidak mencurigai sebuah lelucon, kita cenderung percaya bahwa ketika kita melihat sebuah jambu air, jambu air itu asli dan bentuk dan warnanya sesuai dengan pengalaman kita sebelumnya, dan bentuk dan warna itu akan terus ada ketika kita memalingkan muka.

Asumsi ini merupakan inti dari cara kita berpikir tentang diri kita sendiri dan dunia. Tapi apakah itu sahih? Telah banyak dilakukan eksperimen untuk menguji bentuk sensorik persepsi bahwa evolusi telah memberi kita kesimpulan yang mengejutkan: tidak sahih.

Itu mengarah ke kesimpulan yang terdengar aneh, bahwa kita semua mungkin dicengkeram oleh sebuah delusi kolektif tentang alam dunia materi kita.

Jika benar, itu bisa berdampak luas terhadap sains, mulai dari bagaimana kesadaran muncul, hingga sifat dari keanehan kuantum yang membentuk "teori segala sesuatu" ("theory of everything") di masa depan. Kenyataan mungkin tidak akan pernah tampak sama lagi.

Sebenarnya, gagasan bahwa apa yang kita persepsikan mungkin berbeda dari kenyataan  objektif sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu.

Filsuf Yunani kuno Plato mengusulkan bahwa kita seperti para tahanan yang dibelenggu dalam gua yang diterangi api. Kenyataan terjadi tanpa terlihat karena berada di belakang kita, dan kita hanya melihat bayangan kelap-kelip yang diproyeksikan ke dinding gua.

Sains modern sebagian besar mengabaikan spekulasi semacam itu. Selama berabad-abad, kita telah membuat kemajuan yang menakjubkan dengan mengasumsikan bahwa benda-benda fisik, dan ruang dan waktu di mana benda-benda itu bergerak, secara objektif merupakan sebuah kenyataan.

Asumsi itulah yang mendasari teori-teori saintifik mulai dari mekanika Newton, relativitas Einstein, hingga teori Darwin tentang evolusi melalui seleksi alam.

Mungkin kita berpikir bahwa seleksi alam memberikan alasan sederhana mengapa indera kita harus benar tentang kenyataan objektif.

Para pendahulu kita yang melihat dengan lebih akurat lebih berhasil dalam melakukan tugas-tugas penting yang diperlukan untuk bertahan hidup, seperti memberi makan, berkelahi, melarikan diri, dan kawin.

Mereka lebih cenderung mewariskan gen-gen mereka, yang dikodifikasi bagi persepsi yang lebih akurat.

Evolusi secara alami akan memilih indera yang memberi kita yang lebih benar pandangan dunia. Seperti yang dikatakan oleh ahli teori evolusi Robert Trivers: "Organ indera kita telah ber-evolusi untuk memberi kita pandangan yang luar biasa rinci dan akurat tentang dunia luar."

Kebenaran pernyataan Trivers bisa diuji dengan ketelitian matematika, dengan menggunakan alat-alat teori permainan evolusioner yang diperkenalkan pada 1970-an oleh John Maynard Smith. Dalam teori Smith, strategi yang berbeda untuk mengatasi dunia alami bisa diatur satu sama lain dalam simulasi untuk melihat pendekatan mana yang lebih cocok, dalam artian menghasilkan lebih banyak keturunan.

Dalam hal persepsi, kita bisa mempelajari bagaimana strategi "kebenaran," yang melihat kenyataan objektif sebagaimana adanya, bertentangan dengan strategi "pelunasan," yang hanya melihat nilai kelangsungan hidup.

Kita ambil Oksigen sebagai contoh. Oksigen yang terlalu banyak atau terlalu sedikit di udara akan membunuh kita, selisih kadar Oksigen yang sempitlah yang membuat kita tetap hidup.

Jonggol, 23 Agustus 2021

Johan Japardi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun