Dari Catatan Harian, 19 September 2019
Sebuah Hasil Penelitian
Siapa di antara kita semua yang bisa (tepatnya: mau) menguraikan secara rinci artwork pada selembar uang kertas, katakanlah Rp. 100.000, selain hanya mengidentikasi adanya gambar bung Karno-bung Hatta? Kita tidak pernah mempedulikan artwork rinci itu, karena yang penting kita tahu persis nilai nominal dari uang kertas tertentu yang bisa kita manfaatkan untuk membeli apa saja. Tak mungkin tidak ada yang mengoreksi atau mengingatkan (entah itu oleh pembeli maupun penjual) jika uang kertas yang kita gunakan menyandang nilai nominal yang berlebih, apalagi jika kurang!
Hal yang sama terjadi pada kamus.
Bahasa Indonesia memiliki kelebihan berupa transkripsi fonetik yang relatif lebih sederhana. Transkripsi fonetik saya analogikan dengan artwork uang kertas dan dengan demikian kita bisa menyebutnya artwork kata dalam kamus. Mengapa demikian?
Agar kita tidak panjang lebar, kita ambil contoh vokal saja: a i u e o. Dalam bahasa Indonesia kita membaca kelima vokal ini secara konsisten, tak pernah berubah walau vokalnya berada di mana pun (di sini saya juga tidak melebarkan pembahasan ke vokal yang dibagi lagi menjadi vokal pepet dan taling dari "e").
Tapi coba kita lihat satu vokal saja dalam bahasa Inggris (kita tidak usah menggunakan simbol fonetik untuk membahasnya): "a."
Pembelajaran bunyi vokal ini dimulai dari alfabet: a dibaca ei.
Sekarang, coba perhatikan bunyi "a" dalam: man, main, master, mall.
Bunyi pengucapannya berbeda bukan?
Nah, sekarang kita lihat bagaimana transkripsi fonetik, satu kata saja dalam Kamus Merriam-Webster, phonetic.
Contoh kode Morse:
a: .-
SOS: ...---...
Siapa pun yang mempelajari kode Morse akan menghabiskan banyak waktu untuk menguasainya, padahal kita bisa menggunakan cara yang jauh lebih mudah dan jauh lebih cepat.
Metode penemuan saya, Metode Sim-ak (Simplifikasi-akselerasi) Johan Japardi dengan Aplikasi Pembelajaran Apa Saja bisa kita gunakan (bocoran nih). Caranya? Ganti dengan angka, cuma 1 dan 3 saja kok. Kenapa? Karena - (dah) panjangnya 3 kali . (dit)
Jadi:
a: 13
SOS: 111 333 111 (tripel 1 tripel 3 tripel 1)
Saya pastikan akan lebih mudah masuk ke dalam otak!
Sampai di sini saya mengharapkan bahwa penjelasan saya cukup jelas.
Sekarang kita bahas dialek Hokkien. Agak rumit, tapi saya usahakan untuk membuatnya sesederhana mungkin.
Di China, orang Hokkien digolongkan ke dalam bagian suku Han, provinsi asal mereka adalah Fujian. Bahasa Nasional China adalah Mandarin. Fujian adalah istilah Mandarin dan dalam dialek Hokkien sendiri dibaca: Hokkien.
Dari segi bahasa, Hokkien menjadi salah sebuah dialek dari Mandarin, dalam bahasa Mandarin dialek ini disebut Minnan, dialek Hokkien untuk Minnan adalah Hokkien.
Di tengah kerumitan peristilahan ini, saya buat penyederhanaan dalam differensiasi:
Negara: China
Bangsa: China
Bahasa: Mandarin
Suku: Hokkien
Dialek: Hokkien
Menyatukan Semuanya
Beberapa tempat bermukim orang-orang yang menggunakan dialek Hokkien adalah:
1. Provinsi Fujian, China
2. Taiwan
3. Singapura
4. Malaysia
5. Indonesia
Sudah saya bahas di artikel-artikel lain, kebanyakan kata Indonesia yang diserap dari China bukan dari bahasa Mandarin, tapi dialek Hokkien.
Pada zaman kolonial, untuk memenuhi sarana komunikasi tuan-tuan penjajah dengan orang-orang berdialek Hokkien, mereka tentu membutuhkan semacam pembakuan demi kepentingan pihak mereka, sehingga pembakuan transkripsi fonetik asal-asalan dan seadanya pun dilakukan, dan berbeda-beda di tempat yang berbeda.
Intinya, sampai saat ini belum ada transkipsi fonetik baku dan serius dan seragam (untuk semua negara pengguna) dari dialek Hokkien, karena memang belum ada yang membakukannya (ini butuh kerja sama beberapa negara).
Jadi ini tidak seperti bahasa Mandarin yang memiliki transkripsi yang baku dan baru (walau tetap memiliki kelemahan), yakni pinyin, yang diciptakan pada 1958 oleh Zhou Yougang. Yang jelas pinyin jauh lebih sederhana dan mudah ketimbang, sistem lama, Wade-Giles misalnya, yang juga dibuat untuk memenuhi kebutuhan tuan-tuan yang saya sebutkan di atas (ada teman saya yang menjuluki mereka sang Drakula Pengisap Darah).
Ya, itu sebenarnya tidak relevan lagi karena mereka sudah pada hengkang semua dari negeri-negeri jajahan mereka, namun mereka meninggalkan sebuah pekerjaan besar (transkripsi fonetik dialek Hokkien itu) dan sampai sekarang belum dituntaskan sama sekali.
Kenapa saya sibuk mengurus masalah ini? Karena saya punya latar belakang Hokkien, eyang buyut saya adalah diaspora China yang merantau dari provinsi Fujian ke Indonesia, jadi wajar kalau ini menjadi keprihatinan saya.
Transkripsi yang ada dibuat oleh beberapa negara ketika masih dijajah oleh Inggris dan disesuaikan dengan lidah, sekali lagi, tuan-tuan penjajah itu dalam mengucapkan kata-kata berdialek Hokkien. Salah satunya disebut Pe̍h-ōe-jī (pusing kan membaca yang satu ini?) hasil "pembakuan" di Taiwan yang menurut saya juga sudah waktunya dirombak total!
Sekarang, berdekade-dekade setelah para perampok* itu angkat kaki dari negara-negara ini, transkripsi fonetik Hokkien masih belum juga diperbaharui. Keadaan ini bahkan tambah carut marut ketika ada orang yang mencampuradukkan transkripsi yang sudah ketinggalan zaman itu dengan pinyin! Waduh!
*Memang inilah istilah yang dipakai oleh kalangan tertentu untuk orang Inggris, sekaligus (anehnya) berterima kasih kepada mereka. Supaya jelas, ini bunyi kalimatnya (terjemahan bebas):
Para peneliti sejarah harus berterima kasih kepada perampok terbesar sepanjang sejarah dunia, yaitu bangsa Inggris. Mengapa demikian? Karena peninggalan-peninggalan sejarah dari seluruh dunia tersedia berlimpah ruah di...... British Museum.
Ini hanya puncak dari satu dari banyak gunung es yang bisa diakses secara daring. Becik ketitik ala ketara.
Bayangkan betapa kasihannyalah generasi muda pengguna dialek Hokkien yang harus menghafal cara membaca (apa lagi menulis) kata-kata Hokkien, belum lagi transkripsinya seperti Pe̍h-ōe-jī tadi.
Hasil campur aduk tak karu-karuan itu terlihat pada kata-kata Hokkien seperti: char kuey teow (kuetiau tumis/goreng), lor hor (turun hujan), kay poh (usil), jin swee (cantik sekali), zuay ghun (belakangan ini), gum siah (terimakasih), yang dengan semudah membalikkan telapak tangan ditranskripsikan hanya dengan cara baca bahasa Indonesia menjadi chakutiau, louk'ho, kpou (disingkat menjadi kepo dan sudah menjadi sebuah entri dalam KBBI), cin sui, cuikin, kamsia. (Saya ambil dari berbagai sumber daring, cukup beberapa kata sajalah, terlalu banyak malah bikin lebih pusing lebih banyak orang).
Lantas, apa kaitan dengan bahasa Indonesia? Sama seperti aplikasi baru penggunaan istilah apoteker (lihat artikel saya: Apoteker (Bilingual)), ketimbang bahasa Inggris, bahasa Indonesia (entah kapan pun itu) jauh lebih bisa membantu membakukan transkripsi dialek Hokkien (dan kita, pengguna bahasa Indonesia, jadi konsultannya), karena, kembali ke judul, Kunci Transkripsi Dialek Hokkien Dipegang oleh... Bahasa Indonesia.
Penutup
Artikel ini adalah sebuah pembahasan ilmiah dan tidak mengandung aspek selain bahasa.
Keadaan terkini dialek Hokkien menimbulkan pertanyaan di benak saya, mengapa mentalitas subservient masih saja melekat pada orang-orang (Hokkien khususnya) yang leluhurnya dijajah?
Jonggol, 13 April 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H