Suara lesung beradu dengan alu membuatku terbangun. Pagi-pagi sekali ibu menumbuk gaplek karena romo menghendaki sarapan tiwul. Hari ini aku baru menyadari sarapan tiwul itu menjadi saat terakhirku melihat romo sekaligus merubah cara pandang seumur hidupku tentang romo.
Langit masih gelap dan udara begitu dingin. Aku tak mungkin kembali tidur dengan suara lesung itu. Lebih baik aku ke dapur membantu ibu sebisaku atau setidaknya menemaninya di depan tungku. Seandainya saja saat itu kami punya jam dinding aku bisa menceritakan jam berapa aku terbangun.
Ibu tersenyum ke arahku saat aku memasuki pintu dapur. "Maaf ibu jadi membangunkanmu nak," katanya ketika aku menghampiri dan memeluknya. "Kamu kedinginan?" Lanjutnya. Aku mengangguk pelan. Ibu bangkit, merundukkan punggungnya agar tangan kanannya bisa memeluk pundakku, membimbingku ke depan tungku. Tangan kirinya ia gunakan untuk membawa lampu senthir.
"Tolong ambilkan kayu bakar, nanti ibu bantu menyalakan supaya kamu lebih hangat dan dapur ini menjadi sedikit lebih terang," pintanya. Kuambil seikat kayu bakar, dua potong bambu kering serta segenggam ranting kering.
"Buk, tidak ada daun kering atau kulit kayu," kataku sambil duduk di dingklik depan tungku. Kami biasa menggunakan daun kering atau kulit kayu untuk mengawali nyala api pada kayu bakar di dalam tungku.
"Tidak apa-apa nak, kita pakai kertas ini," jawab ibu sambil sambil berdiri lalu merogoh setagen, mengeluarkan kertas, membuka lipatannya hingga terlihat lembaran utuh kertas putih bertulisan warna hitam. Masih jelas dalam ingatanku, ibu tertegun beberapa saat menatapi kertas itu sebelum akhirnya menjadikannya sebuah gulungan.
Dengan senthir di samping tungku ibu membakar ujung gulungan kertas itu. Ada senyum kecil di bibirnya saat api mulai menyala di ujung gulungan. Api dari kertas menyalakan ranting-ranting kering.
* * * *
Kuhentikan sarapan tiwul di dapur saat aku mendengar suara piring jatuh di teras rumah. Aku sangat ingin tahu dari mana asal suara itu dan mengapa suara itu bisa ada.
"Masuk!" Romo membentakku saat aku sampai di teras. Sekilas aku melihat ibu tertunduk sangat dalam sehingga seperti membungkuk. Ada pecahan piring terserak di lantai tepat di antara kursi romo dan ibu.
Aku kembali masuk, sembunyi di balik pintu. Kudengar ibu berkata sangat lirih kepada romo. Begitu lirih sehingga kata-katanya tak kumengerti. Sementara romo membalas dengan membentak disertai omelan panjang. Aku sama sekali tidak mengerti arti kata-kata dalam bentakan dan omelan romo.
Plak...plak...dan ibu menangis lirih. Bagiku selirih apapun tangis ibu terdengar terlalu keras di telingaku. Karena itu bertentangan dengan akalku saat itu; ibu selalu memintaku untuk tidak menangis sebab ia akan selalu ada di dekatku. Jadi kenapa sekarang malah ibu menangis?
Aku nekat menghampiri ibu. Ingin mengatakan hal sama kepadanya; "jangan menangis ibu, aku selalu ada di dekatmu." Romo menghentikan gerakan tangan kanannya saat aku keluar dari balik pintu.
"Kembali ke dalam!" Bentak romo sambil menuding ke arahku. Itu membuatku sangat ketakutan. Aku kembali ke balik pintu.
Dari celah sempit balik pintu aku mengintip ingin tahu. Kulihat tinju tangan kanan romo mengenai dagu ibu dan membuat kepalanya tersentak ke belakang membentur sandaran kursi, ikatan rambutnya terurai.
Seketika aku jongkok, kepalaku menunduk, kurasakan pipiku basah. Saat itu aku berkhayal seandainya saja badanku sudah sebesar romo,aku pasti sudah meloncat ke arah romo, menyekapnya dari belakang, mengunci kedua tangannya, lalu mematahkan lehernya.
Khayalanku pupus dan aku terus jongkok, menunduk. Kedua tanganku menutup telinga. Saat itu aku benar-benar tidak ingin mendengarkan suara apa pun. Ada suara lirih dari dalam kepalaku. Ya, itu suara ibu melantunkan Kidung Rumeksa Ing Wengi. Ibu selalu melantunkan tembang itu untukku setiap kali aku menangis atau menjelang tidur.
Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
-----------------------
Ada lagu menjaga (kita) di malam hari
(agar) Kuat, selamat dan terhindar dari penyakit
Semoga semua terhindar dari malapetaka
Jin dan setan tidak mau mengganggu
Sihir dan santet tidak akan berani
Aku sudah berada di amben ketika terbangun. Ibu duduk di sampingku, matanya berkaca-kaca, dagunya memerah dan bengkak bekas kena tinju.
"Tidur lagi saja, nak. Ini saatnya kamu tidur siang," katanya sambil membelai dahiku lalu menembang untukku. Ana kidung rumekso ing wengi ........
Setelah itu aku tidak pernah bertemu romo. Aku juga tidak pernah merindukannya. Mungkin aku terlalu takut. Atau aku terlalu membencinya karena telah meninju dan membuat ibu menangis. Menanyakan tentang romo kepada ibu pun aku tidak mau. Buat apa? Romo tidak pernah menembang untukku. Romo tidak selalu ada saat aku menangis karena terjatuh atau dicurangi temanku. Romo tidak pernah memetik sayur, menumbuk gaplek, menjemur atau menumbuk gabah menjadi beras untuk kumakan. Ibu bisa melakukan semuanya itu untukku. Jadi bagiku sudah cukup ibu saja. Tidak perlu ada romo, karena romo hanya bisa membuatku sembunyi ketakutan.
* * * *
Kini ibu sudah sepuh. Punggungnya bongkok dan langkah kakinya diseret. Aku harus membungkuk supaya bisa memeluk pundaknya dengan tangan kananku dan membimbingnya menuju tungku. Aku dan ibu masih suka duduk di depan tungku saat aku pulang liburan. Tidak ada liburan lebih menyenangkan selain menyaksikan keahlian ibu menyalakan kayu bakar dan duduk bersamanya di depan tungku.
Kami biasa membicarakan apa saja ketika di depan tungku. Soal pekerjaanku, teman-temanku, rencana-rencanaku, dan paling seru adalah membicarakan hubunganku dengan calon istriku. Ibu selalu memberiku nasehat rahasia bagaimana cara mencintai dan membuat calon istriku tergila-gila padaku.
Kali ini kami membicarakan rencana pernikahanku. Kungkapkan betapa aku sudah sangat tidak sabar ingin segera menikah. Kuminta pada ibu bersedia kuajak melamar calon isteriku, secepatnya.
"Apa kamu benar-benar nekat?" Tanya ibu. Pertanyaan ini kedengarannya aneh buatku. Bukan kadar cinta yang ditanyakan tetapi kenekatan. Karena menurutnya pernikahan tidak hanya butuh cinta tetapi juga langkah nekat untuk mewujudkan cinta itu ada, mewujud, nyata. "Kalau sudah nekat, kamu tidak boleh mundur. Sebab ibu tidak pernah mengajarimu mundur dari semua keputusan, apapun itu. Dulu romomu nekat melamar ibu begitu juga ibu nekat menerima lamaran romo. Romomu mundur dari pernikahan saat kamu umur lima tahun, nak. Tetapi ibu sama sekali tidak mau mundur. Surat cerai dari romomu, ibu bakar agar surat itu tidak pernah ada. Jadi selama ibu masih hidup ibu ini tetap istri sah romomu."
"Dia marah dan memukul ibu karena ibu membakar surat itu?" Tanyaku
"Iya nak. Dan saat itu ibu menangis bukan karena romo akan meninggalkan kita atau karena tinjunya mengenai dagu ibu. Tetapi menangis sedih karena tahu kamu mengintip menyaksikan kejadian itu. Ibu takut sekali itu menjadi bibit dendam dalam dirimu."
"Tidak ibu. Aku tidak dendam. Setelah kejadian itu aku hanya ingin romo tidak mengganggu ibu lagi.".
Sigit Purwanto
--------------------------------
Lesung:Landasan kayu berlubang untuk menumbuk
Romo:bapak
Alu:Kayu pemukul saat menumbuk
Senthir:Lampu minyak tanah dari kaleng bekas
Dingklik:Tempat duduk kecil dan pendek terbuat dari kayu
Amben:Tempat tidur terbuat dari bambu
Tiwul:Pengganti nasi terbuat dari tepung gaplek (singkong kering)
Sepuh:Tua/renta
Kidung Rumekso Ing Wengi;
Tembang Macapat berjenis Dhandhanggula warisan Sunan Kalijaga. Lengkapnya terdiri dari lima bait. Memiliki arti secara keseluruhan sebagai "Perlindungan di Malam Hari". Lantunan nada Dhandanggula membuai pikiran anak-anak serta syairnya bermakna doa bagi keselamatan bersama umat manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H