Kami biasa membicarakan apa saja ketika di depan tungku. Soal pekerjaanku, teman-temanku, rencana-rencanaku, dan paling seru adalah membicarakan hubunganku dengan calon istriku. Ibu selalu memberiku nasehat rahasia bagaimana cara mencintai dan membuat calon istriku tergila-gila padaku.
Kali ini kami membicarakan rencana pernikahanku. Kungkapkan betapa aku sudah sangat tidak sabar ingin segera menikah. Kuminta pada ibu bersedia kuajak melamar calon isteriku, secepatnya.
"Apa kamu benar-benar nekat?" Tanya ibu. Pertanyaan ini kedengarannya aneh buatku. Bukan kadar cinta yang ditanyakan tetapi kenekatan. Karena menurutnya pernikahan tidak hanya butuh cinta tetapi juga langkah nekat untuk mewujudkan cinta itu ada, mewujud, nyata. "Kalau sudah nekat, kamu tidak boleh mundur. Sebab ibu tidak pernah mengajarimu mundur dari semua keputusan, apapun itu. Dulu romomu nekat melamar ibu begitu juga ibu nekat menerima lamaran romo. Romomu mundur dari pernikahan saat kamu umur lima tahun, nak. Tetapi ibu sama sekali tidak mau mundur. Surat cerai dari romomu, ibu bakar agar surat itu tidak pernah ada. Jadi selama ibu masih hidup ibu ini tetap istri sah romomu."
"Dia marah dan memukul ibu karena ibu membakar surat itu?" Tanyaku
"Iya nak. Dan saat itu ibu menangis bukan karena romo akan meninggalkan kita atau karena tinjunya mengenai dagu ibu. Tetapi menangis sedih karena tahu kamu mengintip menyaksikan kejadian itu. Ibu takut sekali itu menjadi bibit dendam dalam dirimu."
"Tidak ibu. Aku tidak dendam. Setelah kejadian itu aku hanya ingin romo tidak mengganggu ibu lagi.".
Sigit Purwanto
--------------------------------
Lesung:Landasan kayu berlubang untuk menumbuk
Romo:bapak
Alu:Kayu pemukul saat menumbuk