Plak...plak...dan ibu menangis lirih. Bagiku selirih apapun tangis ibu terdengar terlalu keras di telingaku. Karena itu bertentangan dengan akalku saat itu; ibu selalu memintaku untuk tidak menangis sebab ia akan selalu ada di dekatku. Jadi kenapa sekarang malah ibu menangis?
Aku nekat menghampiri ibu. Ingin mengatakan hal sama kepadanya; "jangan menangis ibu, aku selalu ada di dekatmu." Romo menghentikan gerakan tangan kanannya saat aku keluar dari balik pintu.
"Kembali ke dalam!" Bentak romo sambil menuding ke arahku. Itu membuatku sangat ketakutan. Aku kembali ke balik pintu.
Dari celah sempit balik pintu aku mengintip ingin tahu. Kulihat tinju tangan kanan romo mengenai dagu ibu dan membuat kepalanya tersentak ke belakang membentur sandaran kursi, ikatan rambutnya terurai.
Seketika aku jongkok, kepalaku menunduk, kurasakan pipiku basah. Saat itu aku berkhayal seandainya saja badanku sudah sebesar romo,aku pasti sudah meloncat ke arah romo, menyekapnya dari belakang, mengunci kedua tangannya, lalu mematahkan lehernya.
Khayalanku pupus dan aku terus jongkok, menunduk. Kedua tanganku menutup telinga. Saat itu aku benar-benar tidak ingin mendengarkan suara apa pun. Ada suara lirih dari dalam kepalaku. Ya, itu suara ibu melantunkan Kidung Rumeksa Ing Wengi. Ibu selalu melantunkan tembang itu untukku setiap kali aku menangis atau menjelang tidur.
Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani