Aku kembali ke hari itu, di Tahun 1998. Menyusuri jalan kecil di depan rumah lamaku. Aku kembali teringat pada hari itu, ketika kursi rodaku didorong oleh anak lelaki kurus kering yang kukenal dengan sebutan Hamid. Bocah kurus yang selalu mengisi hari - hariku sebelum kerusuhan melanda tempat kami, Kota Ambon.
Namaku Jeremy, umurku 10 tahun tepat 10 Juni 1998 kemarin. Sebenarnya, aku bukan berasal dari Ambon. Semua berawal karena pekerjaan ayahku yang memaksa aku harus pindah ke kota yang memiliki teluk indah ini.
Aku harus pindah jauh ke Timur Indonesia. Pergi jauh, meninggalkan rumah dan kenangan - kenangan pahit selama aku tinggal di tempat lama.Â
Aku tidak pernah memiliki teman dan mungkin tidak akan pernah. Sejak aku dilahirkan ke muka bumi ini, tak pernah kurasakan berdiri dengan kakiku sendiri. Kakiku kecil dan tidak seperti anak - anak biasanya. Boleh dikatakan, aku ini lumpuh.
Sejak aku duduk di kelas dua SD, aku tidak lagi melanjutkan pendidikan formalku. Aku benci sejadi - jadinya kepada sekolah. Aku sering diejek bahkan pernah dikurung kakak kelasku yang badannya besar itu di sebuah gudang sempit dan gelap, entah dimana gudang itu berada. Ketika aku bersekolah dan keluar dari rumah, tak ada kenangan lain selain rasa malu dan kesedihan yang aku terima.
Sejak itu, aku tidak pernah mau keluar rumah lagi. Akhirnya, orang tuaku memanggil guru privat untuk mengajariku pelajaran sekolah dirumah. Aku mungkin tidak akan pernah keluar rumah lagi. Tetapi entah kenapa ayahku selalu menyemangatiku dengan kata - kata aneh seakan dunia ini akan siap menerimaku. Dia selalu berkata kalau aku itu sama dengan anak - anak lain, hanya saja mereka sulit menerima perbedaan. Tapi aku yakin kalau perbedaan itulah yang memisahkan aku dengan mereka.
Hingga akhirnya aku harus pindah ke Ambon. Tempat yang sangat jauh dari rumah lamaku.Â
Tak ada harapanku untuk mendapatkan sesuatu yang baik di sana. Mungkin ada, tapi kecil sekali di dalam lubuk hatiku.
Rumah baruku cukup besar dengan pagar putih yang mengelilinginya menandakan rumah ini cukup aman. Tak jauh dari sini juga ada sebuah gedung yang entah itu apa. terlihat arsitektur berbentuk seperti kubah di atasnya.Â
Suasana yang sepi dan jauh dari anak - anak nakal yang sering menjahiliku membuat aku suka untuk membawa kursi rodaku ke teras rumah ini. Walau hanya duduk dengan kaku, tak dapat berbuat apa - apa aku sudah merasa cukup bahagia dengan ini.
Hingga beberapa hari berlalu, aku yang sedang memandang pagar di depan rumah. Tiba - tiba kaget ketika melihat seorang anak lelaki berkulit gelap, kurus ceking sampai bola matanya seakan masuk ke rongga tengkoraknya. Dia memandang ke arahku, kearah rumah ini, seakan ingin menerkamku. Aku ketakutan, bayangan buruk masa laluku terus menggerogotiku.
Dua hingga tiga hari berikutnya dia terus berada di tempat itu, berdiri memandang titik yang sama. Namun, lama kelamaan pandangan buruk tentangnya mulai hilang. Hingga akhirnya aku melihat dia berada di dalam lingkungan rumahku yang aku anggap aman, dia sedang memangkas rumput. Mungkin dia anak yang ayahku katakan untuk membantu kita di rumah.
Anak itu terlihat begitu semangat bekerja, tak satu pun rumput yang dia biarkan dengan liar tumbuh. Halaman rumahku menjadi semakin rapi karenanya. Sedangkan aku disini, hanya bisa duduk termenung tanpa memikirkan lelahnya menjalani hidup.
Tak kusangka anak itu mendekatiku, sambil memegang gunting rumput besar seakan ingin memotong kaki - kaki kecilku ini. Aku takut, namun kaku tak bisa berbuat apa - apa.
"Kamu kenapa di kursi roda?" pertanyaan yang dikeluarkannya begitu halus, seakan melodi lagu klasik yang sering diputar ayahku setiap menjelang sore. "Nama saya Hamid" aku baru pernah mendengar nama seperti itu, setelah nama - nama seperti Musa, Matius, Yohanes dan lainnya yang sering aku baca di Alkitab, nama Hamid terasa baru di telingaku.
"Nama Aku Jeremy" Jawabku sedikit terbata - bata karena masih takut dengan tampangnya. "Aku lumpuh sejak lahir, makanya aku pakai kursi roda. Kalau boleh tahu, kenapa namamu hamid ya?" Aku bertanya bingung, namun wajahnya seakan begitu terbuka denganku. Di balik peringainya yang menyeramkan, seakan tersembunyi cahaya terang dibalik senyum kecilnya.
" Ayah saya menamai aku Hamid agar saya menjadi orang terpuji kelak. Hamid dari Bahasa Arab. Agamaku Islam, kamu kristen kan. Saya kemarin lihat kamu ke Gereja hari minggu."Â
Perkenalan ini menjadi kali pertama, aku berkenalan dengan orang yang berbeda agama denganku. Sejak aku kecil, aku tidak pernah berkenalan dengan orang lain. Selain karena takut ejekan mereka, mereka juga tidak pernah mau dekat denganku. Bocah yang bernama Hamid itulah orang pertama yang mengajariku berkenalan dan mengenal indahnya perbedaan.
Hari - hariku terus diisi dengan keberadaan Hamid. Dia selalu ada di rumahku untuk membantu Ibuku membersihkan rumah hingga membantu ayahku mengecat rumah karena mulai usang warnanya. Selain itu, dia adalah satu - satunya sahabatku dan satu - satunya orang yang selalu mempercayai cerita - ceritaku.
Hamid menjadi orang yang meyakinkanku untuk merasakan Indahnya dunia luar. Dia mengajak aku ke pantai, menggendongku ketika aku ingin merasakan asinnya air laut. Dia juga yang mendorong kursi rodaku ketika aku ingin menikmati jalan sempit disekitar rumahku. Dia bagaikan kapal dan aku kaptennya, kemanapun aku mengarahkan selalu diikuti olehnya.Â
Pada suatu hari, aku kebingungan ketika Hamid bersujud di atas kainnya yang dia sebut sajadah. Aku baru tahu dari ayahku kalau dia sedang mendekatkan diri ke sang pencipta, atau dia sebut sholat. Melalui dia, aku percaya kalau perbedaanlah yang menyatukan kita.Â
Walaupun berbeda agama, kita saling mengingatkan satu sama lain ketika masing - masing kita harus beribadah. Ketika hari Jumat aku mengingatkannya untuk pergi ke tempat yang baru kutahu namanya itu, mesjid namanya. Dia juga menyuruhku untuk pergi ke gereja.
Akan sangat sulit untuk menemukan sahabat sepertinya dan mungkin tidak akan pernah lagi.
***
Pagi itu, di tahun 1999. Langit di Kota Ambon terlihat lebih gelap. Bukan karena mendung mau hujan, namun karena asap kebakaran mengepul di tengah kota.
Ketenangan yang dulu aku rasakan berubah menjadi jerit tangis. Suara sirine ambulance yang lulu-lalang menambah getir suasana yang membuatku takut.
Dari berita yang ayahku tonton. Telah terjadi kerusuhan hebat di kota ini. Alasannya karena agama, membuat mereka yang awalnya bersaudara menjadi terpisah oleh kerusuhan ini.
Dari jendela aku memandang keluar, kulihat hamid sedang berlari begitu kencang seakan dikejar anjing liar jalanan. Mungkin ada hal yang sangat penting, sehingga dia lari begitu cepat.
Hamid terlihat panik, dia mengetuk pintu dengan keras. Aku segera membukakan pintu untuknya.Â
"Jeremy kamu harus pergi jauh dari sini" perintahnya seperti mengusirku, namun mukanya begitu meminta seakan hal ini begitu penting untukku.
Orang tuaku bingung dengan apa yang dibicarakan Hamid.Â
"om tante dan Hamid harus segera pergi. Karena tempat ini sekarang bahaya sekali. Ada orang - orang yang mau bakar rumah ini." Ternyata Hamid sudah mengetahui berita kalau rumah - rumah orang kristen di kampung ini akan dibumi hanguskan.
"Biar saya saja yang menjaga rumah jeremy, mereka tidak akan menyerang kalau ini rumah orang seagama dengan mereka." Hamid begitu percaya diri. Dia begitu yakin akan menjaga rumahku dengan aman, tetapi aku tidak mau meninggalkannya sendiri.
Ayahku memutuskan pergi dengan kapal satu jam lagi. Dibayanganku, kita hanya pergi untuk sementara. Aku yakin hamid akan menjaga dirinya dengan baik sampai aku pulang.
"Hamid, nanti waktu aku balik kita ke pantai lagi ya" aku berkata seakan tak terjadi apa - apa di luar sana. Melihat adanya Hamid, membuat ketakutanku hilang.
"Iya Jeremy, Aku akan menjaga rumahmu sampai kamu pulang. Tetap tersenyum ya." Itulah janji terakhir Hamid kepadaku. Dia berjanji untuk menjaga seisi rumahku.
Ayah membawa kami dengan mobil hitam. Kami pergi seakan sangat terburu-buru. Di jalan kecil depan rumah kami, aku melihat banyak orang telah berkumpul. Tampak wajah yang penuh emosi yang membuatku takut. Ayahku melaju kencang, meninggalkan rumah dan hamid didalamnya. Aku berharap Hamid baik - baik saja.
.
Beberapa tahun setelah itu, aku kembali sendiri lagi. Aku memiliki rumah baru, di kota yang sangat jauh dari Ambon.
Aku sudah tidak kembali ke Ambon lagi. Hanya ayahku yang kembali ke sana untuk mengambil sisa barang - barang kami. Rumah kami telah rata dengan tanah. Apa yang dikatakan Hamid benar, ada orang yang ingin menyerang rumah kami.
Ayahku bercerita kepadaku. Saat penyerangan itu terjadi, hanya ada Hamid yang melindungi rumah itu. Hamid berteriak dan menyuruh semua orang untuk pergi, katanya rumah itu bukan milik orang Kristen. Hamid yang beragama Islam, berusaha melindungi seisi rumah kami.Â
Sayangnya, orang - orang itu sudah tahu siapa pemilik rumah itu. Mereka tidak mempercayai teriakan keras sahabatku, Hamid.
Hamid tidak mau meninggalkan rumahku. Seperti janjinya dia akan menjaga rumah kami. Bahkan sampai rumah itu dibakar dan kobaran api semakin besar. Dia hanya bisa memeluk fotoku. Sampai akhirnya dia ikut terbakar sambil memeluk fotoku.
Ketika aku mengetahui berita ini aku menangis sejadi - jadinya. Aku tak pernah berniat untuk keluar rumah lagi. Tak ada lagi orang yang mempercayai semua cerita - ceritaku. Tak akan ada lagi hamid yang lain.
Namun, aku teringat oleh pesan terakhir Hamid agar aku selalu tersenyum. Aku akan selalu tersenyum untukmu Hamid, sahabatku yang tak tergantikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H