Jadi pertumbuhan ekonomi dunia saat ini sangat tergantung dari sifat konsumtif konsumen AS. Dan, disadari atau tidak, AS telah membuat seluruh dunia membiayai kebiasaan konsumtif mereka. Jadi ini seperti sebuah lingkaran setan yang tak pernah terputus, sehingga ada pemikiran dari seorang ekonom AS keturunan India, Dr. Jagdish Bhagwati yang mengatakan pada PM India, Manmohan Singh bahwa menabung adalah kebiasaan yang sia-sia. Sebuah negara takkan tumbuh perekonomiannya jika masyarakatnya tidak konsumtif. Tidak hanya konsumtif, tapi meminjam dan konsumtif. Mottonya adalah "Saving is sin, and spending is virtue."
Tapi Indonesia pun punya kemiripan dengan Amerika Serikat. Neraca Perdagangan Indonesia pun selalu defisit–yang tertambal hutang/investasi luar negeri, dan punya masyarakat yang cenderung konsumtif juga. Masyarakat AS jarang menabung, tapi demikian pula Indonesia, yang karena budaya konsumtif, telah menjadi negara dengan tingkat tabungan nasional terendah di Asia Pasifik. (Kompas, 23 Sept 2006). Tapi kenapa bisa beda nasib?
Jawabannya mungkin terletak pada barang apa yang dibeli. Masyarakat AS lebih banyak mengkonsumsi produk-produk mereka sendiri, biarpun dimanufaktur di luar Amerika. Sedangkan, masyarakat Indonesia lebih suka mengkonsumsi produk-produk negara lain. Kenapa begitu? Mungkin karena masyarakat Indonesia telah kehilangan jati diri mereka sehingga mereka perlu brand-brand internasional sebagai sarana untuk mengangkat harga diri (self-esteem) mereka. Freud dalam sudut Psikologis dinamis menyebut fenomena ini sebagai Identification-Self Defense Mechanism. (Psychology Themes & Variations – Wayne Weiten).
[caption id="attachment_142264" align="alignleft" width="150" caption="Unesco"][/caption]
Kehilangan jati diri masyarakat Indonesia ini erat kaitannya telah tercabutnya akar budaya Indonesia akibat inflitrasi budaya yang kadang kerap dibiayai dan dilakukan oleh orang-orang Indonesia sendiri, dengan disadari ataupun tidak disadari. Akibatnya, kebanggaan terhadap budaya dan negara sendiri menjadi sirna dan masyarakat akan secara otomatis mencari identitas lain dari budaya-budaya asing. Salah satu contoh adalah, sejak kapan Indonesia punya kebiasaan mengkonsumsi mie-instan? Apakah ada makanan pokok daerah yang berbasis terigu/gandum? Padahal berapa luas ladang gandum di Indonesia? (Gandum jadi Terigu yang bahan baku mie-instan). Coba bandingkan dengan makanan tradisional berbahan sagu yang berasal dari tapioka (singkong)? Dan berapa banyak luas ladang singkong di Indonesia? Kemudian, kenapa Gandum lebih dihargai sebagai makanan yang lebih “berkualitas” daripada singkong seperti kaos bermerek asing Calvin Klein jauh lebih dihargai daripada kaos bermerek lokal Djoger? Padahal menurut penelitian kandungan gizi singkong tidak kalah dengan gandum, seperti juga kaos bermerek Calvin Klein, Tootal, atau Tommy Hilfiger pun mampu dan pernah dibuat di pabrik-pabrik lokal di Indonesia. Aneh bukan?
Tapi inflitrasi budaya pastinya bukan datang dari kebudayaan barat saja, tetapi juga dari kebudayaan lainnya, seperti budaya Arab, budaya Cina, budaya India, dll. Eratnya hubungan Keluarga Bush dengan Dinasti Saud dan keluarga Bin Laden, mungkin membuat taktik Arab Saudi tidak begitu berbeda dalam hal menyebarkan paham wahabisme dengan mendirikan dan membiayai Islamic Centers di dunia, termasuk di Indonesia, untuk menetralisir budaya-budaya lokal. (Diskusi NIM-Budaya & Integrasi Bangsa di tengah Ancaman-8 April 2006).
(Sumber : cbae.nmsu.edu)
Menurut Roy, dalam pembahasan buku ini, parlemen Amerika, yang kita asumsikan dikuasai oleh lobi yahudi, sebenarnya telah lama dikuasai oleh pengaruh Arab Saudi. Demikian pula perbankan Amerika. JP memperkuat dugaan itu karena mnurutnya, para EHM berhasil meyakinkan Penguasa Saudi untuk menginvestasikan dana hasil penjualan minyak dalam surat berharga AS dan bunganya untuk membangun Saudi Arabia dari sebuah kampung menjadi metropolitan yang megah. Demikian kuat pengaruh itu sehingga pada masa pemerintahan President Clinton, sebuah gagasan dari Presiden untuk memberi pelajaran pada Osama Bin Laden dan Taliban sempat dialihkan dengan munculnya skandal Monica Lewinsky sehingga gagasan itu tinggal menjadi wacana sampai terjadi peristiwa 11 September.
Di akhir buku ini, JP menulis bahwa amat susah bagi setiap orang di dunia (terutama di negara-negara dunia ke-3) untuk melawan corporatocracy ini, termasuk juga dirinya. “Bagaimana Anda akan memberontak melawan suatu sistem yang tampaknya memberi Anda rumah dan mobil, makanan dan pakaian,, listrik dan perawatan kesehatan-bahkan jika Anda tahu bahwa sistem itu juga menciptakan suatu dunia di mana 24 ribu orang mati kelaparan setiap hari dan berjuta-juta orang lainnya membenci Anda, atau sedikitnya membenci kebijakan yang dibuat oleh wakil-wakil yang telah Anda pilih? Bagaimana Anda dapat mengumpulkan keberanian untuk menentang dan menantang konsep yang Anda dan tetangga Anda telah selalu terima sebagai kebenaran, bahkan ketika Anda mencurigai bahwa sistem itu siap untuk menghancurkan dirinya sendiri? “(Hal 250)
Bapak Anand Krishna, dalam kata penutupnya, bertanya : “Jadi Solusinya apa?” Dulu Soekarno punya visi yang sangat jelas, tapi beliau tak mampu menjelaskan dengan nalar dan logika. Jadi beliau sampai mengirim beberapa kali utusan untuk menjelaskan maksud beliau pada PM India J. Nehru. Ketika Nehru mengerti, maka bersama PM China Chao En Lai, Soekarno menjadi penggerak Konferensi Asia Afrika