Mohon tunggu...
Johan Saputro
Johan Saputro Mohon Tunggu... Lainnya - Pranata Humas Pemkab Grobogan

Alumni Mahasiswa Ilmu Komukasi UIN Suka--Yogyakarta. Pengagum pemikiran Cak Nur, Gus Dur dan Cak Nun. Masih tahap proses pencarian, pemaknaan tentang "hening". Belajar mengerti, memahami dan menghayati "hening", karna dalam "hening" Aku ada.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Elegi Kerinduan

27 Maret 2016   07:30 Diperbarui: 27 Maret 2016   08:42 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terang semakin larut dalam remang. Malam-Mu kini telah datang, bersiap menggantikan senja yang segera berlalu. 

Malam, tak jarang memang begitu mengesalkan dan menyesakkan. Kehadirannya acap kali mendatangkan kegelisahan dan kemuraman. Meski begitu,  aku tetap suka menemu malam. Sebab, keberadaanya mampu menyediakan ketenangan dan keheningan. Sebuah keadaan yang memantikku untuk melakukan permenungan. Sebuah prosesi untuk menziarahi  situs-situs di masa lalu, untuk mengasah kembali ingatan pada jalan-jalan yang telah ku lalui: jalan-jalan yang membentang dari masa kecil hingga sampai di masa kekinian ini.

Barangkali pameo, “Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah”, atau slogan, “Menolak Lupa!” sudah begitu meng-cultivated-ku sedemikian rupa mengakar di benakku. Entahlah.

Mungkin aku terlalu sentimentil. Namun begitulah yang ku rasakan. Dalam remang kegelapan malam aku merasa ada begitu banyak kisah yang teramat mudah dikais dalam ruang-ruang ingatan. Entah itu kisah yang begitu indah dikenangkan, ataupun kisah yang begitu teramat tragis untuk diulangkan. Ya... seperti saat ini, seperti di malam Paskah ini, malam yang berwangi mimpi, terlecut debu[1].

“Mengapa kita harus mengenang peristiwa yang sudah lama terjadi, sesuatu yang sudah begitu jauh terhempas angin yang dan teramat jauh mengalir?”

Seringkali pertanyaan itu datang menghujam pikiranku. Menghantarkanku berulang kali pada sebuah jalan yang akan terus menghubungkan kenangan akan suka cita dan kepedihanku, bersamamu. Meski pernah ku coba untuk menghempas, melawan, dan melupakan, tetap saja rasa itu kian meradang. Masih saja aku terjebak dalam elegi kenangan, dan terus-menerus mencarimu dalam bayang-bayang.

 “.. Ku cari kamu dalam setiap malam.. dalam bayang masa suram.. ku cari kamu dalam setiap langkah.. dalam ragu yang membisu..”[2].

***

Di bukit Sekipan, angin gunung berdesir  begitu lembut, membawaku melewati lorong-lorong waktu bersama sejarah yang tak mungkin bisa diputar kembali. Hembusan angin merasuk dan menusuk-nusuk di kesunyian hatiku. Ada semacam lara yang datang beriringan bersamaan dengan rinduku, kepadamu. Aku merindukanmu Aliya. Dan, apakah aku harus berbohong pada diriku sendiri bahwa aku telah bisa menghempaskanmu? Bahwa aku telah sanggup melupakanmu?

Aku tak akan membohongi diriku sendiri Aliya, bila nyatanya aku tak pernah bisa melupakanmu. Bahwa kelebatan sosokmu selalu mengikuti setiap adegan film yang kutonton. Bahwa teduh tatapan matamu senantiasa bermain di imajiku ketika aku sedang membaca kisah-kisah dalam novel romansa. Bahwa kau adalah sosok yang ku bayangkan ketika mendengarkan lagu-lagu melankolia. Dan benar saja, memang aku tak bisa melupakanmu, mengeyahkanmu dan menghempaskanmu begitu saja dari sudut pikiranku.

“..Malam sunyi ku impikanmu.. ku lukiskan kita bersama..namun selalu aku bertanya.. adakah aku di mimpimu..”[3]

***

Kisah kita memang hanya terjalin sebentar Aliya. Namun hatiku menyimpanmu begitu erat dan teramat rapat. Meski kisah kita hanya sesaat, bersamamu, kesan yang terukir di hatiku sungguh begitu mampat, begitu sakral, dan begitu teramat sukar dilupakan. Ya.. Aliya, walau selama mengenalmu dan membersamaimu hanya beberapa kali ku genggam tanganmu, dan sesekali ku cari-cari dan ku curi-curi momentum untuk bisa mencium pipimu, tapi rasanya separuh jiwaku bagai terlepas setelah kita berpisah. 

Barangkali kau pun tak pernah mengira, bertahun-tahun setelah kita tak lagi menghabiskan waktu bersama aku selalu melakukan perbuatan tolol ini: aku serupa ahasveros yang dikutuk sumpah serapahi eros, mengembara mengais-ngais reruntuhan mozaik-mozaik kenangan[4], menyusuri jalan-jalan dan tempat-tempat yang pernah kita lalui, hanya untuk mencari remah-remah jejak langkahmu, dan menikmati segala kenangan yang pernah membersamai kita.

Aliya, ketahuilah bahwasanya aku masih terus mengharap bisa kembali mengulang segala hal bersamamu. Aku ingin kembali bisa mendengarmu bercerita tentang keseharianmu, tentang film-film yang kau tonton, tentang novel-novel yang kau baca, atau tentang apa saja.

Sungguh, aku suka caramu bercerita. Aku suka caramu dalam memandang dan menafsirkan sesuatu. Aku suka caramu dalam memberikan sikap dan penilaian atas segala sesuatu. Singkatnya, aku suka segalanya tentang kau.

Aliya, aku pun masih ingat,  di tempat ini pula kau pernah berkata bahwa matahari tak pernah ingkar  janji. Katamu, meski malam telah datang bersama dengan kemuramannya, matahari senantiasa akan hadir untuk memberikan pengharapan bahwa kepada esok jua kita akan mengenal pagi: hari baru yang begitu hangat dan cerah penuh suka cita.

“Seperti perayaan Paskah, dalam iman Kristiani yang ku yakini, Paskah adalah puncak dari seluruh perjuangan Yesus Kristus. Dia yang menderita, sengsara, wafat, dan dimakamkan, namun pada hari ketiga bangkit dari alam maut, untuk kemudian menghadirkan kerajaan damai-sejahtera bagi umat manusia. Dalam bahasa teologis, itulah yang disebut penebusan Kristus”, ucapmu. “Kita pun selayaknya bisa meneladaninya Jon, kita mesti senantiasa memelihara pengharapan bahwa segala kesuraman dan kemuraman yang menimpa kita, pasti akan datang esok yang pasti lebih baik, ada matahari pagi yang terbit menyingkirkan segala kegelapan”, lanjutmu begitu optimis.

Aliya, aku suka cara berpikirmu yang senantiasa optimis. Aku senantiasa menungguimu matahari pagiku.

“..Where’d you go? .. I miss you so.. seems like it’s been forever.. that you’ve been gone..”[5]

***

Seringkali perjalanan kehidupan mengajarkan pada kita bahwa di banyak kesempatan yang pernah kita lalui, dan yang akan kita lalui, kita tak jarang dihadapkan pada pilihan yang kita sungguh tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita hanya diberikan pilihan untuk menjalaninya dengan penuh keterpaksaan, yang tentu saja begitu memberatkan.

Kadang hidup memang sering tidak adil, dan kita dipaksa untuk mengalaminya dengan penuh ketabahan.

“Maafkan aku, kita barangkali bukanlah sepasang jodoh yang digariskan Tuhan”, katamu perlahan waktu itu.

“Jon, kita ini bukan lagi sepasang remaja yang mencinta hanya karna ingin mencinta.”

Kau menghela nafas, menggigit bagian bawah bibirmu. Kau layangkan pandangmu tak tentu arah. Kau pejamkan mata, sesaat kemudian menatapku sayu. Ada keheningan tercipta sejenak.

“Kita telah beranjak dewasa Jon. Kita mesti sadari bahwa mencinta menjadi tidak lagi sederhana. Mencinta menjadi sesuatu yang rumit. Ia tak lagi hanya bicara soal kita, melainkan juga tentang bagaimana kita bisa menerima, dan diterima orang-orang di sekeliling kita, keluarga kita, komunitas-komunitas kita. Kau paham kan maksudku?”, tanyamu retoris.

“Kita berbeda Jon. Maafkan aku. Ada jurang yang menganga teramat lebar dan begitu dalam yang tak mungkin aku ataupun kamu sanggup untuk menyeberanginya”, ujarmu sembari menahan isak tangis yang siap pecah.

Yang ku ingat itulah pembicaraan kita yang terakhir. Sesudah itu, kita hanya saling berucap sapa dan salam, sebatas saling memberikan ucapan selamat ulang tahun, ataupun ucapan-ucapan selamat merayakan hari besar keagamaan. Kita tak pernah lagi membicarakan sesuatu yang lebih dari itu.

Di bukit Sekipan, langit malam ini tampak begitu gelap sempurna. Tiada cahaya bulan, nir-kilau bintang-gemintang. Angin gunung berdesir begitu tajam, hawa dingin menyisir merambati kulitku, seperti mengiris dan menyayati sepotong kenyataan pahit dan kemudian menyajikannya di hadapanku.

“Meski kita terlahir sepi, apakah hidup harus sepahit dan sesunyi ini?”

Kini, bertahun-tahun setelah peristiwa itu berlalu aku tak bisa lagi  membedakan apakah aku  sedang berakting memerankan sebuah lakon menyedihkan dalam sebuah drama ataukah aku memang tengah mengalami sesuatu yang benar-benar nyata, sebuah kesedihan yang tengah bersiap menggerogoti ketenteraman hidupku.

“..Aku menunggu dengan sabar di atas sini.. melayang-layang.. tergoyang angin menantikan tubuh itu.. aku ingin berdua denganmu.. di antara daun gugur..”[6]

***

Barangkali hidup begitu misterius. Kita tak pernah bisa menduga bagaimana segala kisah akan berakhir seperti apa. Dan segala yang terjadi akan menjadi kenangan yang bersemayam di sudut pikiran. Ada yang menganggapnya sebagai kepahitan dan kegetiran. Ada yang menganggapnya sebagai warisan yang berharga yang menyimpan begitu banyak pelajaran untuk kebaikan kehidupan di masa depan.

Dan apakah manusia bisa terlepas dari kenangan? Apakah orang yang terjebak dalam nostalgi  kenangan tak akan mampu memiliki impian tentang masa depan yang terbebas dari masa lalunya?

Malam ini aku berusaha meneleponmu berulang kali, tapi kau berada di luar jangkauan. Kau tak teraba sinyal.

“Maaf, nomor yang kamu tuju sedang berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi”, suara yang selalu ku dengar.

Malam ini aku ingin berbicara sesuatu yang begitu penting denganmu. Setidaknya penting bagiku. Mungkin untuk yang terakhir kali. Aku ingin menyelesaikan hal-hal di masa lalu yang belum selesai dan masih begitu terasa mengganjal dan memberati langkahku. Aku ingin mengabarkan bahwa lusa aku akan menikah, aku ingin memohon restumu.

Apakah aku mencintainya?

Jika dulu aku pernah berkata bahwa aku mencintaimu, maka ku kira itu adalah sebuah pernyataan yang sudah lengkap. Bahwa waktu bisa mengubah dunia, bisa mengubah batu menjadi abu, tapi waktu tidak bisa mengubah perasaanku terhadapmu. Perasaanku tetap sama, kau menempati urutan teratas yang begitu teristimewa dalam hidupku. Aku pernah mencintaimu, sedang mencintaimu dan akan mencintaimu selama-lamanya. Dan perasaan itu sudah begitu menjalar bersama aliran darah ke seluruh tubuhku.

“..Now I'm all alone and my joys turn to moping.. tell me, where are you now that I need you?!..”[7]


[1] Chairil Anwar, “Prajurit Jaga Malam”
[2] Payung Teduh, “Ku Cari Kamu”
[3] Sherina Munaf, “Simfoni Hitam”
[4] Terinspirasi Charil Anwar, “Tak Sepadan”
[5] Fort Minor, “Where’d You Go?”
[6] Payung Teduh, “Resah”
[7] Skrillex-Diplo feat Justin Bieber, “Where Are You Now?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun