Mohon tunggu...
Johan Saputro
Johan Saputro Mohon Tunggu... Lainnya - Pranata Humas Pemkab Grobogan

Alumni Mahasiswa Ilmu Komukasi UIN Suka--Yogyakarta. Pengagum pemikiran Cak Nur, Gus Dur dan Cak Nun. Masih tahap proses pencarian, pemaknaan tentang "hening". Belajar mengerti, memahami dan menghayati "hening", karna dalam "hening" Aku ada.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Elegi Kerinduan

27 Maret 2016   07:30 Diperbarui: 27 Maret 2016   08:42 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kadang hidup memang sering tidak adil, dan kita dipaksa untuk mengalaminya dengan penuh ketabahan.

“Maafkan aku, kita barangkali bukanlah sepasang jodoh yang digariskan Tuhan”, katamu perlahan waktu itu.

“Jon, kita ini bukan lagi sepasang remaja yang mencinta hanya karna ingin mencinta.”

Kau menghela nafas, menggigit bagian bawah bibirmu. Kau layangkan pandangmu tak tentu arah. Kau pejamkan mata, sesaat kemudian menatapku sayu. Ada keheningan tercipta sejenak.

“Kita telah beranjak dewasa Jon. Kita mesti sadari bahwa mencinta menjadi tidak lagi sederhana. Mencinta menjadi sesuatu yang rumit. Ia tak lagi hanya bicara soal kita, melainkan juga tentang bagaimana kita bisa menerima, dan diterima orang-orang di sekeliling kita, keluarga kita, komunitas-komunitas kita. Kau paham kan maksudku?”, tanyamu retoris.

“Kita berbeda Jon. Maafkan aku. Ada jurang yang menganga teramat lebar dan begitu dalam yang tak mungkin aku ataupun kamu sanggup untuk menyeberanginya”, ujarmu sembari menahan isak tangis yang siap pecah.

Yang ku ingat itulah pembicaraan kita yang terakhir. Sesudah itu, kita hanya saling berucap sapa dan salam, sebatas saling memberikan ucapan selamat ulang tahun, ataupun ucapan-ucapan selamat merayakan hari besar keagamaan. Kita tak pernah lagi membicarakan sesuatu yang lebih dari itu.

Di bukit Sekipan, langit malam ini tampak begitu gelap sempurna. Tiada cahaya bulan, nir-kilau bintang-gemintang. Angin gunung berdesir begitu tajam, hawa dingin menyisir merambati kulitku, seperti mengiris dan menyayati sepotong kenyataan pahit dan kemudian menyajikannya di hadapanku.

“Meski kita terlahir sepi, apakah hidup harus sepahit dan sesunyi ini?”

Kini, bertahun-tahun setelah peristiwa itu berlalu aku tak bisa lagi  membedakan apakah aku  sedang berakting memerankan sebuah lakon menyedihkan dalam sebuah drama ataukah aku memang tengah mengalami sesuatu yang benar-benar nyata, sebuah kesedihan yang tengah bersiap menggerogoti ketenteraman hidupku.

“..Aku menunggu dengan sabar di atas sini.. melayang-layang.. tergoyang angin menantikan tubuh itu.. aku ingin berdua denganmu.. di antara daun gugur..”[6]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun